Martabat
Tempe dan Ironi Kedelai Fadly Rahman ; Dosen Departemen Sejarah dan Filologi
Universitas Padjadjaran |
KOMPAS, 13 Juni 2021
Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif akan mendaftarkan tempe sebagai warisan budaya dunia ke
UNESCO. Niat mulia ini bukan yang pertama kali dilakukan. Tahun-tahun
sebelumnya – terlebih setelah tempe ditetapkan sebagai warisan budaya
nasional pada 2017– langkah pengajuannya ke Organisasi Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan, dan Kebudayaan di bawah naungan PBB ini pernah pula dilakukan
seperti oleh Pergizi Pangan dan Forum Tempe Indonesia. Upaya itu tentu sejalan
dengan promosi Gastronomi Nusantara yang sekarang ini diprogramkan oleh
Menparekraf Sandiaga Uno. Jika melihat citra masa lalu tempe, sepertinya
tidak terbayangkan bagaimana bisa makanan berbahan baku kacang kedelai
kegemaran rakyat ini bisa mendunia dan bahkan hendak dipatenkan sebagai
warisan dunia milik Indonesia (biasanya ini untuk mengantisipasi agar
produk-produk budaya Indonesia tidak diklaim oleh negara lain). Impian untuk memopulerkan
tempe lebih besar lagi pernah dicetuskan mendiang Onghokham. Dalam antologi
1000 Tahun Nusantara (2000) yang diterbitkan Kompas dalam rangka menyambut
milenium baru, sejarawan ini menulis artikel Tempe: Sumbangan Jawa untuk
Dunia. Dalam penutup tulisannya, ia mengatakan, “Jadi, untuk memopulerkan
tempe lebih besar lagi, tidak hanya perlu pertimbangan selera dan kecocokan
budaya, tetapi juga ketersediaan bahan bakunya... oleh karena itu, perlu
swasembada kacang kedelai, lebih daripada beras.” Sebagai sejarawan,
pernyataan Onghokham sangat beralasan jika melihat fakta historis perihal
hubungan tempe dengan ketersediaan kedelai (Glycine max). Kedelai sedianya
dijadikan sebagai bahan makanan pokok yang cocok untuk mengimbangi tingginya
konsumsi beras di kalangan rakyat Indonesia. Apalagi pembudidayaannya telah
mengakar dalam jejak pangan Indonesia sejak masa kuno. Dari hasil penelitian
arkeologis yang dilakukan Antoinette M Barrett Jones (1984), pembudidayaan
kedelai kemungkinan sudah dimulai di Jawa sejak masa sebelum abad ke-10 M. Dari abad ke abad,
pemanfaatan kedelai sebagai bahan konsumsi massa makin meluas di Jawa. Dari
catatan para peneliti Eropa sejak abad ke-17 oleh Rumphius hingga awal abad
ke-20 oleh FW Donath, di samping beras, produksi kedelai di Jawa begitu
melimpah. Surplus kedelai ini mendorong kreatifitas orang-orang di Jawa
Tengah yang diduga sejak abad ke-17 telah menemukan teknik peragian kulit kedelai
yang masak dengan memanfaatkan Aspergillus oryzae, sejenis jamur yang tumbuh
di iklim tropis Nusantara (faktor alamiah ini menjadi fakta paling dasar yang
digunakan untuk memperkuat bukti bahwa tempe diciptakan pertama kali di
Indonesia). Pada abad ke-19 pemerintah
kolonial menerapkan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) dan Undang-Undang
Agraria. Kebijakan ini membuka banyak lahan perkebunan (tembakau, teh, dan
kopi) di Jawa. Konsekuensinya, aktivitas para petani untuk bertani dan
beternak menjadi berkurang ketika mereka dipekerjakan secara paksa di
perkebunan-perkebunan kolonial. Kondisi ini membuat
terbengkalai lahan-lahan pertanian dan peternakan karena tidak tergarap oleh
para petani. Kualitas gizi mereka dan keluarganya menurun. Untuk bertahan hidup,
mereka membutuhkan sumber protein yang murah untuk mencukupi kebutuhan
gizinya. Jelang akhir abad ke-19,
penyelidikan gizi di Hindia Belanda mulai berkembang sebagai respons para
ilmuwan terhadap kondisi memprihatinkan kesejahteraan hidup di negeri
jajahan. M Greshoff, seorang botanis, pada 1890 menulis artikel bertajuk De
Soja boon en hare betekeenis als voedingsmiddel voor Nederlandsch Indië
(kacang kedelai dan manfaatnya sebagai bahan makanan di Hindia Belanda). Ia
melaporkan sebuah kongres kesehatan di Paris pada 1889 yang menampilkan
demonstrasi memanggang roti dan biskuit dengan menggunakan tepung kacang
kedelai sebagai bahan bakunya. Seorang dokter bernama
Stokvis menyimpulkan produk roti dan biskuit dari tepung kedelai ternyata
rendah karbohidrat dan cocok direkomendasikan untuk penderita diabetes.
Kesimpulan ini didasarkan pada uji ilmiah, bahwa dari sekian jenis bahan
makanan nabati, kedelai paling mudah dicerna dibandingkan dengan beras dan
gandum. Eksperimen ilmiah kedelai
di Eropa lantas dikembangkan secara massif di Hindia Belanda. Di negeri
jajahan, orang-orang Eropa awalnya enggan mengkonsumsi kedelai karena
derajatnya dianggap lebih rendah daripada bahan-bahan makanan Eropa seperti
terigu, mentega, keju, dan daging. Keengganan mereka juga didasarkan oleh
sentimen kolonial yang menilai bahwa kedelai hanya dikonsumsi sebagai
volksvoedsel (makanan rakyat) di negeri jajahan. Greshoff sendiri melaporkan
semakin tingginya konsumsi kedelai di Pulau Jawa. Masyarakat di Jawa Tengah
pada umumnya mengolah kedelai untuk dibuat tempe sebagai makanan pokok
mereka. Pada awal abad ke-20,
penyelidikan ilmiah di balik kandungan gizi tempe terus berkembang pesat.
Peneliti gizi, FW Donath pada 1932 dalam artikelnya De Voedingswaarde der
sojaboon en enkele daaruit bereide specifiek Indische voedingsmiddelen (nilai
gizi kedelai dan beberapa makanan khas pribumi yang secara khusus dibuat
darinya) mengungkapkan hasil risetnya tentang tempe sebagai salah satu produk
makanan kedelai populer di Hindia. Menurutnya, tempe kaya
dengan kandungan zat putih telur (albumin) dan diperlukan terutama bagi
mereka yang menjalankan praktik vegetarian. Di samping menyingkap kandungan
gizi kedelai, Donath juga mendukung upaya Departemen Pertanian, Industri, dan
Perdagangan sebagai agen penyokong pertumbuhan produksi kedelai diikuti
kampanye peningkatan konsumsinya bagi masyarakat di Hindia. Popularitas
tempe Popularitas tempe
meningkat terus sepanjang dekade 1930-an hingga 1940-an ketika dunia tengah
dilanda depresi ekonomi global. Pada masa itu di Indonesia, suplai
produk-produk protein hewani (daging, susu, dan mentega) melangka dan
harganya melangit. WG Fisher van Noordt, seorang dokter, pada 1941 menulis
sebuah artikel berjudul De Samenstelling van ons menu (susunan menu makan
kita). Ia menyarankan agar para pembacanya terutama dari kalangan Belanda
untuk mengkonsumsi bahan nabati yang memiliki nilai nutrisi untuk
mensubstitusi sumber protein hewani. Tempe dan olahan kedelai lainnya ia
rekomendasikan sebagai pilihan pokok untuk diasup pada masa sulit. Pada masa Perang Dunia II,
manfaat tempe semakin terbukti nyata seperti dialami oleh orang-orang Eropa
yang mengalami kondisi malnutrisi ketika mereka menjadi tawanan perang
Jepang. Tempe dijadikan sebagai asupan penting untuk mengatasi kekurangan
protein dan mampu mengurangi angka kematian di kalangan para tahanan perang. Pasca kemerdekaan,
pemerintah Indonesia memiliki program untuk memperbaiki kesejahteraan gizi
rakyat. Pada dasawarsa 1950-an, ahli gizi Poorwo Soedarmo melalui Lembaga
Makanan Rakyat gencar mengkampanyekan semboyan “Empat Sehat, Lima Sempurna”.
Dalam semboyan ini terkandung anjuran untuk menyusun standar menu ideal
hidangan Indonesia yang salah satu unsurnya mencakup tempe dan olahan kedelai
lainnya. Selepas masa perang,
perhatian mancanegara terhadap tempe semakin besar. Amerika Serikat adalah
negara yang terus mengembangkan dirinya sebagai produsen kedelai. Angka
produksinya yang fantastis dari tahun ke tahun, menjadikan kedelai sebagai
salah satu bahan konsumsi pokok bagi warga Amerika Serikat. Sejak 1970-an
tempe menjadi salah satu produk olahan kedelai populer dan juga menjadi
perkembangan penting bagi sektor kuliner di negeri Paman Sam. Pada 1979 dua peneliti
ahli kedelai, William Shurtleff dan Akiko Aoyagi, menerbitkan The Book of
Tempeh lalu diikuti Tempeh Production pada 1980. Kedua penulis buku ini
menunjukkan fakta bahwa tempe telah dianggap sebagai super food di
mancanegara. Perusahaan produksi tempe di Jepang, Amerika Serikat, Kanada, dan
Belanda terus berkembang pesat sejak dekade 1970-an. Uniknya kebanyakan dari
pelaku bisnis ini dijalankan justru bukan oleh orang Indonesia. Tidak berlebihan Onghokham
mengungkapkan tempe adalah bukti “sumbangan Jawa untuk dunia”. Nyatanya
memang makanan ini kini telah diterima oleh lidah masyarakat di mancanegara.
Namun, apa yang diungkapkan sang sejarawan menjadi ironi ketika kini Amerika
Serikat telah berhasil memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negerinya sendiri,
justru sebagian besar kedelai yang dipakai untuk bahan baku produksi tempe di
Indonesia adalah impor dari negeri Paman Sam. Dari menilik jejak masa
lalunya, perlu dimafhumi bahwa pamor tempe sekarang ini sebagai super food
tidak bisa dilepaskan dari campur tangan agen-agen kolonial. Melalui riset
ilmiah dan strategi pangan yang sinergis, mereka memikirkan bagaimana
martabat tempe bisa naik jika ditopang melalui keberlanjutan produksi kedelai
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri. Tampaknya warisan ini yang
tidak berlanjut setelah masa kemerdekaan. Di Indonesia, dari tahun ke tahun
alih fungsi lahan pangan terus menyusutkan produksi kedelai dalam negeri. Hal yang diwariskan justru
stigma lama kolonialisme bahwa tempe adalah makanan rakyat jelata. Tidak
heran ketika 1980-an industri makanan instan dan cepat saji berkembang di
Indonesia, manfaat gizi tempe yang digadang-gadang pada masa lalu cenderung
meredup. Ketika negara-negara maju memuliakan tempe, di Indonesia sebagai
negeri di mana makanan ini bermula, martabat tempe terkesan direndahkan
mengingat semakin rendahnya pengetahuan gizi masyarakat. Mungkin kita selaku
“bangsa tempe” tidak cukup jika hanya mengglorifikasi tempe sebagai warisan
budaya dunia dari Indonesia tanpa mengikuti pakem kriteria “city of
gastronomy” yang ditetapkan oleh UNESCO melalui program Creative Cities
Network-nya. Setidaknya tiga dari delapan kriteria berikut patut dipikirkan
secara sinergis, yaitu tradisi gastronomi mengakar dan berkembang dengan
baik; bahan-bahan baku lokal tetap digunakan dalam mengolah kuliner
tradisional; serta sosialisasi pengetahuan gizi di lembaga-lembaga pendidikan
disertai dengan upaya pemeliharaan biodiversitas pangan yang dimuat dalam
kurikulum pendidikan. Dalam konteks gastronomi,
menghidupkan kembali kejayaan Indonesia sebagai produsen kedelai merupakan
hal yang perlu dikedepankan untuk mengangkat martabat tempe. Jangan menjadi
ironi, tempe sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia justru dihasilkan
dari kedelai impor. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar