Mengoptimalkan
PPN Tajuk Kompas ; Dewan Redaksi Kompas |
KOMPAS, 15 Juni 2021
Isu kenaikan Pajak
Pertambahan Nilai yang akan menyasar barang dan jasa strategis yang
dikonsumsi masyarakat sempat memunculkan polemik di publik. Dalam draf revisi
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan yang beredar di media, terungkap dalam rangka mengejar penerimaan
pajak, pemerintah berencana memperluas obyek kena pajak. Caranya adalah
dengan mengubah skema dan menghapus beberapa jenis barang dan jasa yang
dikecualikan dari obyek pajak, dalam hal ini Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Barang dan jasa yang
disebutkan, antara lain, sembako, susu formula untuk bayi, jasa pendidikan
seperti sekolah swasta, dan jasa kesehatan, termasuk rumah bersalin. Kontan
rencana ini memicu reaksi keberatan dari masyarakat karena dianggap akan
menambah beban masyarakat di tengah semakin beratnya beban hidup akibat
pandemi Covid-19. Dari yang kita tangkap,
ada distorsi informasi sehingga spirit dari upaya memperbaiki kinerja pajak
yang hendak ditempuh pemerintah ditangkap secara asimetris, sehingga justru
memunculkan keresahan di masyarakat. Kegaduhan yang sempat
muncul memicu sejumlah ekonom berpendapat sebaiknya rencana perubahan skema
PPN cukup dilakukan melalui peraturan menteri keuangan. Timing yang tidak
tepat dari kebijakan ini dinilai juga bisa memicu konsumen menunda belanja.
Akibatnya, hal itu berdampak ke konsumsi masyarakat dan pemulihan ekonomi
nasional. Kita menyambut baik
langkah reformasi pajak untuk memperbaiki kinerja yang selama ini masih jauh
dari optimal. Rendahnya rasio pajak dibandingkan banyak negara lain dan
besarnya sumbangan pajak terhadap penerimaan negara memunculkan tantangan
bagi pemerintah untuk terus menggali potensi pajak, tanpa harus memberatkan
perekonomian secara keseluruhan. Dari target pendapatan
negara di APBN 2021 Rp 1.743,6 triliun, sebesar Rp 1.444,5 triliun atau 82,8
persen diharapkan dari pajak dan sisanya dari penerimaan negara bukan pajak.
Namun, realisasinya, penerimaan pajak sepanjang kuartal I-2021 baru Rp 228,1
triliun, atau minus 5,6 persen yoy, akibat kondisi dunia usaha yang belum
pulih dari dampak pandemi. Kita juga mengapresiasi
respons sigap pemerintah terhadap masukan dan keluhan masyarakat, dengan
mendesain ulang rancangan revisi UU No 6/1983, khususnya terkait PPN. Dari pernyataan Staf
Khusus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo, kita menangkap,
pengecualian PPN yang terlalu luas selama ini membuat kita gagal
mengoptimalkan penerimaan pajak. Langkah yang mungkin akan dilakukan untuk
membenahi adalah mengubah tarif PPN ke dalam tiga skema tarif: tarif umum,
multitarif, dan tarif final. Harus dipastikan, perubahan
skema tarif yang akan diberlakukan pada barang dan jasa strategis tak makin
membebani dan harus berpihak kepada kepentingan terbesar kelompok masyarakat
bawah dan kelompok menengah rentan yang paling terdampak Covid-19. Jika
tidak, akan muncul ketidakadilan manakala insentif pajak untuk konsumsi
barang non-esensial, seperti Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) oleh
kelompok mampu, justru digenjot. Optimalisasi PPN juga tak boleh mengancam
pemulihan ekonomi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar