Sinergi
Tripusat untuk Penguatan Karakter
Biyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel; Anggota BAN PAUD PNF;
Wakil Sekretaris PWM
Jawa Timur
|
KORAN
SINDO, 03 Februari 2018
DALAM banyak kesempatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Muhadjir Effendy menekankan bahwa pendidikan merupakan tanggung
jawab bersama keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tiga institusi ini populer
disebut tripusat (trisentra) pendidikan. Dengan demikian, orang tua atau
keluarga tidak boleh memasrahkan pendidikan buah hatinya pada sekolah semata.
Para pendidik di sekolah memang memiliki tanggung jawab mendidik
anak-anak dengan sepenuh hati. Tetapi tugas itu dijalankan guru selama
anak-anak berada di sekolah. Ketika berada di luar sekolah, pendidikan anak
menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Justru lingkungan keluarga
dan masyarakat itulah yang banyak membentuk karakter anak. Itu karena waktu
anak berada di lingkungan keluarga dan masyarakat lebih lama dibanding di
sekolah.
Tetapi jujur harus diakui bahwa masih banyak keluarga dan
masyarakat yang belum berfungsi sebagai pendidik dan pengasuh yang ideal bagi
anak-anak. Bahkan ada keluarga yang mengalami broken home sehingga berdampak
pada perkembangan jiwa anak. Padahal lingkungan keluarga merupakan bagian
dari tripusat pendidikan yang pertama sekaligus terpenting. Itu sejalan
dengan pernyataan hikmah yang mengatakan; al-bayt madrasah al-ula (keluarga
merupakan institusi pendidikan yang terutama).
Tatkala anak berada di lingkungan keluarga, orang tualah yang
berperan sebagai pendidik (murabbi). Bukan sekadar mendidik, orang tua juga
harus memberikan keteladanan bagi buah hatinya. Pola pikir orang tua juga
harus berubah dengan sesuai tantangan zaman. Apalagi kini orang tua
dihadapkan dengan karakter generasi milenial. Pada era ini anak-anak begitu
terampil bermedia sosial. Kondisi ini meniscayakan orang tua menggunakan
pendekatan yang sesuai dengan Zaman Now.
Peringatan tersebut penting karena zaman telah berubah begitu
cepat. Era digital juga menghampiri dunia anak. Anak-anak menjadi bagian
komunitas virtual (virtual community). Mereka lebih banyak berinteraksi
melalui dunia maya atau media sosial (medsos). Mereka pun begitu terampil
berkomunikasi melalui blog, Facebook, Twitter, telegram, WhatsApp, dan medsos
lainnya. Fakta ini harus menjadi perhatian agar orang tua menemukan metode
yang tepat untuk mendidik dan mengasuh buah hatinya.
Tripusat pendidikan yang kedua adalah sekolah. Bagi sebagian besar
orang tua, sekolah benar-benar menjadi tumpuan pendidikan dan pengasuhan
anak. Keluarga atau orang tua yang belum well educated sangat menggantungkan
pendidikan dan pengasuhan anak pada sekolah. Ada juga keluarga yang merasa
belum mampu mendidik dan mengasuh anak dengan baik karena kesibukan bekerja.
Pada konteks ini sekolah harus menjadi rumah kedua yang ramah dan nyaman bagi
anak-anak.
Di tengah derasnya pemberitaan mengenai insiden kekerasan pada
anak, sekolah harus menjadi tempat yang ramah untuk menyemai nilai-nilai
karakter. Di sinilah pentingnya sekolah mengimplementasikan konsep pendidikan
ramah anak (friendly child education). Konsep pendidikan ramah anak
membutuhkan komitmen dari seluruh ekosistem sekolah. Lingkungan sekolah juga
harus dirancang seramah mungkin sehingga anak-anak merasa nyaman berada di
rumah kedua.
Implementasi pendidikan ramah anak penting karena Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memaparkan data bahwa sepanjang 2016
terjadi hampir 1.000 kasus kekerasan pada anak. Pada tahun yang sama, Badan
Narkotika Nasional (BNN) juga memaparkan ada 5,1 juta kasus penggunaan
narkoba/candu, 15.000 meninggal setiap tahun. Juga ada pelanggaran pornografi
dan cyber crime sebanyak 1.111 kasus sepanjang 2011-2015. Data ini harus
menjadi perhatian sekolah agar dapat menerapkan pendidikan yang tepat bagi
generasi milenial.
Untuk mengimplementasikan konsep pendidikan ramah anak pasti
membutuhkan komitmen guru. Guru harus tampil seutuhnya sebagai pendidik yang
mendampingi anak-anak. Guru juga dituntut untuk berperan sebagai orang tua
sekaligus sahabat bagi anak-anak selama berada di sekolah. Memang tidak mudah
menjalani tugas sebagai pendidik sejati. Karena itu, selalu dikatakan bahwa
guru sejatinya bukan sekadar profesi. Lebih dari itu, menjadi guru merupakan
panggilan hati. Spirit inilah yang seharusnya melekat pada diri setiap
pendidik.
Sebagai konsekuensi, pemerintah dan masyarakat harus memuliakan
profesi guru. Salah satu indikator memuliakan profesi guru adalah menjamin
kesejahteraannya. Tidak boleh ada guru yang hidupnya jauh dari layak alias
menderita. Rasanya tidak pernah terlintas dalam pikiran guru untuk hidup
bergelimang harta. Dari awal, mereka pasti menyadari bahwa menjadi guru bukan
jalan meraih kekayaan materi. Tetapi, itu bukan alasan untuk tidak
menyejahterakan guru. Jika para guru sejahtera, mereka bisa mendidik dengan
penuh semangat.
Tripusat pendidikan ketiga adalah lingkungan masyarakat.
Masyarakat dapat dipahami mereka yang peduli terhadap pendidikan
(stakeholders). Umumnya mereka tergabung dalam komite sekolah, ikatan wali
murid, ikatan alumni, dunia industri dan dunia usaha (DUDI), komunitas seni
dan budaya, organisasi profesi, pegiat pendidikan, lembaga swadaya
masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan (ormas). Kelompok masyarakat peduli
pendidikan dapat berasal dari manapun. Termasuk para alumni yang bekerja di
luar negeri.
Kini tugas sekolah dan pemerintah adalah mensinergikan potensi
sumber daya keluarga dan masyarakat untuk penguatan pendidikan karakter.
Sinergi tripusat pendidikan dibutuhkan untuk mewujudkan generasi emas 2045.
Mengapa 2045? Karena pada saat itu negeri tercinta akan merayakan 100 tahun
kemerdekaan RI. Pada perayaan seabad kemerdekaan itulah kita akan memperoleh
bonus demografi yang luar biasa. Pada saat itu pula kita berharap akan menyaksikan
tampilnya generasi emas yang benar-benar berkarakter. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar