Selasa, 15 Juni 2021

 

Kapal Tenggelam ASEAN dan Pilihan Indonesia

Lina A Alexandra ;  Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS

KOMPAS, 14 Juni 2021

 

 

                                                           

Pertemuan Ketua ASEAN dan Sekjen ASEAN dengan perwakilan State Administration Council, 4-5 Juni 2021, di Naypyidaw telah menimbulkan reaksi negatif terhadap ASEAN. Aksi pembakaran bendera ASEAN dilakukan oleh berbagai pihak prodemokrasi sebagai ungkapan kemarahan dan pupusnya harapan terhadap ASEAN. Dalam pernyataannya, National Unity Government menyatakan institusi ini tidak akan lagi berharap ASEAN akan mampu menolong Myanmar.

 

Pertengahan Maret 2021, Presiden Joko Widodo mengambil inisiatif mendorong Brunei sebagai Ketua ASEAN untuk menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi yang secara khusus membahas krisis di Myanmar. Meski akhirnya baru terwujud satu bulan kemudian, pertemuan yang menghasilkan Kesepakatan Lima Poin (Five-Point Consensus) memunculkan secercah harapan terhadap ASEAN.

 

Di satu sisi, kegagalan ASEAN ini akibat kegagalan Brunei sebagai ketua menindaklanjuti pelaksanaan Five-Point Consensus, khususnya terkait penunjukan utusan khusus ASEAN. Di sisi lain, ini tantangan dan kesempatan Indonesia menunjukkan kepemimpinannya di kawasan.

 

Dua pilihan

 

ASEAN saat ini berada di titik nadir. Pilihan apa lagi yang masih tersisa bagi Indonesia untuk menyelamatkan reputasinya sebagai pihak yang sejak awal mendorong peran ASEAN dalam penyelesaian krisis di Myanmar? Ada dua pilihan. Pertama, mengambil peran sebagai mitra pasif di dalam kerangka ASEAN, tetapi tetap kritis. Kedua, memilih menjadi mitra aktif di jalur non-ASEAN.

 

Jika memilih tetap bersama dengan ASEAN, Indonesia harus memikirkan strategi bagaimana memberikan tekanan lebih keras terhadap Brunei selama beberapa waktu ke depan. Indonesia harus menekan Brunei untuk segera berkonsultasi mengenai perumusan kerangka acuan (terms of reference) bagi utusan khusus ASEAN sesuai dengan aspirasi dari negara-negara ASEAN.

 

Untuk ini, Indonesia harus menetapkan tenggat yang sangat singkat bagi Brunei mengingat urgensi adanya utusan khusus ASEAN ini.

 

Di titik ini, Indonesia seharusnya sudah menyampaikan kepada Ketua ASEAN rancangan kerangka acuan yang sangat rinci dan progresif terkait mandat, otoritas, dan sumber daya yang diperlukan bagi utusan khusus ASEAN. Ini sangat penting mengingat perannya yang sangat besar untuk memastikan tercapainya tiga tujuan besar: penghentian kekerasan, mengoordinasi penyaluran bantuan kemanusiaan, dan memfasilitasi dialog politik.

 

Selain itu, Indonesia harus bisa memastikan terpilihnya figur yang kredibel dan mumpuni sebagai utusan khusus ASEAN. Utusan khusus dari Indonesia seharusnya prioritas yang dikejar mengingat Indonesia sejak awal selalu berusaha mendorong pendekatan yang komprehensif, tak berpihak, dan bebas dari kepentingan sepihak.

 

Memang, kemungkinan besar akan ada penolakan dari pihak militer Myanmar mengingat Indonesia salah satu negara ASEAN yang paling kritis sejak awal. Namun, jika utusan khusus ini dari Indonesia, setidaknya jalan ke depan menjadi sedikit lebih mulus ke arah tercapainya tiga tujuan besar Five-Point Consensus.

 

Mengingat Brunei hanya memiliki sisa waktu enam bulan sebelum mengakhiri masa keketuaannya, jika Indonesia memilih bekerja dalam kerangka ASEAN, Indonesia bisa bahu-membahu dengan sejumlah kecil negara anggota lain, seperti Malaysia dan Singapura yang sepaham untuk menekan Brunei agar mempercepat proses penunjukan utusan khusus.

 

Hal penting lain yang perlu dilakukan oleh ”coalition of the willing” ini adalah mulai mengajak Kamboja sebagai calon ketua ASEAN 2022 untuk lebih terlibat secara proaktif menyuarakan implementasi Five-Point Consensus secara benar. Ini penting untuk memastikan agar kesalahan yang dilakukan Brunei tak terus berlanjut.

 

Namun, jika tenggat yang ditetapkan Indonesia dilewati oleh Brunei, saatnya telah tiba bagi Indonesia untuk mengeksplorasi pilihan-pilihan jalur lain di luar ASEAN. Secara unilateral, Indonesia bisa menunjukkan berbagai sikap tegas yang menunjukkan keberpihakan yang lebih nyata kepada pihak National Unity Government (NUG).

 

Pemerintah Indonesia juga bisa memberikan kritik secara terbuka setiap kali ketua ASEAN atau bahkan nanti ketika utusan khusus ASEAN yang ditunjuk ternyata melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan pencapaian tiga tujuan besar dalam rangka penyelesaian krisis di Myanmar.

 

Secara ideal, sebetulnya Pemerintah Indonesia juga bisa mengingatkan Myanmar untuk menjalankan perlindungan terhadap populasi di dalam negaranya sesuai dengan prinsip Responsibility to Protect (R2P). Hal ini bisa menjadi suatu upaya untuk meluruskan ”kesalahan” Indonesia ketika memilih tidak terhadap resolusi R2P di PBB pada pertengahan Mei lalu.

 

Upaya multilateral

 

Agar lebih konkret dan memiliki dampak, Indonesia perlu melakukan upaya multilateral. Indonesia bisa bergandengan tangan dengan sejumlah kecil negara anggota ASEAN yang sepikir, mitra dialog ASEAN, dan organisasi internasional yang juga menginginkan kembalinya stabilitas politik dan perdamaian di Myanmar.

 

Indonesia bisa mulai membangun komunikasi dengan China, India, Jepang, Korea Selatan, serta bekerja sama dengan AS, Uni Eropa, dan Inggris sebagai pihak-pihak yang selama ini konsisten berusaha menekan militer Myanmar untuk menghentikan kejahatan terhadap rakyat Myanmar.

 

Menyatukan sumber daya yang ada untuk terus menekan rezim militer, baik melalui embargo terbatas untuk menghentikan bantuan yang bisa memperkuat militer untuk melanjutkan kejahatan kemanusiaannya maupun menyalurkan bantuan kemanusiaan serta dukungan lainnya untuk memperkuat kapasitas kelompok-kelompok prodemokrasi, bisa dilakukan.

 

Indonesia harus menetapkan pilihan untuk tidak ikut tenggelam dengan kapal ASEAN yang tampaknya akan segera karam. Sulit dimungkiri bahwa modal strategis Indonesia di Myanmar lebih sedikit dibandingkan dengan, misalnya, hubungan militer dan ekonomi Thailand dan Singapura.

 

Kendatipun demikian, seharusnya kepemimpinan Indonesia di ASEAN yang konsisten dan koheren dapat menggantikan minimnya modal strategis kita di Myanmar.

 

Pilihan apa pun yang diambil oleh Indonesia, penting untuk diingat bahwa penghentian kekerasan terhadap masyarakat sipil dan kembalinya demokrasi dan di Myanmar merupakan inisiatif yang didorong oleh Presiden Jokowi sejak awal. Untuk bisa mewujudkan misi ini, pilihan yang paling sulit pun harus diambil.

 

Bahkan jika pilihan itu akhirnya mengerucut pada perlunya bertindak tegas dan menciptakan suatu preseden untuk secara konsisten memperjuangkan prinsip-prinsip yang terpatri di Piagam ASEAN. Mendelegitimasi ASEAN, seperti halnya pil pahit yang harus diminum, mungkin diperlukan untuk menyembuhkan ASEAN. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar