Tagar Alissa Wahid ; Aktivis dalam Bidang Sosial dan Keagamaan |
KOMPAS, 13 Juni 2021
Jagat Twitter Indonesia
sempat ramai dengan sebuah cuitan tentang betapa mahalnya honor seorang pemengaruh
(influencer) papan atas di media sosial. Jika pada masa lalu dihadirkan para
key opinion leader atau pemimpin opini kunci yang muncul di ruang nyata dan
dalam iklan-iklan di media massa untuk memengaruhi publik, saat ini para
pemengaruh media sosial-lah yang menjadi rebutan. Para pemengaruh kelas atas
ini dibayar mahal karena dianggap mampu menghasilkan buzz alias keriuhan
pembicaraan di media sosial. Dalam konsep pemasaran dari mulut ke mulut di
dunia usaha dan industri, keriuhan ini adalah proses menuju keputusan membeli
produk atau jasa yang ditawarkan, bermodal kepercayaan kepada sang figur
publik. Circa tahun 2000-an mulai
dikenal istilah tagar (tanda pagar, #, hashtag) untuk menyebut alat tagging
(penandaan, pelabelan) lintas konten yang kemudian difungsikan sebagai
instrumen untuk mengonsolidasikan percakapan di media sosial. Oleh dunia
usaha, tagar menjadi alat untuk mengukur keberhasilan proses memengaruhi
publik, yang terefleksikan dari angka jangkauan, engagement, dan macam-macam angka indikator lainnya. Selain untuk kepentingan
bisnis, tagar menjadi alat instrumental dalam membangun diskursus dalam
percakapan di media sosial. Ketika Iko Uwais membuat unggahan bertagar
#StopAsianHate, unggahannya bersaut dengan gerakan yang berkonteks di Amerika
Serikat tersebut. Unggahan Iko membuat tagar ini menjadi topik terkini
(trending topic). Tagar global #NotInMyName
atau #TidakAtasNamaSaya di pengujung pilpres 2019 membuat ribuan orang
menyuarakan kegelisahan mereka masing-masing terhadap sentimen kebencian atas
nama agama yang diumbar tokoh-tokoh politik yang sedang berebut kekuasaan.
Berkali-kali, respons negara berubah setelah keriuhan yang terjadi di media
sosial, seperti dihentikannya sinetron di Indosiar yang mempromosikan
poligami dan melanggar hak anak belum lama ini. Dalam perannya sebagai
medium demokratisasi berbasis digital, media sosial memang bertumpu pada
kekuatan konsep dan narasi. Apalagi, model algoritma kecerdasan buatan (AI)
membuat konsolidasi pendukung gagasan yang sama menjadi lebih mudah dengan
terciptanya kamar gema (echo chamber). Tribalisme digital menjadi tren yang
berkembang dengan pesat. Agaknya, watak dasar dan
kapasitas transformasional dari media sosial inilah yang dilihat dengan jeli
oleh kelompok-kelompok kepentingan politik dan kekuasaan. Skandal Cambridge
Analytica dalam Pemilihan Presiden AS 2016 serta referendum Brexit
menunjukkan kepada dunia betapa kebutuhan untuk membangun citra diri atau
menjatuhkan citra lawan secara cepat dan masif menemukan jawabannya dalam
dunia digital. Demi tujuan memenangi
pertarungan kekuasaan, para auktor intelektualis melakukannya dengan
menggunakan rekayasa sosial. Berbagai metode dikembangkan dengan memanfaatkan
keluguan masyarakat, baik lugu dalam berpikir kritis maupun dalam soal media
sosial. Percakapan di media sosial yang bersifat alamiah dan organik
direkayasa agar sesuai dengan kehendak pemilik kepentingan, digerakkan oleh
para buzzeRp yang memang dipekerjakan untuk itu. Dalam habitat naturalnya,
didahului percakapan organik yang kuat, sebuah tagar berkembang menjadi topik
terkini. Contohnya adalah tagar #HarlahNU atau #BlackLivesMatter. Topik
terkini menjadi penanda seberapa besar topik ini diperbincangkan. Dalam habitat rekayasanya,
sebuah topik dikerek agar menjadi topik terkini dengan akun palsu atau
sejumlah besar buzzer. Harapannya, setelah masuk dalam daftar topik terkini,
publik akan mencari tahu mengenai topik tersebut. Jika kita buka, kita akan
menemukan unggahan-unggahan aneh yang sama sekali tidak berhubungan dengan
muatan tagar tersebut. Contohnya adalah tagar #AuditDanaHaji yang masih gres
dan gagal. Pada 1925, Gandhi
memopulerkan daftar tujuh dosa sosial, di antaranya pengetahuan tanpa
karakter, ilmu tanpa kemanusiaan, dan politik tanpa prinsip. Ketiga hal ini
tampak sangat jelas dalam konteks rekayasa sosial melalui tagar politik. Rekayasa teknologi
informasi, kapitalisasi dinamika psikologis, pembohongan publik melalui
misinformasi dan disinformasi, serta penguatan sentimen kebencian kepada lawan
politik terus membanjiri kita. Topik terkini demi topik terkini yang tidak
bermakna membuat orang kehilangan kepercayaan terhadap daftar topik terkini
otentik. Demikianlah, tagar
terekayasa ini sejatinya justru menghancurkan industri yang melibatkan pemengaruh
dan pendengung. Kepercayaan, yang menjadi basis dari pengaruh si pemimpin
opini terhadap publik tidak lagi menjadi faktor penting dalam rekayasa sosial
di topik terkini. Tak hanya itu. Malangnya,
tagar terekayasa ini akan berdampak jangka panjang dalam kehidupan berbangsa.
Ia mengikis fondasi kehidupan bersama: rasa saling percaya, saling memahami,
dan sinergi melalui gotong royong. Padahal, rasa saling percaya adalah nilai
yang sangat penting dalam hubungan antara warga dengan negara serta warga dengan
warga. Di negara yang tidak dipercaya oleh rakyatnya, harga ekonomis yang
harus dibayar biasanya sangat besar. Tidak mudah untuk
mengatasi tantangan ini. Melawan perkembangan teknologi dan para pemilik
kepentingan secara langsung membutuhkan perubahan nilai dan sumber daya yang
tidak kecil. Dalam jangka panjang,
peluang yang paling menentukan untuk mengatasi ini adalah dengan meningkatkan
literasi warga bangsa dan kearifan kewargaan. Barangkali, ini tafsir masa
kini atas mandat proklamasi kemerdekaan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sungguh sebuah pekerjaan berat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar