Minggu, 13 Juni 2021

 

”Responsibility to Protect” dan Peran Indonesia

Sigit Riyanto ;  Guru Besar Hukum Internasional FH UGM; Pejabat Pelindung pada Komisaris Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (2002-2006)

KOMPAS, 12 Juni 2021

 

 

                                                           

Sidang Pleno ke-75 Majelis Umum PBB pada 18 Mei 2021 memutuskan menerima Resolusi terkait pembentukan mata agenda baru di PBB berjudul The Responsibility to Protect and the prevention of genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity. Rancangan Resolusi mengenai The Responsibility to Protect (RtoP) tersebut berisi, antara lain, pembentukan mata agenda baru tahunan Majelis Umum PBB tentang RtoP dan permintaan Sekjen PBB untuk menyampaikan laporan tahunan tentang RtoP kepada Sidang Umum PBB.

 

Dalam Sidang Pleno Majelis Umum PBB tersebut, Indonesia justru dilaporkan masuk dalam daftar negara yang menolak Resolusi. Argumen yang dibangun dan disampaikan dan menjadi dasar penolakan Indonesia adalah bahwa resolusi ini bersifat prosedural dan bukan resolusi mengenai penolakan atau penerimaan negara terhadap konsep-konsep pencegahan dan penindakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan sejenisnya.

 

Tampaknya argumen ini terasa janggal dan layak untuk dikaji dan diuji relevansinya bagi peran Indonesia di hadapan masyarakat internasional. Dalam sistem hukum internasional aspek prosedural adalah melekat (inherent) dan tak dapat dipisahkan dari aspek substantifnya. Praktik negara-negara (state pratices) dalam kaitannya dengan hukum internasional selalu dikaitkan dengan keyakinan hukum (opinion juris).

 

Fondasi normatif-filosofis

 

Doktrin RtoP bermula dari ajaran tentang intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) yang dikemukakan oleh Grotius (Hugo de Groot) pada abad ke-17 (10 April 1583-28 Agustus 1645) yang mengajarkan bahwa intervensi dilakukan untuk menghentikan terjadinya pelanggaran hak-hak dasar manusia yang sangat brutal di suatu wilayah negara.

 

Dalam perkembangannya, doktrin RtoP ini makin diterima dan didukung masyarakat internasional sehingga pada tahun 2005 semua negara anggota PBB menerima konsep ini dan meneguhkan komitmen politiknya untuk mengakhiri kekerasan dan persekusi di seluruh wilayah dunia. Doktrin RtoP menyeimbangkan kewajiban negara yang didasarkan pada prinsip kedaulatan menurut hukum internasional, hak asasi manusia, hukum dan humaniter internasional vis a vis realitas terjadinya genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan melawan kemanusiaan.

 

Sejak diadopsi masyarakat internasional, doktrin R2P telah menjadi inspirasi dan fondasi normatif bagi upaya melindungi semua penduduk dari kejahatan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan melawan kemanusiaan. Kekuatan normatif-filosofis doktrin ini didasarkan pada penghormatan terhadap norma dan prinsip hukum universal, terutama asas-asas hukum yang berkaitan dengan kedaulatan, perdamaian dan keamanan, hak asasi manusia, dan konflik bersenjata.

Ambiguitas

 

Norma hukum internasional yang diterima masyarakat internasional sejak berdirinya PBB menegaskan prinsip non-intervensi dalam Piagam PBB; khususnya Pasal 2 Ayat (4) dan Pasal 2 Ayat (7). Interpretasi Mahkamah Internasional juga menguatkan berlakunya prinsip ini. Sementara Bab VII Piagam merumuskan landasan normatif intervensi dan penggunaan kekerasan atas kuasa PBB berdasarkan konsep keamanan internasional kolektif (international collective security) yang dimandatkan kepada Dewan Keamanan PBB.

 

Konsep keamanan kolektif diterima oleh masyarakat internasional dengan tujuan menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Dewan Keamanan PBB dibayangkan sebagai kekuatan penyangga (buffer power) untuk mencegah terjadinya agresi oleh suatu negara terhadap negara lain yang dapat memicu terjadinya perang internasional bahkan perang dalam skala yang lebih luas.

 

Faktanya, intervensi suatu negara ke wilayah negara lain bukan merupakan hal baru. Dari waktu ke waktu, intervensi dan pengerahan kekuatan militer untuk masuk ke wilayah suatu negara sudah banyak terjadi.

 

Konsep dan pemaknaan intervensi ini telah berkembang secara dinamis sejalan dengan konteks politik dan hukum internasional. Sejarah mencatat bahwa negara secara mandiri atau kolektif melakukan intervensi ke negara lain berdasarkan kepentingan, alasan, dan dalih yang beragam. Rasionalisasi dan rujukan normatif yang digunakan dalam melakukan intervensi sering kali menunjukkan inkonsistensi dan ambiguitas.

 

Transformasi tata kelola global

 

Mengapa intervensi kemanusiaan dianggap relevan dalam sistem internasional kontemporer? Pada dasarnya setiap negara berdaulat atas urusan yang terjadi di wilayahnya. Namun, ketika negara tidak mampu (unable) dan tidak mau (unwilling) melindungi dan atau menyediakan bantuan yang diperlukan untuk kehidupan warganya; atas dasar rasa kemanusiaan universal, masyarakat internasional punya kesempatan untuk membantu.

 

Intervensi dilaksanakan bukan untuk menguasai, melainkan untuk mencegah dan menghentikan terjadinya bencana kemanusiaan. Kehadiran masyarakat internasional bersifat komplementer dan dilakukan manakala diperlukan.

 

Berakhirnya Perang Dunia Kedua mendorong masyarakat internasional sampai pada kesepakatan bahwa penghormatan HAM, penyelesaian sengketa secara damai, arsitektur keamanan kolektif, dan prinsip non-intervensi, sebagai bagian konstitusi politik internasional yang tertuang dalam Piagam PBB. Realitasnya masyarakat internasional dan organisasi internasional harus menghadapi peta situasi konflik yang makin rumit dan memerlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan kontekstual.

 

Kerumitan ini dipicu oleh perubahan dalam model dan karakter konflik dengan kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah dunia. Sebagian besar konflik bersenjata yang terjadi bukan konflik antarnegara (inter-state), melainkan konflik bersenjata di dalam negeri (intra state), dan jumlahnya makin meningkat.

 

Konflik yang terjadi ditandai dan atau sebagai akibat kegagalan negara (State failure) dalam mengelola dampak globalisasi terhadap transformasi politik, sosial, dan ekonomi. Gejala semacam ini telah meningkatkan kompetisi untuk menguasai sumber daya alam maupun dampak ikutannya termasuk terjadinya kekerasan terorganisasi oleh para pelaku yang mengatasnamakan negara (State actors) maupun bukan atas nama negara (non-state actors).

 

Konflik dengan kekerasan di berbagai wilayah dunia telah mengakibatkan korban di kalangan penduduk sipil (civilians) dan pemindahan manusia secara paksa (forced human displacement), meningkat secara dramatis sejak tahun 1990-an. Keterlibatan dan kehancuran otoritas publik di berbagai wilayah yang dilanda konflik bersenjata telah mengakibatkan terjadinya kekaburan pembedaan antara combatants dan civilians. Celakanya penduduk sipil telah secara nyata dijadikan target atau sasaran oleh para pihak yang sedang terlibat dalam konflik bersenjata.

 

Pada akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21, pemahaman tentang kedaulatan sebagai konsep yang absolut tampak tidak relevan. Kegagalan otoritas nasional dalam mengelola dinamika politik dan memberi perlindungan hak asasi warganya sebagaimana terjadi di wilayah Angola, Afghanistan, Myanmar, Somalia, Irak, Rwanda, dan eks Yugoslavia merupakan landasan sahih bahwa negara tidak dapat menutup diri dari bantuan masyarakat internasional dengan dalih atau atas nama kedaulatan. Kedaulatan negara tidak dapat dijadikan perisai (shield) oleh otoritas nasional untuk mencegah bantuan eksternal kepada warga di negara yang bersangkutan yang memerlukan bantuan kemanusiaan dan perlindungan internasional.

 

Kekejaman dan pelanggaran berat hak asasi manusia di Rwanda (Afrika) dan Yugoslavia (Eropa) pada tahun 1990-an merupakan pengalaman sangat penting bagi masyarakat internasional. Kejahatan kemanusiaan yang terjadi di kedua wilayah tersebut memicu transformasi tata kelola global dalam penanganan kejahatan internasional melalui pembentukan mahkamah pidana internasional, baik yang bersifat ad hoc (ICTY & ICTR) maupun yang permanen (ICC).

 

Perkembangan lain yang tak kalah penting adalah munculnya perdebatan dan kesadaran tentang urgensi dan relevansi intervensi kemanusiaan, dan kontekstualisasi kewajiban universal untuk memberikan perlindungan bagi warga sipil yang sangat memerlukan, ketika otoritas nasional negara yang bersangkutan tak bisa diharapkan atau merupakan bagian dari masalah.

 

Penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia lebih diutamakan daripada kedaulatan negara. Intervensi kemanusiaan dalam rangka perlindungan hak asasi manusia menemukan landasan moral dan legal yang sahih dalam sistem hukum internasional kontemporer. Inilah esensi intervensi kemanusiaan dan doktrin RtoP.

 

Penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia merupakan kewajiban erga omnes bagi setiap negara. Konsekuensinya, ketika terjadi pelanggaran hak asasi manusia di mana pun, setiap negara berhak mempertanyakan peristiwa tersebut. Hal ini di dukung dan diperkuat oleh doktrin hukum universal maupun keputusan peradilan internasional (case law). Suatu negara yang melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban tersebut telah kehilangan legitimasi atas kedaulatannya.

 

Kapasitas Indonesia

 

Bagaimanakah relevansi Resolusi Majelis Umum PBB dalam sistem hukum internasional? Pandangan konservatif yang didukung dan didesakkan oleh para politisi di Eropa dan Amerika meyakini bahwa Resolusi Majelis Umum bukan instrumen yang memiliki kekuatan hukum mengikat (legally binding). Resolusi Majelis Umum dianggap sebagai rekomendasi atau imbauan saja (de lege feranda), bukan instumen hukum yang mengikat secara ketat dan dianggap sebagai soft law.

 

Namun, interpretasi kontekstual dan didukung oleh fakta-fakta yang relevan menunjukkan bahwa suatu prinsip yang merefleksikan kepentingan bersama (common interest) yang diterima dan mendapat dukungan luas masyarakat internasional melalui praktik yang konsisten dan disertai keyakinan hukum (opinio juris), bahkan dapat menjelma menjadi norma hukum pemaksa (jus cogens) dalam hukum internasional. Interpretasi ini didukung oleh bukti tentang pengaruh prinsip tersebut dalam sikap politik masyarakat internasional dan pembentukan hukum internasional (law making process) di kemudian hari.

 

Pada tahun 1955, Indonesia telah membuktikan kapasitasnya sebagai pelopor dan pemimpin bagi negara-negara di Asia dan Afrika dengan lahirnya Dasa Sila Bandung (Bandung Principles), yang memuat prinsip-prinsip hukum internasional yang menjadi inspirasi solidaritas internasional dan pembebasan bangsa-bangsa terjajah di Asia dan Afrika. Dasa Sila Bandung merupakan bukti faktual Indonesia telah memimpin pembentukan fondasi normatif solidaritas universal dan proses dekolonisasi yang berpijak pada hukum dan kemanusiaan sesuai tantangan jaman.

 

Banyak yang berharap, capaian dan kontribusi strategis di masa lalu menjadi modal kuat dan menjadi dasar kepercayaan diri Indonesia di hadapan komunitas internasional. Kini Indonesia diuji kapasitasnya untuk menghadirkan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab dalam ranah politik dan hukum internasional. Sangat disayangkan, kali ini kesempatan itu dilewatkan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar