Menggerakkan
”Locavore” Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
(AEPI); Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014) |
KOMPAS, 13 Juni 2021
Selalu ada berkah dari
setiap bencana. Bencana yang biasa beriring derita tidak melulu identik
kemuraman. Selalu ada celah untuk mengukir harapan. Bagai pelita dalam
gulita. Begitu pula pandemi Covid-19 yang ”menghajar” hampir semua sendi
kehidupan kali ini. Jasad renik, aktor utama pagebluk Covid-19, juga memutus
(membatasi) gerak. Interaksi dibatasi. Apalagi yang memicu kerumunan. Dampak
dari semua itu, lalu lintas perhubungan-perdagangan antarbangsa terganggu.
Rantai pasok lintas negara lumpuh. Bagi negara-negara importir
pangan, Covid-19 bagai malapetaka. Ketergantungan yang tinggi pada rantai
pasok pangan global mengekspos mereka pada posisi yang amat rentan.
Sebaliknya, bagi negara yang memiliki sumber daya produksi pangan domestik,
produksi dalam negeri jadi super penting. Pandemi jadi berkah tak terperi.
Salah satunya mengubah pola belanja dan konsumsi. Jika semula biasa belanja
bahan pangan berlebih, yang dalam banyak kasus justru tak habis dan jadi
busuk (food waste). Kini, belanja kian selektif. Bukan hanya mengendepankan
aspek kesehatan, tetapi juga belanja secukupnya. Belanja pangan sumber
protein, lemak, buah, sayuran, dan produk-produk segar, seperti terekam dari
survei Nielsen dan McKinsey & Company (2020), naik drastis. Hal serupa
terjadi pada belanja rempah-rempah, seperti jahe, kunyit, kapulaga, dan
minuman herbal yang terbukti menaikkan imunitas tubuh. Salah satu kesimpulan
penting survei itu menyebutkan: kala membeli aneka kebutuhan, terutama
kebutuhan pangan, konsumen menimbang aspek higienitas, kesegaran bahan,
keamanan, dan lokalitas (bukan impor). Dibandingkan dengan negara lain,
konsumen Indonesia lebih peduli pada keempat aspek itu. Mengacu pada piramida
Abraham Maslow, konsumen kini menggeser kebutuhan dari puncak piramida ke
dasar piramida: makan, kesehatan, dan keamanan jiwa-raga. Menimbang Covid-19
akan selalu bersama umat manusia, ada peluang perubahan pola belanja dan
konsumsi ini bukan hanya strategi bertahan sesaat (coping strategies) warga,
melainkan bakal jadi praktik berkelanjutan di masa depan (future practice).
Karena itu, Covid-19 sejatinya membuka peluang bagi tumbuh-kembang pola
pangan berbasis domestik (lokal). Momentum ini harus dioptimalkan karena
pasti tidak akan datang dua kali. Pandemi memicu warga untuk
lebih peduli pada asupan menyehatkan. Makanan berserat mengandung antioksidan
dan kaya nutrisi/gizi yang penting bagi imunitas tubuh jadi pilihan favorit.
Pilihan bisa jatuh pada bahan pangan impor, salah satunya Quinoa (Chenopodium
quinoa). Biji kaya serat yang hanya tumbuh baik di Amerika Tengah ini masuk
bahan pangan menyehatkan. Biji itu mesti ”jalan-jalan” 17.474 kilometer
sebelum bisa disantap warga negeri ini. Berapa biaya angkut, berapa lama
sampai di Indonesia, berapa bahan bakar dibakar, berapa emisi dibuang, berapa
harga di konsumen, dan seterusnya. Sepertinya ada banyak
biaya dan energi dibuang untuk meraih pangan sehat. Pada titik ini penting
merefleksikan ulang bagaimana makanan berpindah dari lahan ke garpu di meja
makan. Selama ini, kita seringkali abai berapa ratus, bahkan ribuan,
kilometer makanan ”jalan-jalan” dari tempat tumbuh hingga disantap. Kian jauh
”jalan-jalan”, bukan saja kian mahal, makanan yang kita santap itu juga kian
tak berkelanjutan dan tak ramah lingkungan. Tanpa disadari, lewat pola pangan
ini, kita punya andil merusak alam. Pola produksi, distribusi,
dan konsumsi makanan kini telah bertransformasi luar biasa. Pengecer terus
mengembangkan outlet dan sistem distribusi yang kian luas dan canggih. Namun,
jarak tempuh yang jauh membuat makanan tak efisien berdasarkan kalori dan tak
berkelanjutan dalam jangka panjang. Ini karena jejak karbon (food miles) yang
muncul akibat perjalanan yang kian jauh membuat aliran makanan
(produksi-distribusi-konsumsi) kian tidak ramah lingkungan. Konsumsi pangan
berbasis produksi domestik (lokal) menjanjikan dampak minor pada lingkungan
akibat food miles. Kesadaran inilah yang
antara lain mendorong gerakan mengonsumsi makanan yang diproduksi secara
lokal (locavore). Istilah ini pertama kali dilansir Jessica Prentice dari San
Francisco di pertemuan Hari Lingkungan 2005. Covid-19 membuat locavore kian
relevan. Pertama, rantai pasok lintas negara tak bisa diandalkan. Mau tidak
mau, rantai pasok harus berubah, dari rantai pasok lintas negara jadi
bersifat regional. Kedua, pangan lokal (domestik) menjadi alternatif super
penting. Bukan saja untuk memastikan ketersediaan, pangan domestik juga bakal
menjamin kedaulatan negara/komunitas. Lebih dari itu, lokalitas
menekan emisi dan membuat rantai pasok lebih pendek. Perjalanan pangan dari
produsen ke konsumen, secara teoretis, lebih cepat sampai. Aspek kesegaran
dan higienitas terjawab sekaligus. Rantai pasok yang lebih pendek, secara
teoretis, juga bakal menekan biaya transaksi dan membuat pasar semakin
efisien. Ujung-ujungnya, balas jasa kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
rantai pasok semakin baik. Jika ini yang terjadi, petani sebagai produsen
pangan berpeluang meraih untung lebih. Aspek lokalitas identik
dengan sumber daya lokal. Konsumen kini bertumpu pada pangan produksi lokal,
yang berbeda-beda antara daerah satu dan daerah lain. Secara ekonomi ini akan
menstimulasi ekonomi lokal. Saat ekonomi lokal bergerak, akan banyak dampak
ikutan (multiplier effect) yang terjadi. Secara politik, hal ini akan membuat
tiap-tiap daerah memiliki kedaulatan pangan sendiri. Jika ini diakumulasikan,
secara nasional akan memberi sumbangan berarti bagi tegaknya ketahanan dan
kedaulatan pangan. Terlalu sembrono apabila para pengelola negeri ini
mengabaikan potensi pangan lokal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar