Minggu, 13 Juni 2021

 

Salah Menggunakan Kata ”Kalau”

Nur Adji ;  Penyelaras Bahasa Kompas

KOMPAS, 12 Juni 2021

 

 

                                                           

Bahasa jurnalistik termasuk ragam semiformal. Kira-kira demikian pernyataan Bu Felicia Utorodewo saat membekali calon wartawan di kelas diklat. Disebut semiformal karena pilihan kata dan gaya bahasanya berbeda, misalnya, dengan pilihan kata dan gaya bahasa akademis yang formal.

 

Meskipun demikian, menurut pengarang buku Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah itu, pemilihan kata dalam tulisan jurnalistik tetap harus diperhatikan. Tidak boleh sembarang menempatkan kata yang tidak sesuai dengan makna, peruntukan, atau bangun kalimatnya.

 

Penempatan kata yang tidak sesuai dengan maknanya, atau peruntukannya, atau bangun kalimatnya memang masih kerap ditemukan dalam tulisan-tulisan jurnalistik, juga tulisan akademis. Salah satunya, penggunaan kata kalau dalam kalimat.

 

Kata kalau berkategori kata hubung (antarklausa) dan digunakan di depan klausa yang menandai syarat (kondisional). Isinya menyatakan sesuatu yang mungkin, tetapi bisa juga sesuatu yang tidak mungkin, dilaksanakan atau mungkin tercapai. Kata ini juga menandakan pengandaian.

 

Kita lihat contoh kalimat sederhana berikut. ”Kalau tidak cedera, Sergio Ramos pasti akan memperkuat Spanyol di Piala Eropa”. Contoh lain: ”Kalau dia menjadi presiden, saya akan menjadi menterinya”.

 

Kalimat pertama menunjukkan adanya syarat yang harus dipenuhi Ramos agar bisa memperkuat Spanyol di Piala Eropa, yakni tidak cedera. Hal itu mungkin terjadi apabila Ramos betul-betul tidak cedera. Namun, kenyataan membuktikan Ramos tidak memperkuat Spanyol karena cedera.

 

Adapun kalimat kedua menunjukkan bahwa syarat agar saya menjadi menteri adalah apabila dia menjadi presiden. Hal itu rasanya tidak mungkin terjadi atau tidak mungkin tercapai mengingat belum tentu jika dia terpilih menjadi presiden, lalu memilih saya sebagai menterinya.

 

Klausa yang mengandung makna syarat pada contoh di atas adalah klausa yang didahului kata kalau (kalau tidak cedera dan kalau dia menjadi presiden). Keduanya digolongkan sebagai klausa terikat, klausa yang tidak bisa berdiri sendiri. Dalam tataran kalimat disebut anak kalimat.

 

Adapun klausa yang mendampinginya adalah klausa bebas, klausa yang bisa berdiri sendiri. Dalam tataran kalimat disebut induk kalimat. Masing-masing adalah Sergio Ramos pasti akan memperkuat Spanyol di Piala Eropa dan saya akan menjadi menterinya.

 

Dari segi tata bahasa, kedua kalimat itu tidak bermasalah. Kedua kalimat itu juga benar-benar baik sebagai kesatuan. Kedua kalimat itu dikatakan bermasalah jika klausa bebasnya (induk kalimatnya) tidak dicantumkan. Kalimat tersebut menjadi menggantung. Tidak tuntas.

 

Jadi, jika sebuah klausa menggunakan kata kalau, dapat dipastikan klausa tersebut adalah klausa terikat (anak kalimat). Maka, klausa pasangannya harus berupa klausa bebas/induk kalimat. Jika tidak, kalimat tersebut akan menggantung. Maknanya tercekat di kerongkongan.

 

Tidak tepat

 

Lalu, bagaimana dengan pemakaian kalau (juga jika dan apabila) pada contoh berikut, yang hingga hari ini dapat kita temukan dalam penggunaan bahasa sehari-hari?

 

1.   Komisaris Peter Taylor, salah satu polisi yang menangani insiden Hillsborough, menyatakan kalau tribun berdiri sudah seharusnya diubah menjadi tribun duduk.

2.   Mensos mengatakan jika bantuan yang disalurkan pada bulan April tersebut adalah bantuan bencana alam dan bukan bantuan PKH seperti yang disebutkan Bupati Alor.

3.   Ia mengatakan apabila stok beras yang ada saat ini meresahkan dirinya.

 

Ketiga contoh tersebut memperlihatkan penggunaan kalau, jika, dan apabila yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Kalimat dengan kata hubung tersebut sepertinya kalimat sempurna, padahal tidak. Ketidaksempurnaan itu disebabkan ketidaktepatan penggunaan kalau, jika, dan apabila yang menyebabkan kalimat mengambang.

 

Pada contoh pertama, misalnya, penggunaan kalau menyebabkan kalimat menggantung (… menyatakan kalau tribun berdiri sudah seharusnya diubah menjadi tribun duduk).

 

Kalimat tersebut dianggap belum selesai karena penulis menggunakan kata kalau. Kalau dibaca, intonasinya belum turun ketika kita membaca. Hal itu membuktikan bahwa kalimat itu belum selesai dan seharusnya tidak boleh diberi tanda titik. Bagian kalimat dari kata kalau sampai duduk berisi syarat.

 

Ketika membaca kalimat tersebut, mestinya kita akan bertanya, lalu kenapa kalau tribun berdiri sudah seharusnya diubah menjadi tribun duduk?

 

Kalimat dianggap selesai jika kita mengganti kalau dengan kata hubung yang dipergunakan untuk menyatakan isi atau uraian bagian kalimat yang berada di depan, yakni bahwa. Kata bahwa juga menandakan bahwa klausa yang mengikutinya merupakan pernyataan, bukan pengandaian.

 

Dengan demikian, perbaikan terhadap ketiga kalimat contoh di atas adalah sebagai berikut.

 

1.   Komisaris Peter Taylor, salah satu polisi yang menangani insiden Hillsborough, menyatakan bahwa tribun berdiri sudah seharusnya diubah menjadi tribun duduk.

2.   Mensos mengatakan bahwa bantuan yang disalurkan pada bulan April tersebut adalah bantuan bencana alam dan bukan bantuan PKH seperti yang disebutkan Bupati Alor.

3.   Ia mengatakan bahwa stok beras yang ada saat ini meresahkan dirinya.

 

Di beberapa media, kata bahwa dalam kalimat tersebut malah bisa diganti dengan tanda koma, atau tidak diberi tanda sama sekali. Salah satu contoh di atas, umpamanya saja, bisa diubah menjadi ”Komisaris Peter Taylor, salah satu polisi yang menangani insiden Hillsborough, menyatakan, tribun berdiri sudah seharusnya diubah menjadi tribun duduk”. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar