Membangun
Komunikasi Otentik di Tengah Pandemi Steph Tupeng Witin SVD ; Rohaniwan Katolik |
KOMPAS, 13 Juni 2021
”Buka
mata Anda dengan takjub terhadap apa yang Anda lihat dan biarkan tanganmu
merasakan kesegaran dan vitalitas sehingga ketika orang lain membaca apa yang
Anda tulis, mereka akan menyentuh denyut kehidupan yang ajaib.” Kata-kata di atas mengalir
dari hati Beato Manuel Lozado Garrido (1920-1071), wartawan berkebangsaan Spanyol,
yang dibeatifikasi (Latin: Beato: berbahagia) tahun 2010, kepada sesama
wartawan. Paus Fransiskus mengutip pesan Beato Manuel itu untuk menarasikan
respek mendalam kepada jurnalis dan dunianya agar menghadirkan informasi yang
berkualitas. Jurnalisme berkualitas
akan memproduksi informasi berkualitas yang menjadi oksigen untuk menyegarkan
ruang publik dan menghadirkan demokrasi berkualitas sebagai gerbang memasuki
hidup sejahtera. Jurnalisme berkualitas hadir dalam iklim pers bebas yang
Paus Fransiskus lukiskan sebagai ”indikator penting kondisi kesehatan suatu
negara.” Di tengah situasi dunia
yang ditandai kekerasan dan polarisasi, Paus Fransiskus mengajak para
jurnalis agar menjadi komunikator sejati yang ditandai dengan keberanian
mendedikasi hidup dan profesi untuk menghadirkan kesejahteraan bagi orang
lain, entah secara individu hingga kehidupan seluruh keluarga manusia.
Komunikator sejati setia melibatkan diri dalam seluruh kehidupan orang lain,
dengan berpihak kepada para korban, pihak yang dianiaya, dikecualikan,
disingkirkan dan didiskriminasi, karena setiap manusia menjadi ”anggota satu
sama lain” (Paus Fransiskus: 2021). Selama masa pandemi
Covid-19 ini, pengalaman telah menunjukkan betapa pentingnya misi media
komunikasi untuk menyatukan orang, memperpendek jarak, menyediakan informasi
yang diperlukan, dan membuka pikiran dan hati kepada kebenaran. Publik
membutuhkan media yang mampu mempertahankan kehidupan dan meruntuhkan tembok
yang menghalangi dialog tulus dan komunikasi jujur antara individu dan
masyarakat. Jurnalisme yang baik dan
bebas mesti melayani semua orang, terutama mereka yang tidak mampu
menyampaikan aspirasinya. Jurnalisme yang didedikasikan untuk mencari
kebenaran akan membuka jalan menuju persekutuan (kebersamaan) dan perdamaian.
Kita tetap bersama meskipun terpisah (together while apart). Sebuah
kebersamaan paradoksal dari fakta pengalaman jarak sosial yang diterapkan
selama masa pandemi. Komunikasi
otentik Paus Fransiskus dalam
pesan Hari Komunikasi Sosial 2021 mengajak para jurnalis agar membangun
komunikasi otentik dengan jalan: turun ke tengah realitas. Para jurnalis
mesti keluar dari ”zona nyaman” ruang redaksi, duduk di depan komputer,
wawancara jarak jauh dengan narasumber, terkadang berdasarkan foto dan video. Kebenaran yang murni
diperoleh melalui momen perjumpaan pribadi dengan orang lain apa adanya,
bersentuhan dengan realitas, tinggal bersama, mendengarkan kisah, mencatat
fakta lapangan lalu mengangkatnya ke panggung reportase dalam sosoknya yang
nyata. Bersentuhan dengan realitas berarti mengaktifkan kembali seluruh
pancaindera sehingga realitas itu berbau, berdesah, bergerak dan menyentuh
kulit tubuh. Kata-kata yang muncul dalam tulisan terasa hidup, segar dan
berenergi. Pembaca menikmati
pengalaman asli itu karena hadir di tengah realitas, mencium aroma, mendengar
desahan dan menyaksikan makhluk hidup bergerak. Realitas itu sangat
menakjubkan, fakta itu sakral (the fact are sacred) dan konstruksi atasnya
menghadirkan keajaiban karena menyentuh denyut kehidupan secara jujur. Menurut Ashadi Siregar
(2010), mengenali dan memahami realitas itu mutlak bagi jurnalis.
Memberitakan sebuah peristiwa dari belakang meja berbekal penuturan seseorang
mustahil menghasilkan berita tentang fakta secara lengkap, benar, akurat dan
utuh. Pendapat seseorang tentang suatu realitas mesti disikapi jurnalis
dengan kritis, skeptis, obyektif, independen dan netral. Jurnalis harus
bergaul langsung dengan realitas. Ia harus hadir di mana realitas itu berada.
Agar pengenalan dan pemahaman jurnalis menjadi utuh dan tajam. Sentuhan kemanusiaan
dengan realitas merupakan sebentuk verifikasi yang murni dan titian untuk
mengenal fakta dengan sederhana. Semua pancaindra menangkap getar kenyataan
melalui perannya masing-masing. Mereka berpartisipasi, menyumbang bagiannya
(Latin: pars) dan memperkaya realitas sehingga tulisan itu tiba di hadapan
pembaca sebagai sebuah lukisan menakjubkan. Jurnalis membangun cerita
untuk meyakinkan pembaca sebagai jalan menuju kebenaran. Ia menjadi seperti
pendongeng yang melukis dengan kata-kata, tetapi tetap faktual dan akurat
sebagai bukti kredibilitas. Apresiasi
jujur Paus Fransiskus
menggunakan ungkapan yang sangat lazim di kalangan para jurnalis yaitu
”menghabiskan sol sepatu”. Sol sepatu selalu menyentuh tanah, menindih
batu-batu kecil (kerikil), menggilas kotoran manusia dan hewan sehingga
berbau busuk, menyepak penghalang sepanjang jalan dan melindungi kaki dari
semua bahaya. Sentuhan dengan tanah dan batu bisa membuat sol sepatu aus,
menipis dan habis bonggolannya. Ungkapan familiar itu merupakan sebentuk
apresiasi yang jujur kepada jurnalis sebagai komunikator sejati yang
mendedikasikan diri dan hidup dengan utuh demi menghadirkan kebenaran. Sebuah pengakuan tulus
kepada para jurnalis yang meski dalam bayang-bayang represi pandemi tetap
setia turun ke lapangan, bertemu dengan orang kecil, berbicara, mendengarkan
dan menangkap gerak tubuh yang ringkih. Mereka menyabung nyawa meski tetap
memperhatikan protokol kesehatan. Banyak jurnalis yang
menjadi korban selama pandemi meski telah menerapkan protokol kesehatan
ketat. Publik mesti mengapresiasi fakta ini sebagai bentuk pengorbanan luar
biasa dari para jurnalis yang bertaruh nyawa agar informasi yang dihadirkan
menjadi oksigen kebenaran untuk menyegarkan ruang publik yang sekian lama
dikotori informasi tendensius media sosial. Ajakan ”turun ke lapangan”
mesti mengingatkan segenap komponen bahwa jurnalisme itu sebuah profesi mulia
dan kudus. Ada tanggung jawab kenabian untuk menghadirkan kebenaran. Di tengah
disrupsi teknologi dan kebebasan yang menjadi dua pukulan terberat pers saat
ini untuk menghadirkan jurnalisme berkualitas sebagai titian menuju demokrasi
bermutu, manusia selalu akan merindukan dan mencari informasi yang benar
karena desakan alamiah hati nurani. Gemuruh banjir bandang
informasi tendensius dangkal dari media sosial tidak akan pernah
menghilangkan, apalagi mengubur desakan nurani manusia untuk mencari titik
kebenaran di antara puing-puing informasi media yang berserakan. Fakta inilah
yang membuat media-media arus utama tetap bertahan, tentu melalui adaptasi
diri dengan perkembangan teknologi komunikasi. Pada masa pandemi dan
berita bohong (hoaks) yang membandang, publik berharap jurnalis tetap loyal
kepada kepentingan rakyat. Setia menjadi suara kaum terpinggirkan yang selalu
terabaikan oleh kekuasaan (agama dan politik). Andreas Harsono (2010)
mengingatkan, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Hanya ada dua syarat untuk
menulis: harus tahu dan harus berani. Tahu saja tidak cukup. Harus punya
keberanian, punya nyali untuk menyatakan pikiran secara benar sesuai
realitas. Karena itu, kita butuhkan jurnalis dan penulis yang senang bekerja,
bahkan bekerja keras, gemar turun ke lapangan menghabiskan sol sepatu,
bertemu dengan orang kecil, bergaul dan bercampur dengan realitas sehingga
menghasilkan ”karya ajaib karena menyentuh denyut kehidupan” dan
berpengharapan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar