”Kebodohan”
yang Diperlukan untuk Pendidikan Sidharta Susila ; Pemerhati Pendidikan, Tinggal
di Semarang |
KOMPAS, 02 Juni 2021
Apa yang dibutuhkan untuk
pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin di daerah pedalaman?
”Kebodohan”, ya ”kebodohan”. Itulah inspirasi yang
penulis dapatkan saat meninggalkan salah satu sekolah di pedalaman Kalimantan
pada pertengahan Februari 2021. Sekolah itu ada di Tanjung, Kabupaten
Ketapang, Kalimantan Barat. Dari ibu kota kabupaten lebih kurang 100
kilometer jauhnya. Kunjungan ke Tanjung
pertama kali penulis lakukan pada Februari 2010. Waktu itu 70 persen jalan
yang dilalui rusak parah, berlubang, beberapa berlumpur dalam. Pada 2021 ini
jalan sudah lumayan. Boleh dikatakan 60 persen jalan sudah baik. Bisa
dibayangkan, dalam waktu 10 tahun hanya beberapa kilometer saja jalan yang
stabil kondisi baiknya. Tanah di jalur
Ketapang-Tanjung sebagian besar memang labil. Perbaikan yang dilakukan lebih
sering dengan pengurukan. Beberapa tahun di sejumlah ruas jalan dilakukan
pengecoran. Namun, sering kali jalan-jalan yang tidak dibangun untuk
kendaraan berat itu terus saja dilalui truk-truk pengangkut hasil perkebunan
dengan muatan yang berlebihan. Sebentar diperbaiki, sebentar saja rusak lagi.
Akibatnya, pergerakan masyarakat dari pedalaman ke kota terhambat dan
berbiaya mahal. Dengan kondisi sarana
transportasi semacam itu, masyarakat pedalaman praktis terisolasi. Hingga
kini di Tanjung listrik hanya menyala pada pukul 17.00-05.30. Itu pun
kadang-kadang padam. Terbayangkan, betapa minimnya akses memperkaya diri dari
informasi dan pengetahuan dari luar daerah. Pemberdayaan pembelajaran dengan
internet hanya mimpi. Biaya hidup mahal. Imbasnya memengaruhi banyak aspek
kehidupan, termasuk pendidikan. Pengalaman kami, betapa
sulit menempatkan calon-calon guru berprestasi untuk sekolah kami di
pedalaman. Besaran gaji dan tunjangan guru di sekolah pedalaman sama dengan
sekolah-sekolah kami di daerah perkotaan. Namun, fasilitas ini tidak mampu
membujuk calon guru berprestasi untuk mau mengajar di sekolah pedalaman.
Memang faktanya ada banyak honor sampingan yang didapat oleh para guru di
sekolah-sekolah perkotaan. Karena itu, mereka lebih makmur. Masalah
klasik Sulitnya mendapat layanan
pendidik yang baik adalah salah satu kondisi klasik pendidikan di daerah
pedalaman. Tak heran banyak sekolah yang kekurangan guru. Akibatnya,
anak-anak tidak belajar dengan optimal. Sekolah kami, SMP Pangudi
Luhur Tanjung, hampir selalu menerima anak-anak lulusan SD yang belum
terampil membaca, berhitung, dan menulis. Rendahnya mutu pendidikan juga
disebabkan oleh kurangnya kesadaran pada orangtua tentang pentingnya
pendidikan untuk keluar dari kubang kemiskinan. Nah, sampai di sini kita
bisa menyadari betapa jauh, berat, dan berlikunya jalan bagi orang-orang
miskin di daerah pedalaman untuk mengubah nasibnya. Nyaris mustahil bagi
mereka untuk menjumput kemakmuran. Ada kompleksitas kondisi yang berpotensi
melanggengkan kemiskinan. Hanya ”kebodohan”—karena
jiwa yang disangga cinta—sajalah yang dibutuhkan untuk pendidikan bagi
anak-anak sederhana di pedalaman itu. Itulah yang penulis dapatkan dari para
guru kami. Mereka mengatakan dengan lugas bahwa mereka tidak pernah
mempermasalahkan besaran gaji yang diberikan yayasan. Sebab, mereka sadar
bahwa defisit yayasan untuk sekolah-sekolah di pedalaman miliaran rupiah
setiap tahun. Untuk guru-guru yang
berasal dari daerah sekitar sekolah pedalaman mungkin tidak terlalu
bermasalah. Namun, tidak demikian untuk para guru yang berasal dari Jawa,
misalnya. Banyak guru muda yang tidak mampu bertahan. Apalagi mereka yang
memang bermutu. Sekolah-sekolah di perkotaan lebih menjanjikan nasib yang
jauh lebih baik bagi mereka. Maka, saat hari itu, pada
pertengahan Februari 2021 yang lalu, masih ada sejumlah guru yang berkomitmen
untuk memberi pendidikan terbaik di sekolah-sekolah pedalaman kami, kami
syukuri ”kebodohan” mereka yang memilih berpaling dari bujuk rayu kemonceran
(gemerlap) perkotaan. Bayangkan, apabila para
guru bermutu itu pergi dan memilih mengajar di sekolah-sekolah perkotaan yang
faktanya memang memanjakan para guru dengan aneka pendapatan, bagaimana nasib
anak-anak pedalaman dari keluarga miskin itu. Mereka tidak akan mendapat kesempatan
belajar dengan baik. Maka, mereka tak akan punya kemampuan untuk mengubah
nasibnya. Nasibnya bagaikan sudah jatuh, tertimpa tangga, ditinggalkan
penolongnya pula. Begitulah kemiskinan akan dilanggengkan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar