Kapal
Tenggelam ASEAN dan Pilihan Indonesia Lina A Alexandra ; Peneliti Departemen Politik dan Hubungan
Internasional CSIS |
KOMPAS, 14 Juni 2021
Pertemuan Ketua ASEAN dan
Sekjen ASEAN dengan perwakilan State Administration Council, 4-5 Juni 2021,
di Naypyidaw telah menimbulkan reaksi negatif terhadap ASEAN. Aksi pembakaran
bendera ASEAN dilakukan oleh berbagai pihak prodemokrasi sebagai ungkapan
kemarahan dan pupusnya harapan terhadap ASEAN. Dalam pernyataannya, National
Unity Government menyatakan institusi ini tidak akan lagi berharap ASEAN akan
mampu menolong Myanmar. Pertengahan Maret 2021,
Presiden Joko Widodo mengambil inisiatif mendorong Brunei sebagai Ketua ASEAN
untuk menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi yang secara khusus membahas
krisis di Myanmar. Meski akhirnya baru terwujud satu bulan kemudian,
pertemuan yang menghasilkan Kesepakatan Lima Poin (Five-Point Consensus)
memunculkan secercah harapan terhadap ASEAN. Di satu sisi, kegagalan
ASEAN ini akibat kegagalan Brunei sebagai ketua menindaklanjuti pelaksanaan
Five-Point Consensus, khususnya terkait penunjukan utusan khusus ASEAN. Di
sisi lain, ini tantangan dan kesempatan Indonesia menunjukkan kepemimpinannya
di kawasan. Dua
pilihan ASEAN saat ini berada di
titik nadir. Pilihan apa lagi yang masih tersisa bagi Indonesia untuk
menyelamatkan reputasinya sebagai pihak yang sejak awal mendorong peran ASEAN
dalam penyelesaian krisis di Myanmar? Ada dua pilihan. Pertama, mengambil
peran sebagai mitra pasif di dalam kerangka ASEAN, tetapi tetap kritis.
Kedua, memilih menjadi mitra aktif di jalur non-ASEAN. Jika memilih tetap bersama
dengan ASEAN, Indonesia harus memikirkan strategi bagaimana memberikan
tekanan lebih keras terhadap Brunei selama beberapa waktu ke depan. Indonesia
harus menekan Brunei untuk segera berkonsultasi mengenai perumusan kerangka
acuan (terms of reference) bagi utusan khusus ASEAN sesuai dengan aspirasi
dari negara-negara ASEAN. Untuk ini, Indonesia harus
menetapkan tenggat yang sangat singkat bagi Brunei mengingat urgensi adanya
utusan khusus ASEAN ini. Di titik ini, Indonesia
seharusnya sudah menyampaikan kepada Ketua ASEAN rancangan kerangka acuan
yang sangat rinci dan progresif terkait mandat, otoritas, dan sumber daya
yang diperlukan bagi utusan khusus ASEAN. Ini sangat penting mengingat
perannya yang sangat besar untuk memastikan tercapainya tiga tujuan besar:
penghentian kekerasan, mengoordinasi penyaluran bantuan kemanusiaan, dan memfasilitasi
dialog politik. Selain itu, Indonesia
harus bisa memastikan terpilihnya figur yang kredibel dan mumpuni sebagai
utusan khusus ASEAN. Utusan khusus dari Indonesia seharusnya prioritas yang
dikejar mengingat Indonesia sejak awal selalu berusaha mendorong pendekatan
yang komprehensif, tak berpihak, dan bebas dari kepentingan sepihak. Memang, kemungkinan besar
akan ada penolakan dari pihak militer Myanmar mengingat Indonesia salah satu
negara ASEAN yang paling kritis sejak awal. Namun, jika utusan khusus ini
dari Indonesia, setidaknya jalan ke depan menjadi sedikit lebih mulus ke arah
tercapainya tiga tujuan besar Five-Point Consensus. Mengingat Brunei hanya
memiliki sisa waktu enam bulan sebelum mengakhiri masa keketuaannya, jika
Indonesia memilih bekerja dalam kerangka ASEAN, Indonesia bisa bahu-membahu
dengan sejumlah kecil negara anggota lain, seperti Malaysia dan Singapura
yang sepaham untuk menekan Brunei agar mempercepat proses penunjukan utusan
khusus. Hal penting lain yang
perlu dilakukan oleh ”coalition of the willing” ini adalah mulai mengajak
Kamboja sebagai calon ketua ASEAN 2022 untuk lebih terlibat secara proaktif
menyuarakan implementasi Five-Point Consensus secara benar. Ini penting untuk
memastikan agar kesalahan yang dilakukan Brunei tak terus berlanjut. Namun, jika tenggat yang
ditetapkan Indonesia dilewati oleh Brunei, saatnya telah tiba bagi Indonesia
untuk mengeksplorasi pilihan-pilihan jalur lain di luar ASEAN. Secara
unilateral, Indonesia bisa menunjukkan berbagai sikap tegas yang menunjukkan
keberpihakan yang lebih nyata kepada pihak National Unity Government (NUG). Pemerintah Indonesia juga
bisa memberikan kritik secara terbuka setiap kali ketua ASEAN atau bahkan
nanti ketika utusan khusus ASEAN yang ditunjuk ternyata melakukan hal-hal
yang tidak sejalan dengan pencapaian tiga tujuan besar dalam rangka
penyelesaian krisis di Myanmar. Secara ideal, sebetulnya
Pemerintah Indonesia juga bisa mengingatkan Myanmar untuk menjalankan
perlindungan terhadap populasi di dalam negaranya sesuai dengan prinsip
Responsibility to Protect (R2P). Hal ini bisa menjadi suatu upaya untuk
meluruskan ”kesalahan” Indonesia ketika memilih tidak terhadap resolusi R2P
di PBB pada pertengahan Mei lalu. Upaya
multilateral Agar lebih konkret dan
memiliki dampak, Indonesia perlu melakukan upaya multilateral. Indonesia bisa
bergandengan tangan dengan sejumlah kecil negara anggota ASEAN yang sepikir,
mitra dialog ASEAN, dan organisasi internasional yang juga menginginkan
kembalinya stabilitas politik dan perdamaian di Myanmar. Indonesia bisa mulai
membangun komunikasi dengan China, India, Jepang, Korea Selatan, serta
bekerja sama dengan AS, Uni Eropa, dan Inggris sebagai pihak-pihak yang
selama ini konsisten berusaha menekan militer Myanmar untuk menghentikan
kejahatan terhadap rakyat Myanmar. Menyatukan sumber daya
yang ada untuk terus menekan rezim militer, baik melalui embargo terbatas
untuk menghentikan bantuan yang bisa memperkuat militer untuk melanjutkan
kejahatan kemanusiaannya maupun menyalurkan bantuan kemanusiaan serta
dukungan lainnya untuk memperkuat kapasitas kelompok-kelompok prodemokrasi,
bisa dilakukan. Indonesia harus menetapkan
pilihan untuk tidak ikut tenggelam dengan kapal ASEAN yang tampaknya akan
segera karam. Sulit dimungkiri bahwa modal strategis Indonesia di Myanmar
lebih sedikit dibandingkan dengan, misalnya, hubungan militer dan ekonomi
Thailand dan Singapura. Kendatipun demikian,
seharusnya kepemimpinan Indonesia di ASEAN yang konsisten dan koheren dapat
menggantikan minimnya modal strategis kita di Myanmar. Pilihan apa pun yang
diambil oleh Indonesia, penting untuk diingat bahwa penghentian kekerasan
terhadap masyarakat sipil dan kembalinya demokrasi dan di Myanmar merupakan
inisiatif yang didorong oleh Presiden Jokowi sejak awal. Untuk bisa
mewujudkan misi ini, pilihan yang paling sulit pun harus diambil. Bahkan jika pilihan itu
akhirnya mengerucut pada perlunya bertindak tegas dan menciptakan suatu
preseden untuk secara konsisten memperjuangkan prinsip-prinsip yang terpatri
di Piagam ASEAN. Mendelegitimasi ASEAN, seperti halnya pil pahit yang harus
diminum, mungkin diperlukan untuk menyembuhkan ASEAN. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar