Genealogi
Kelahiran Pancasila Syaiful Arif ; Direktur Pusat Studi Pemikiran
Pancasila |
KOMPAS, 02 Juni 2021
Pidato 1 Juni 1945 tentang
Pancasila merupakan titik puncak dari intelektualitas Soekarno. Sebagai titik
puncak, ia menyempurnakan berbagai gagasan yang dirajut puluhan tahun
sebelumnya. Dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2021, ada
baiknya kita menziarahi proses genealogis kelahiran Pancasila. Sudah tepat ketika
Keputusan Presiden (Keppres) No 24 Tahun 2016 menetapkan 1 Juni sebagai Hari
Lahir Pancasila. Sebagai ide, Pancasila
memang dilahirkan Soekarno pada tanggal itu di depan Sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) 1945. Soekarno menyatakan ide
Pancasila itu ia gali sejak tahun 1918. Artinya, sejak pertama kali bertemu
dengan ide-ide intelektual, terutama ideologi dunia. Perjalanan
intelektual Dalam perjalanan
intelektual, Pancasila ditemukan Soekarno di ujung jalan menuju terbukanya
gerbang kemerdekaan bangsa. Namun, isi gagasan itu telah ia rangkai dalam
perjuangannya melawan penjajahan. Perjalanan Soekarno menemukan Pancasila
bisa kita sisir dalam beberapa fase. Pertama, pertautan antara
Islam dan sosialisme di Surabaya bersama Sarekat Islam (SI) pada 1916-1921.
Inilah fase pertama pemikiran Soekarno, di mana tahun 1918 ia sebut sebagai
tonggak awal penggalian Pancasila. Dalam fase ini, Soekarno
menemukan sila kesejahteraan sosial (sociale rechtvaardigheid) yang
berkelindan dengan Islam (sila ketuhanan). Dari kelompok sosialis sekuler
(Indische School Democratische Vereeniging), ia mempelajari ”materialisme
dialektis”. Dari SI ia belajar sosialisme Islam. Kedua, nasionalisme
sebagai ideologi yang mandiri. Ide ini ia temukan di Bandung ketika ia kuliah
di Technische Hoge School (THS). Perkenalannya dengan para aktivis Indische
Partij memantapkan Soekarno memilih nasionalisme sebagai ideologi utama. Adalah Douwes Dekker yang
menjadi inspirator nasionalisme ini, dengan ide tentang pentingnya
kemerdekaan menjadi bangsa, sebagai prasyarat perubahan struktur sosial. Artinya, jika sosialisme
memfokuskan diri pada perubahan struktur sosial dari kapitalisme menuju
sosialisme, maka menurut nasionalisme, perubahan struktur itu baru bisa
dicapai dalam negara yang merdeka dari penjajahan. Dengan demikian, ide
pertama adalah nasionalisme, baru kemudian sosialisme. Pentingnya kebangsaan
sebagai condiotio sine qua non bagi struktur masyarakat berkeadilan inilah
yang membuat Soekarno meletakkan kebangsaan sebagai sila pertama Pancasila. Dalam kerangka
nasionalisme inilah, Soekarno lalu menyatukan berbagai pergerakan nasional
sejak di ranah konseptual. Soekarno lalu menyatukan tiga ideologi besar pada
waktu itu, yakni Islamisme, nasionalisme, dan sosialisme. Penyatuan konseptual ini
ia lakukan tahun 1926 ketika ia masih berusia 25 tahun. Demi penyatuan ini,
Soekarno membangun titik temu di antara tiga ideologi, yakni sifat Islam yang
nasionalis dan sosialis sekaligus, misalnya dalam kewajiban Muslim membela
tanah air, serta larangan Islam terhadap riba (nilai lebih) dan penumpukan
harta (kapitalisme). Demikian pula sosialisme
yang tak ateis pada satu sisi, serta penyeruan terhadap otonomi (kemerdekaan)
nasional pada saat bersamaan. Untuk menjelaskan sifat non-ateis dari
sosialisme, Soekarno membedakan antara ”materialisme dialektis” dan
”materialisme filosofis”. Yang pertama dan diusung
sosialisme adalah analisis perubahan masyarakat berdasar perubahan produksi
ekonomi. Yang kedua, dan tak diusung sosialisme adalah filsafat yang
menetapkan materi sebagai penyebab segala sesuatu. Dalam menjelaskan
nasionalisme, Soekarno juga memasukkan kedua ideologi lain di dalamnya. Dalam
terang Islam, Soekarno menegaskan nasionalisme menempatkan manusia sebagai
”perkakas Tuhan” dan membuat kita hidup di dalam ”Roh”. Penegasan dimensi
spiritual dari nasionalisme ini Soekarno arahkan pada Agus Salim yang
menyangsikan nasionalisme sebagai ideologi sekuler. Adapun dalam terang
sosialisme, Soekarno menempatkan nasionalisme sebagai prasyarat politik bagi
perwujudan keadilan sosial. Merdeka dulu sebagai bangsa bersatu, baru
mengubah struktur sosial masyarakat! Ketiga, penyatuan
nasionalisme, sosialisme, dan demokrasi menjadi Marhaenisme yang ia rumuskan
sebagai visi Partai Indonesia (Partindo) pada tahun 1932 di Yogyakarta. Dalam konteks ini,
Soekarno telah melahirkan tesis sendiri berupa sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi. Tesis ini lahir sebagai buah dari kontekstualisasi
sosialisme ke dalam kebangsaan dan demokrasi Indonesia. Hasilnya,
nasionalisme dan demokrasi yang diperjuangkan demi emansipasi masyarakat,
dari ketimpangan menuju keadilan sosial. Keempat, penemuan kembali
signifikansi ide ketuhanan. Hingga terumuskannya Marhaenisme, Soekarno telah
mengumpulkan empat sila, yakni nasionalisme, internasionalisme (kemanusiaan),
kerakyatan, dan kesejahteraan sosial. Baru ketika diasingkan di
Ende, Flores, pada 1934-1938, Soekarno mengalami peningkatan kesadaran
spiritual akibat pengasingan serta dialog intensif dengan para pastor
Katolik, serta surat-menyuratnya tentang pemikiran Islam dengan pemimpin
Persatuan Islam (Persis), Ahmad Hassan. Pengusung nasionalisme ini menemukan
kembali makna ketuhanan dalam pergulatan intelektualnya. Disebut penemuan kembali
karena di awal pemikirannya, ia justru lahir dari tradisi keislaman di SI.
Maka tak heran ia mengakui bahwa saat di Flores itulah, kelima mutiara
Pancasila dirumuskan sebagai kesatuan gagasan. Dengan demikian, pidato 1
Juni 1945 adalah deklarasi kepada bangsa akan kulminasi perjalanan
intelektual yang ia mulai sejak 1918. Perjalanan tersebut tidak sebatas
konseptual, tetapi praksis, di mana Soekarno merumuskan gagasannya sebagai
landasan perjuangan melawan penjajahan. Tidak heran jika Roeslan
Abdulgani dalam Sidang Konstituante 1957 menegaskan bahwa penggalian
Pancasila oleh Soekarno ialah pemahatan karakter bangsa, sebagai bangsa
terjajah yang ingin merdeka. Mengapa kebangsaan menjadi
sila pertama? Karena kita adalah masyarakat terjajah yang ingin menjadi
bangsa merdeka. Mengapa ditambah sila kemanusiaan, kerakyatan, dan
kesejahteraan sosial? Karena kita adalah bangsa yang ingin hidup di bawah
kemuliaan martabat kemanusiaan (minus penjajahan), ingin membangun kedaulatan
politik secara demokratis, dan ingin mewujudkan kesejahteraan rakyat. Mengapa ditutup dengan
sila ketuhanan? Karena semua cita- cita kebangsaan tersebut didasarkan pada
keimanan kepada Tuhan yang telah meng-kultur dalam kebudayaan bangsa. Kesatuan
proses Akan tetapi, bukankah yang
menjadi dasar negara adalah rumusan Pancasila pada 18 Agustus, bukan 1 Juni
1945? Betul. Namun, pidato 1 Juni-lah yang ditetapkan oleh BPUPK sebagai
bahan baku perumusan dasar negara. Sebagaimana ditegaskan
Panitia Lima (1977) yang diketuai Bung Hatta; setelah Soekarno berpidato pada
1 Juni, BPUPK membentuk Panitia Kecil dengan tugas ”merumuskan kembali
Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato 1 Juni Soekarno”. Dalam tugas
tersebut, eksplisit nama dasar negara ialah Pancasila. Adapun pidato yang
dijadikan dasar bagi perumusan dasar negara ialah pidato 1 Juni. Panitia Kecil lalu
dibentuk Soekarno dengan nama Panitia Sembilan dan menghasilkan Piagam
Jakarta pada 22 Juni 1945. Dalam perumusan ini, tema sila-sila Soekarno tidak
diubah. Perubahan hanya terjadi pada dua hal. Pertama, konsep ketuhanan, dari
Ketuhanan Yang Maha Esa (ala 1 Juni) yang pluralis, menjadi ”ketuhanan
bersyariat Islam”. Namun, tema ketuhanannya tidak diubah. Kedua, hierarki nilai.
Kebangsaan menjadi sila ketiga, kemanusiaan sila kedua, kerakyatan sila
keempat, kesejahteraan (keadilan) sosial sila kelima, dan ketuhanan menjadi
sila pertama. Posisi Soekarno juga vital
dalam fase perumusan dan kesepakatan final. Dalam Panitia Sembilan, ia
menjadi ketua. Demikian pula dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) 18 Agustus 1945 yang mengesahkan rumusan final Pancasila, ia merupakan
ketua. Dengan demikian,
menyatakan bahwa Pancasila 18 Agustus berbeda dengan 1 Juni jelas tidak
tepat. Sebab, dalam ketiga fase 1 Juni, 22 Juni, dan 18 Agustus tersebut,
Soekarno menjadi figur sentral. Artinya, rumusan Pancasila resmi diputuskan
oleh Soekarno sebagai Ketua PPKI, yang merupakan penyempurnaan ide Pancasila
1 Juni, bukan pada level substansial, melainkan sistematika nilai. Ini merupakan fakta
sejarah dan akademik yang harus kita akui, tanpa sentimen politik dan
golongan tertentu! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar