Tantangan
NU di Masa Depan
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng
|
KOMPAS,
02 Februari
2018
Nahdlatul Ulama telah mengalami perjalanan
panjang sebagai organisasi: mendekati 100 tahun! Dalam perjalanan panjang
itu, NU telah memberi sumbangsih besar bagi agama, masyarakat, bangsa, dan
negara.
Sebagai organisasi tentu NU mengalami
dinamika. Dari organisasi yang dilihat hanya sebelah mata dan dianggap
ketinggalan zaman menjadi organisasi yang dianggap bagus tanpa cela.
Dulu
cendekiawan dalam dan luar negeri menganggap negatif NU dan pesantren.
Menurut Fred R von der Mehden, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Rice
(1928-2017), pengaruh NU dalam pergerakan nasional lebih bersifat negatif
daripada bersifat positif. Kini banyak orang hanya menilai kebaikan NU tanpa
melihat hal-hal negatifnya.
Masyarakat memahami keberadaan NU sebagai
organisasi (jam’iyyah) dan komunitas (jama’ah). Dalam beberapa tahun
terakhir, masyarakat dan warga NU sendiri melihat bahwa organisasi NU dan
komunitas tidak selalu sejalan. Ada kesenjangan antara NU struktural dan NU
kultural.
NU
sebagai ajaran
Saya memaknai NU dalam beberapa aspek. NU
adalah ajaran keagamaan Islam, yang sebenarnya sudah berusia ratusan tahun,
yang disebut sebagai ahlus sunnah wal jama’ah (aswaja) an nahdliyyah. Secara
sederhana, ajaran itu meliputi beberapa aspek. Dalam fikih mengikuti salah
satu dari empat Imam: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. Dalam akidah
mengikuti ajaran Imam Asy’ari atau Imam Maturidi. Dalam tasawuf mengikuti
ajaran Imam Syafi’i atau Imam Junaidi
al Baghdadi. Islam yang dianut jama’ah NU adalah Islam yang wasathiyah
(moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan i’tidal (tegak lurus).
Islam yang mampu berdialog dengan budaya setempat dan lentur, tidak merasa
benar sendiri.
Menurut saya, ajaran aswaja an nahdliyyah
itu juga meliputi ajaran dalam siyasah (politik). Ajaran NU menanamkan
kecintaan terhadap Tanah Air. Pesan hubbul wathon minal iman selalu
disampaikan para kiai NU.
Pesantren Tebuireng mengajarkan lagu
”Indonesia Raya” sejak 1938. Tokoh NU menginginkan negara berdasarkan Islam pada 1945, tetapi tidak berhasil.
Pada 1956-1959, dalam Konstituante, Partai NU bersama partai- partai Islam lain
kembali memperjuangkan negara berdasarkan Islam. Upaya ini juga tak berhasil.
Ketika Konstituante menghadapi jalan buntu dan ada usul supaya Konstituante
mengambil UUD 1945 sebagai UUD hasil produk Konstituante, NU menginginkan
tujuh kata Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam sila Ketuhanan. Akhirnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 memberlakukan kembali UUD 1945. Pada akhir 1984,
Muktamar NU mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Sikap NU yang didasarkan
pada kajian yang disusun KH Achmad Siddiq itu mengubah secara mendasar peta
kepartaian di Indonesia.
NU
memaknai sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pengertian bahwa sila-sila yang
lain harus sesuai dan tidak bertentangan dengan sila Ketuhanan. Berdirinya
Kementerian Agama bagi NU adalah wujud dari pengejawantahan sila pertama
Pancasila. Menteri Agama Wahid Hasyim memaknai sila pertama itu dengan
kebijakan membuat MOU dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1951) untuk
mendirikan madrasah yang menjadi tonggak masuknya pendidikan Islam ke dalam
sistem pendidikan nasional. Penafsiran terhadap sila pertama itu diperkuat
dengan lahirnya UU Perkawinan (1974), UU Peradilan Agama (1989), Inpres
tentang Kompilasi Hukum Islam (1991), dan sejumlah UU yang memberi ruang bagi
aspirasi umat Islam.
Pesantren
dan warga
Pada 1926 Jam’iyyah NU didirikan oleh para
ulama pesantren sebagai wujud dari gagasan KH A Wahab Hasbullah dan dipimpin
oleh Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. Sering didengar ungkapan bahwa NU adalah
pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil. Jadi, NU identik dengan
pesantren dan tidak bisa dipisahkan dari pesantren. Saat ini jumlah pesantren
di Indonesia sekitar 28.000 dengan jumlah murid sekitar 4 juta.
NU
juga saya maknai sebagai warga dan anggota NU. Warga NU adalah keturunan dari
anggota NU atau orang yang mengikuti ajaran NU, tetapi tidak jadi anggota NU.
Berdasarkan data survei di Jawa Timur, akhir 2017, berkisar 70 persen-80
persen rakyat Jawa Timur merasa punya afiliasi ormas dengan NU. Ketua PDI-P
Jombang mengatakan bahwa 80 persen-90 persen pemilih PDI-P di Jombang adalah
warga NU. Untuk tingkat nasional, data pada 2009 menunjukkan sekitar 42
persen Muslim merasa menjadi warga NU. Pada Pemilu 1955, jumlah pemilih
Partai NU mencapai 18,4 persen.
Warga NU adalah mereka yang mengikuti paham
keagamaan NU atau merupakan keturunan dari anggota NU. Mereka tidak menjadi
anggota organisasi NU dan juga tidak mengikuti kebijakan organisasi NU. Yang
merupakan keturunan anggota NU belum tentu mengikuti paham keagamaan NU.
Jadi, pengertian siapa ”orang NU” itu bersifat cair dan tidak kaku.
Tantangan
masa depan
Kita menyaksikan bahwa NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas
Islam yang usianya sudah tua dan menjadi kekuatan sosial politik yang
menentukan masa depan Indonesia. Muhammadiyah dan NU serta ormas Islam lain
telah menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengawal NKRI, melakukan kampanye
anti-kekerasan, promosi toleransi, dan melindungi minoritas. Masyarakat dan
negara amat berharap peranan ormas-ormas tersebut terus ditingkatkan.
Dari segi jumlah pengikut, NU lebih besar.
Dari segi organisasi, harus diakui bahwa Muhammadiyah lebih baik. Dalam
masalah politik, sebagai organisasi, Muhammadiyah lebih bisa menjaga jarak
terhadap parpol dibandingkan NU. Paradigma parpol masih terasa kuat di
organisasi NU. Ini mungkin akibat NU pernah menjadi parpol selama 32 tahun.
Kelemahan NU adalah pada pengelolaan
organisasi yang kurang baik di tingkat nasional dan sejumlah daerah. Amal
sosial organisasi NU masih kurang dibandingkan potensi yang dimiliki.
Organisasi yang besar sering kali kurang
kompak dan sulit mencapai kata sepakat. Organisasi NU pun mengalami masalah
itu. Munculnya beberapa tokoh NU dalam pilkada di Jawa Timur sudah dimulai
sejak 2008. Dalam Pilgub 2008 ada dua tokoh NU yang menjadi cagub dan dua
tokoh NU yang jadi cawagub. Dalam Pilgub 2013, ada satu tokoh NU yang menjadi
cagub dan satu tokoh NU yang menjadi cawagub. Dalam Pilkada 2018, ada dua
tokoh NU yang menjadi cagub.
Kita
berharap kekompakan dan keutuhan NU bisa dijaga. Untuk itu, para tokoh NU dan
Muslimat NU Jatim pendukung kedua cagub tersebut perlu bermusyawarah untuk
mencegah terjadinya kampanye negatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar