Perlu
Lembaga Tunggal Arkeologi Nasional Djulianto Susantio ; Pemerhati Arkeologi |
KOMPAS, 14 Juni 2021
Pada 14 Juni ini lembaga
purbakala berusia 108 tahun. Hari Purbakala berawal dari pendirian
Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie atau Jawatan Purbakala pada 14
Juni 1913. Tanggal itulah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Purbakala.
Disebut Hari Purbakala (bukan Hari Arkeologi) karena ‘purbakala’ merupakan
nama awal. Nama ‘arkeologi’ baru dipakai pada masa kemudian. Orang pertama yang
menjabat Kepala Jawatan Purbakala adalah NJ Krom. Pada masa itu
pekerjaan-pekerjaan kepurbakalaan kebanyakan berhubungan dengan candi di
Pulau Jawa. Selanjutnya penelitian prasejarah, arkeologi Hindu-Buddha, dan
arkeologi Islam berlangsung di sejumlah daerah. Sebaliknya penelitian
arkeologi kolonial kurang mendapat tempat. Meskipun berusia 108
tahun, sampai kini arkeologi atau ilmu purbakala tetap saja mengalami
berbagai hambatan. Apalagi arkeologi bersinggungan dengan masyarakat. Sekadar
gambaran, kita belum tahu apakah di lahan warga terdapat tinggalan masa
lampau atau tidak. Uniknya, selama
bertahun-tahun banyak penemuan arkeologi justru berkat jasa warga. Misalnya
ketika sedang menggarap sawah, mata cangkul seorang petani membentur sepotong
benda keras yang ternyata batu candi.
Atau ketika sedang menggali tanah untuk sumur, para pekerja menemukan
struktur batu bata yang kemudian diidentifikasi berasal dari masa ratusan
tahun lalu. Penemuan yang tidak
disengaja seperti itu kemudian dilaporkan kepada instansi terkait. Dari
laporan itu, pihak arkeologi melakukan ekskavasi. Candi Sambisari, pernah
tertutup oleh debu letusan gunung berapi. Pihak arkeologi melakukan ekskavasi
selama bertahun-tahun sekaligus membuat fasilitas pertamanan agar candi
menjadi menarik. Pada dasarnya warisan
budaya masa lampau memang milik masyarakat. Namun tentu saja bukan berarti
masyarakat boleh merusak atau mengambil warisan-warisan tersebut. Sejak 2010
sudah ada aturan untuk melindungi warisan masa lampau berupa Undang-Undang
Cagar Budaya. Undang-Undang Cagar Budaya 2010 merupakan perluasan dari
Undang-Undang Benda Cagar Budaya 1992. Darat
dan air Arkeologi tidak hanya
berhubungan dengan benda-benda yang berada di dalam tanah atau di daratan.
Mengingat Nusantara pernah menjalin perdagangan internasional dengan banyak
negara, maka arkeologi pun mencakup perairan. Arkeologi bawah air, arkeologi
maritim, dan beberapa nama lain mendapat perhatian pada 1980-an saat ramai
pemberitaan tentang penjarahan harta karun di perairan Nusantara. Lokasi Nusantara yang
sangat strategis di antara dua benua dan dua samudera, menjadikan perairan
kita sering dilewati dan disinggahi kapal-kapal mancanegara. Kapal
kargo—karena membawa barang dagangan—begitulah yang dikenal masyarakat masa
kini. Sejak berabad-abad lalu, banyak kapal kargo tenggelam di perairan
Nusantara karena berbagai sebab seperti peperangan, menabrak karang, kena
badai, dan masalah teknis. Kapal-kapal itu membawa barang-barang berharga
seperti keramik, perhiasan, emas, benda logam, dan komoditi dagang lain. Sejak puluhan tahun lalu
banyak pemburu harta karun, dari nelayan tradisional hingga penjarah
internasional, mengeruk isi kapal karam dari perairan Nusantara. Bahkan hasil
lelang di mancanegara menghasilkan jutaan dollar. Masalah di daratan dan
perairan memang sungguh pelik. Sejak lama perbuatan ilegal itu selalu terjadi
berulang. Ini karena pihak berwenang sulit mengawasi, mengingat lahan di
daratan dan perairan amat sangat luas. Di pihak lain kita belum memiliki
sumber daya manusia yang memadai. Namun upaya pelestarian
mendapat dukungan dari berbagai kalangan masyarakat yang tergabung dalam
komunitas. Banyak komunitas peduli cagar budaya, komunitas sejarah, dan
berbagai nama lain turut melindungi, mendokumentasikan, sampai
menginventarisasi cagar budaya yang ada di wilayah masing-masing. Meskipun
demikian, masih banyak masyarakat lain yang melakukan penggalian atau
penyelaman secara ilegal demi faktor ekonomi. Dua
instansi Ketika masih bernama
Jawatan Purbakala (dinas purbakala), pekerjaan kepurbakalaan ditangani oleh
satu instansi. Begitu pun ketika pada 1964 nama dinas purbakala diganti
menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Kelak pada 1975
LPPN dipecah menjadi dua instansi, yakni Pusat Penelitian Purbakala dan
Peninggalan Nasional (P4N) yang bertugas di bidang penelitian arkeologi serta
Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP) yang bertugas di bidang pembinaan dan
pengembangan sejarah dan arkeologi. Dalam perjalanannya P4N
dan DSP beberapa kali berganti nomenklatur. Nama arkeologi mulai dipakai pada
1980 ketika P4N berubah menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Arkeologi berasal dari kata archaeos yang berarti purbakala dan logos yang
berarti ilmu. Jadi arkeologi bersifat keilmuan. Hanya dua instansi yang
memakai nama arkeologi, yakni Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan
sejumlah unit pelaksana teknisnya di luar Jakarta dan sejumlah perguruan
tinggi negeri (PTN) yang menyelenggarakan pendidikan Arkeologi. Boleh dibilang sejak itu
dikenal istilah purbakala dan arkeologi, sebagaimana tersirat dari dua
instansi yang menangani arkeologi. Pertama, Direktorat Purbakala (instansi
ini beberapa kali berganti nomenklatur) dan Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional (instansi ini juga beberapa kali berganti nomenklatur). Meskipun sama-sama berada
di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata, namun berbeda atasan langsung. Direktorat Purbakala di bawah
Direktorat Jenderal Kebudayaan, sementara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
di bawah pembinaan unit utama Badan Penelitian dan Pengembangan dan
Perbukuan. Adanya perbedaan antara
arkeologi dengan purbakala (lalu cagar budaya) justru membuat kebingungan
masyarakat. Beberapa tahun lalu sebelum ada sistem daring, pernah ada
masyarakat ingin mendaftarkan benda arkeologi ke Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional di Jakarta. Namun keinginannya ditolak oleh petugas dan diarahkan ke
Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang. Untuk itu perlu dipikirkan adanya satu
instansi arkeologi agar semua kegiatan, baik penelitian maupun pelestarian,
berpusat di satu tempat. Dalam beberapa tulisan,
penulis pernah mengusulkan adanya lembaga tunggal Arkeologi Nasional, macam
Arsip Nasional dan Perpustakaan Nasional, yang sudah terpusat. Semoga
Arkeologi Nasional, tak ubahnya Dinas Purbakala zaman kolonial, akan membawa
perubahan baik kepada arkeologi. Murni
dan terapan Pada dasarnya disiplin
arkeologi terbagi atas dua, yakni arkeologi murni dan arkeologi terapan.
Arkeologi mencakup pengetahuan dasar seperti ikonografi (pengetahuan tentang
arca kuno), keramologi (pengetahuan tentang keramik kuno), dan epigrafi
(pengetahuan tentang tulisan kuno). Sementara arkeologi terapan dipahami
sebagai upaya pemanfaatan sumber daya budaya bagi kepentingan masyarakat
luas. Dalam beberapa tahun
terakhir penelitian atau kajian arkeologi murni terus menurun. Banyak pakar
dari generasi pertama telah pensiun, bahkan meninggal. Di lain pihak,
generasi pengganti belum memiliki kualitas setara dengan para pendahulu. Hal yang justru semakin
berkembang adalah penelitian atau kajian arkeologi terapan. Apalagi sejak
lama muncul disiplin baru Arkeologi Publik dan Manajemen Sumber Daya Budaya.
Arkeologi terapan memungkinkan arkeolog berperan untuk membentuk opini
masyarakat tentang makna tinggalan benda budaya masa lalu sebagai warisan
budaya bangsa. Dengan demikian masyarakat
bisa berapresiasi dan berpartisipasi dalam pelestarian cagar budaya.
Pelestarian mencakup perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar
budaya. Contoh yang jelas adalah Candi Borobudur yang telah menjadi obyek
wisata bertaraf internasional sehingga berdampak pada perekonomian warga. Dalam arkeologi, masalah
pelestarian dan penelitian tentu saja merupakan dua aspek yang sama penting.
Upaya pelestarian, seperti memugar candi, tentu memerlukan ekskavasi atau
penelitian untuk mencari data yang lebih luas. Sementara upaya penelitian
memerlukan upaya pelestarian agar bermanfaat untuk pengembangan ilmu, bahkan
untuk kepentingan non arkeologi seperti pendidikan, pariwisata, dan
kebudayaan. Bayangkan kalau penelitian dan pelestarian berada dalam institusi
yang berbeda. Kita pun pasti memahami
bahwa dulu penelitian arkeologi masih bersifat ‘tradisional’, dalam arti
hanya menekankan pada studi kebudayaan masa lampau. Namun dengan kemunculan
satelit dan internet, penelitian arkeologi semakin berkembang. Lewat satelit
dan google earth, misalnya, berhasil ditemukan sejumlah situs arkeologi yang
hanya bisa dideteksi dari udara. Saat ini sudah banyak alat untuk membantu
pekerjaan arkeologi. Di luar satelit dan internet, ada pemindai tiga dimensi.
Dengan adanya teknologi baru, kita harapkan arkeologi semakin berkualitas. Dunia arkeologi memang menjadi
bidang yang menarik. Banyak peneliti mancanegara antusias meneliti arkeologi
di negeri kita karena mereka punya dana penelitian besar. Sebaliknya kita
punya lahan penelitian luas, tetapi dana penelitian relatif kecil. Maka
terjadilah kolaborasi penelitian. Sayangnya pihak mereka yang sering kali
memublikasikan hasil penelitian tersebut dalam jurnal-jurnal ilmiah
internasional. Inilah kekurangan kita. Masalah publikasi sejak
lama menjadi kendala bagi arkeologi Indonesia. Bukan hanya publikasi ilmiah, publikasi
populer macam tulisan di media cetak dan media daring pun jarang dilakukan
oleh para arkeolog. Padahal dalam arkeologi terapan, terutama dengan
tumbuhnya Arkeologi Publikasi, publikasi menjadi alat penting untuk
menumbuhkan apresiasi dan partisipasi masyarakat. Mungkin karena angka
kredit untuk tulisan populer amat kecil dibandingkan tulisan ilmiah. Hal ini
perlu dipertimbangkan lagi. Perbesar angka kredit untuk tulisan populer dalam
rangka meningkatkan minat para arkeolog untuk menulis. Siapa tahu lewat
tulisan populer, berbagai perbuatan negatif seperti penggalian liar,
pencurian benda antik, penyelaman liar sedikit demi sedikit akan berkurang. Arkeologi selalu mengemuka
kalau ada kasus. Ketika terjadi perobohan bangunan kuno, masyarakat berteriak.
Ketika ada pencurian bagian candi, masyarakat juga berteriak. Begitu pun
kalau ada penjarahan, penemuan, dan perbuatan negatif lain. Semua menjadi
bahan pemberitaan media. Hal ini menunjukkan betapa arkeologi butuh perhatian
lebih. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar