Ruang
Publik yang Kian Pengap Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 12 Juni 2021
Sambil berolahraga pagi,
seorang teman bertanya. ”Ada apa lagi, Pak. Kok tiba-tiba sekarang muncul
isu pasal penghinaan presiden. Sembako
dan pendidikan bakal dipajaki.” Saya
coba renungkan pertanyaan teman itu. Ruang politik dan virtual pengap. Isu
datang silih berganti. Ada isu yang diproduksi negara atau isu yang hadir di
tengah masyarakat. Kisruh di Komisi
Pemberantasan Korupsi belum kelar. Padahal, Presiden Jokowi sudah memberikan
arahan jelas. ”Hasil tes wawasan
kebangsaan tidak serta-merta dijadikan alasan memberhentikan pegawai.” Putusan Mahkamah Konstitusi
senada. Namun, Ketua KPK Komisaris
Jenderal (Pol) Firli Bahuri akan memberhentikan 51 pegawai. Seandainya arahan Presiden
diikuti, masalah di KPK kelar. Kini isu KPK menjalar ke mana-mana. Wakil
Ketua KPK Lili Pintauli Siregar diadukan ke Dewan Pengawas KPK karena dugaan pelanggaran
etik. Penyidik KPK diadukan ke Dewas. Pegawai KPK mengadu ke Komnas HAM dan
Ombudsman. Pimpinan KPK tidak hadir
saat dipanggil Komnas HAM. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo mendukung langkah KPK. Ribut lagi. Dalam kasus berbeda,
ketika mendengar keluhan soal premanisme di kawasan Tanjung Priok, Jakarta,
dari sopir kontainer, Presiden Jokowi langsung menelepon Kapolri Jenderal
(Pol) Listyo Sigit Prabowo. Urusan
preman langsung dibereskan. Sejumlah preman
ditangkap. Salut untuk Kapolri yang tegak lurus menjalankan perintah Presiden. Urusan
preman selesai. Namun, dalam urusan KPK, Firli menafsirkan berbeda. KPK belum kelar, muncul
lagi isu anggaran pengadaan alat utama sistem persenjataan Rp 1.700 triliun. Ruang publik ribut lagi.
Belum tuntas senjata, muncul lagi kehebohan baru soal rencana pemerintah
mengenakan pajak sembako, pajak
pendidikan, dan kesehatan. Pemerintah jadi sasaran kritik. Muncul lagi soal dana
haji dan terakhir rancangan KUHP soal penghinaan presiden dan kekuasaan umum. Publik terbelah. Tetapi
bisa juga sengaja dibelah konsentrasinya. Terlalu banyak isu dan masalah
muncul atau dimunculkan. Ruang percakapan publik begitu pengap di tengah
kecemasan publik soal peningkatan pandemi. Di tengah pengapnya ruang
publik, DPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan pemerintah ancang-ancang
menetapkan tanggal pemilu pada 28 Februari 2024 dan pilkada serentak pada 27
November 2024. Tanggal itu belum pasti karena 28 Februari 2024 adalah Hari
Raya Galungan. Tak mungkin pemilu digelar di hari besar keagamaan. Politik datang begitu
cepat. Jika pemilu presiden bulan Februari 2024, paling tidak tahapan pemilu
dimulai Maret 2022. Keefektifan
pemerintahan Presiden Jokowi bisa terganggu. Semoga tidak. Sambil menjaga
kondisi negeri agar tetap baik-baik saja dan menjaga agar tidak kian memburuk, persiapan menuju 2024 pantas
dicermati. Kalender konstitusional yang
ketat itu patut dipertimbangkan saksama karena penuh risiko. KPU periode 2017-2022
berakhir masa jabatannya April 2022. Artinya, pemilihan anggota KPU harus
disiapkan sejak akhir 2021. Tahapan pemilu pada bulan April 2022 sudah akan dijalankan KPU
2022-2027. Waktunya mepet. Tahun 2022-2023 sejumlah kepala daerah habis masa
jabatannya. Separuh Republik akan dipimpin penjabat kepala daerah. Pemilihan 2024 sangat
kompleks karena ada pemilu legislatif dan pemilihan presiden serentak dan
kemudian diikuti pilkada serentak.
Jika Pilpres 28 Februari 2024, akan ada masa ”tidak nyaman secara politik” karena
Presiden Jokowi masih akan menjabat hingga 20 Oktober 2024 dan pada 28
Februari 2024, minimal sudah bisa ada
presiden terpilih berdasar hitung cepat. Masih ada waktu delapan
bulan. Begitu lama. Sementara Pilkada
Serentak 27 November 2024 dan pencalonan kepala daerah menggunakan hasil
pemilu Februari 2024. Pilkada serentak akan dilaksanakan di bawah tanggung
jawab presiden baru, yang baru menjabat satu bulan. Di sisi lain, peminat
kursi presiden mulai bergerilya. Pemasar politik mulai
”menjual” pasangan, apakah Prabowo Subianto-Puan Maharani atau
Megawati-Prabowo. Ketegangan terjadi di internal PDI-P antara Ganjar Pranowo
dan Bambang Wuryanto. Belakangan PDI-P-Gerindra
mesra. Gelar profesor kehormatan diberikan kepada Megawati oleh Universitas Pertahanan.
Ada juga yang memasarkan Puan Maharani-Anies Baswedan. Agus Harimurti
Yudhoyono gesit bergerilya menemui pimpinan daerah. Begitu juga Anies
Baswedan yang bertemu Ridwan Kamil di Sumedang. PKS dengan logo barunya
bertemu dengan partai lain. Begitu
juga PKB, Partai Golkar yang menjagokan Airlangga Hartarto, serta Partai Nasdem yang menggagas konvensi calon
presiden. Entah apa yang
dipercakapkan para peminat kursi presiden atau dalam silaturahmi pimpinan
parpol. Semoga mereka membicarakan penyelesaian kisruh pegawai KPK yang akan dipecat karena tak
bisa dibina lagi. Terasa seperti habis manis sepah dibuang. Sementara pimpinan KPK justru ingin menjadikan terpidana kasus korupsi sebagai penyuluh
korupsi. Semoga mereka juga
membicarakan bagaimana memperkuat daya dukung masyarakat yang kian melemah,
mengatasi pembelahan sosial di masyarakat. Bukan justru membicarakan
bagaimana memperkuat posisi negara dan melemahkan demokrasi dan melemahkan
gerakan antikorupsi. Musim persaingan politik
datang lebih cepat. Rasanya baik bagi
publik melihat calon pemimpin yang punya rekam jejak kuat memberantas
korupsi, menyelesaikan masalah pelanggaran HAM, menghadirkan keadilan
sosial dan kesejahteraan masyarakat. Rekam jejak perlu didalami karena sejarah mengajarkan, pemimpin itu kerap, lain kata, lain
perbuatan. Lain saat kampanye, lain saat memerintah. Suara rakyat dibutuhkan
satu saat. Saat lain, suara rakyat dicampakkan ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar