Membaca
Polarisasi Politik Wawan Sobari ; Associate Professor Bidang Politik Kreatif
FISIP Universitas Brawijaya |
KOMPAS, 09 Juni 2021
Beberapa hasil riset opini
terbaru menunjukkan perbedaan respons publik terhadap kebijakan dan program
pemerintah. Dengan membandingkan antara respons pemilih Jokowi-Ma’ruf dan
Prabowo-Sandi (basis Pemilu Presiden 2019), tampak disparitas opini itu. Hal itu, misalnya, terkait
pendapat atas RUU Cipta Kerja, Survei SMRC (8-11 Juli 2020) menemukan
pengetahuan pemilih Prabowo lebih tinggi daripada pemilih Jokowi. Namun, di
antara responden yang tahu, dukungan pemilih Jokowi terhadap RUU (70 persen)
lebih tinggi dari pemilih Prabowo (56 persen). Survei lainnya mengenai
kesediaan warga menerima vaksin Covid-19. Survei nasional Indikator (1-3
Pebruari 2021) menemukan kepercayaan terhadap efektivitas vaksin lebih rendah
15,1 persen di kalangan pemilih Prabowo-Sandi (45,4 persen) ketimbang pemilih
Jokowi-Ma’ruf (59,5 persen). Kesediaan divaksin para pemilih Prabowo-Sandi
(49,2 persen) pun lebih rendah dibanding pemilih Jokowi-Ma’ruf (59,6 persen). Pandangan
utama Perbedaan respons terhadap
kebijakan dan program pemerintah dalam survei nasional tersebut bisa dimaknai
sebagai polarisasi politik. McCarty (2019) menafsirkan situasi polarisasi
sebagai keadaan semakin terpecahnya publik dan para pemimpinnya dalam
kebijakan publik, orientasi ideologis, dan keterikatan partisan. Bukti-bukti akademik
pengutuban politik tampak dalam hasil-hasil jajak pendapat nasional SMRC dan
Indikator lainnya. Pertama, survei nasional Indikator (13-17 April 2021)
mengungkap bahwa mayoritas publik tahu (82,5 persen) Prabowo merupakan Capres
2019 dan sekarang bergabung menjadi bagian Pemerintah Joko Widodo sebagai
Menteri Pertahanan. Mayoritas publik yang tahu (74,4 persen) menyatakan
pantas dengan keputusan Prabowo tersebut. Survei yang sama menemukan
mayoritas publik (77,2 persen) tahu jabatan Sandiaga Uno sebagai Menteri
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dari jumlah tersebut, mayoritas menyatakan
Sandiaga pantas (79 persen) dengan posisi itu. Data tersebut menunjukkan
keputusan rekonsiliasi pada tingkat elite tidak mengikis sepenuhnya perbedaan
respons terhadap kebijakan dan program pemerintah. Kedua, bergabungnya Partai
Gerindra ke dalam koalisi pendukung Jokowi Pascapilpres 2019 menambah
kekuatan gabungan fraksi pro-pemerintah di DPR menjadi 84 persen. Namun,
tingginya koalisi parpol pendukung eksekutif itu tidak diikuti peningkatan kepercayaan
terhadap parpol dan DPR. Survei Indikator (13-17
April 2021) menemukan kepercayaan (sangat percaya dan cukup percaya) cukup
rendah terhadap DPR (44 persen) dan parpol (40 persen). Selain itu, indikasi
polarisasi politik tampak dalam lemahnya keterikatan psikologis warga
terhadap parpol (party id). Riset opini Indikator (1-3 Februari 2021)
menemukan warga yang merasa dekat dengan parpol tertentu hanya mencapai 6,8
persen. Menariknya, dari tiga parpol nonkoalisi, hanya Partai Demokrat yang
memiliki party id lebih baik (16,5 persen). Sementara PKS (5,7 persen) dan
PAN (3,8 persen) angkanya di bawah party id nasional. Ketiga, tingginya dukungan
koalisi parpol terhadap eksekutif tidak secara otomatis diikuti kepuasan
kinerja presiden. Rangkaian data survei (Indikator, LSI, SMRC) menunjukkan
fluktuasi kepuasan terhadap kinerja presiden dengan kecenderungan stagnan. Survei Januari 2015
mengungkap angka kepuasan mencapai 62 persen. Sempat naik hingga 72 persen
(terakhir September 2019), kepuasan mengalami penurunan hingga April 2021 (64
persen). Perspektif
alternatif Penjelasan polarisasi
tampaknya sulit ditolak dalam menelaah perbedaan respons warga atas kebijakan
dan program pemerintah. Bergabungnya Prabowo-Sandi dan Gerindra ke jajaran
eksekutif dan legislatif belum mampu sepenuhnya meredam terbelahnya publik
dan pemimpin. Karena itu, kita membutuhkan penafsiran lain. Merujuk survei Indikator
(1-3 Februari 2021) dan SMRC (28 Februari-8 Maret 2021) yang mengungkap
tingkat kesediaan warga untuk divaksin masing-masing mencapai 54,9 persen dan
61 persen. Data tersebut menunjukkan terpecahnya publik dan pemerintah dalam
program vaksinasi lebih tinggi daripada selisih basis pilihan Pilpres 2019. Terkait itu, membaca
perbedaan respons publik tersebut tak cukup mengandalkan penjelasan
polarisasi politik. Kita bisa menggunakan telaahan oposisi politik dengan
spektrum lebih luas terkait aktor, hubungan, dan tempat aksi. Oposisi sebagai
ketidaksepakatan dengan pemerintah atau kebijakannya, elite politik, atau
rezim politik secara keseluruhan, yang diekspresikan di ruang publik oleh
aktor terorganisasi melalui metode tindakan berbeda-beda (Brack dan Weiblum,
2011). Oposisi politik
menafsirkan ketidaksetujuan terhadap program dan kebijakan pemerintah bukan
semata ekspresi lemahnya ikatan publik dan elite (pemimpin, parpol,
pemerintah). Namun, mencakup pula kesadaran dan argumentasi kritis warga
terhadap kebijakan dan program pemerintah yang berdampak luas. Sudut pandang oposisi
lebih beralasan bagi demokrasi ketimbang polarisasi. Studi Haggard dan
Kaufman (2021) menunjukkan polarisasi politik menjadi ancaman kemunduran
(backsliding) demokrasi. Situasi pengutuban
mendukung kebangkitan otokrat dan penerimaan publik terhadap penyimpangan
pemerintahan demokratis. Sebaliknya, oposisi dapat menguatkan demokrasi
karena praktik check and balances dan akuntabilitas pemerintah. Kesempatan tumbuhnya
oposisi politik masih besar seiring kepercayaan publik terhadap demokrasi.
Survei Indikator, LSI, SMRC menunjukkan tren peningkatan penerimaan demokrasi
sebagai sistem pemerintahan terbaik dari 55,6 persen (Juni 2012) ke 71,9
persen (Desember 2020). Tren data yang sama ditunjukkan dengan kepuasan
kinerja demokrasi dari 41 persen (Juni 2012) ke 53,7 persen (Februari 2021). Terakhir, bukan sekadar
antagonisme dan antitesis, penjelasan oposisi harus memedomani pula oposisi
etis. Argumentasi kritis publik
berpijak pada pertimbangan kinerja, kewajiban profesional, etika kepedulian,
keadilan, dan kebajikan elite, pemerintah, dan parpol. Alhasil, penjelasan
oposisi selayaknya lebih dikedepankan ketimbang polarisasi atas perbedaan
respons publik terhadap kebijakan dan program pemerintah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar