Senjakala
Kedigdayaan APBN
Haryo Kuncoro ; Dosen Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Jakarta;
Direktur Riset the
Socio-Economic & Educational Business Institute (SEEBI) Jakarta
|
KORAN
SINDO, 06 November 2017
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) 2018 baru saja disahkan DPR menjadi undang-undang (24/10).
Pengesahan UU APBN 2018 menjadi sangat krusial terkait dengan 2018 sebagai
tahun politik.
Imbasnya, semua item yang ada
dalam APBN 2018 bisa menjadi ”komoditas politik”. Utang pemerintah adalah
satu diantara sasaran empuknya. Per September 2017 misalnya total utang
pemerintah menembus Rp3.866,45triliun. Jikadi lihat sejak 2014 sebesar
Rp2.604,93 triliun, selama pemerintahan Jokowi-JKjum lahutangmelesat
Rp1.261,52 triliun atau rata-rata naik Rp400 triliun lebih setiap tahun.
Besaran utang pemerintah
niscaya terus bertambah sebagai akibat kebijakan defisit APBN. Defisit pada
APBN 2018 mencapai Rp325,94 triliun. Namun, melihat utang yang akan jatuh
tempo pada tahun depan menjangkau Rp315,1 triliun, peningkatan utang tampak
nya akan lebih ekspansif. Meroketnya utang publik menimbulkan kegalauan
perihal kemampuan keuangan negara dalam memenuhi kewajibannya.
Alhasil, kesinambungan
(sustainability) fiskal menjadi isu utama dalam APBN 2018. Per definisi
kesinambungan fiskal dimaknai sebagai kemampuan APBN untuk mem biayai seluruh
kewajibannya da lam jangka panjang tanpa kehilangan kemampuan stimulasi dalam
jangka pendek.
Literatur ekonomi menawarkan
banyak kriteria kuantitatif untuk meng ukur derajat kesinambungan fiskal.
Kriteria yang paling sederhana berbasis pada prinsip dasar akuntansi, yakni
debet (penerimaan) harussamabesarde ngan kredit (kewajiban). Praktis,
penerimaan pada APBN 2018 yang ditarget Rp1.618,1 triliun tidak cukup untuk
menopang sasaran belanja Rp2.220,7 triliun.
Akibat itu, pemerintah harus
menombok Rp325,94 triliun (2,19% dari PDB) untuk menutupi itu. Kendati
defisit sudah menyusut dari outlook defisit 2017 (2,67%), tetap saja
pemerintah mengalami ”besar pasak daripada tiang”. Karena itu, kegamangan
awal terhadap kesinambungan fiskal sangat masuk akal.
Sinyal peringatan ketidakmam
puan fiskal juga terpancar dari aspek dinamisnya. Celakanya, estimasi utang
pada tahun berjalan (Rp399,2 triliun) lebih besar dari nilai defisit itu sen
diri. Artinya, terjadi kelebihan aliran utang neto alih-alih berutang sesuai
dengan ke butuhan.
Utang yang ditarik pada periode
berjalan beserta aku mulasinya pada tahun-tahun sebelum nya membawa konse
kuensi finansial berupa ke wajiban pembayaran bunga. Total pene rimaan
dikurangi belanja di luar kewajiban bunga didapatkan neraca keseimbangan
primer (primary balance).
Implisit, neraca keseimbangan
primer menunjukkan kemampuan membayar bunga tanpa kehilangan kemampuan
menjalankan fungsi utama APBN, yakni pertumbuhan, distribusi, dan stabilisasi
sekaligus sebagai ruang gerak fiskal (fiscal space) dalam pengelolaan ekonomi
makro suatu negara.
Demi memelihara fungsi utama
APBN, neraca keseimbangan primer wajib positif. Faktanya, neraca keseimbangan
primer malahan mencatatkan minus sebesar Rp87,3 triliun. Angka itu bahkan
naik Rp9 triliun dari sasaran Rancangan APBN 2018. Intinya, struktur bangunan
APBN 2018 sejatinya sudah rapuh.
Kerapuhan APBN 2018 berlanjut
pada modus pembayaran bunga utang. Untuk tahun depan, pemerintah mengang
garkan Rp220 triliun untuk membayar bunga. Dengan ruang gerak fiskal yang
sempit, hanya ada satu kemungkinan pembayar anbungaberasal, yaknidari
kelebihan aliran utang neto tadi.
Dengan demikian, APBN 2018
sudah bangkrut (insolvent). Kecenderungan bangkrut yang terjadi sejak 2012
ini patut diwaspadai. Fenomena gali lubang tutup lubang membawa konsekuensi
risiko gagal bayar (default) terhadap kewajiban pembayaran utang dan bunganya
semakin besar.
Risiko default yang semakin
besar me nuntut suku bunga yang lebih tinggi lagi untuk dapat utangan baru.
Mengambil contoh utang dalam negeri, kecenderungan di atas tampaknya berlaku.
Surat utang negara (SUN) atau obligasi ritel Indonesia (ORI) menawarkan bunga
8% sampai 9% yang lebih tinggi daripada tingkat bunga deposito perbankan pada
umumnya agar pemilik dana tertarik memegang SUN dan ORI.
Tingkat bunga tersebut,
celakanya lagi, lebih tinggi daripada target pertumbuhan ekonomi yang
mencapai 5,4%. Sederhananya, beban bunga utang lebih berat dari kapasitas
ekonominya. Ini berarti pendayagunaan utang belum sampai pada level optimal
sehingga tidak mampu memaksimalkan multiplier effect pada perekonomian.
Efek dari kondisi di atas ialah
rasioutangpemerintahatasPDB selalu meningkat. Pada 2014 rasio utang publik
mencapai 24,7% dan merangkak ke level 29% pada 2017 yang merupakan rasio
tertinggi selama enam tahun terakhir. Alhasil, gradasi rasio utang
mengisyaratkan probabilitas terjadi jeratan utang (debt trap) yang semakin
besar pula.
Ringkasnya, eksistensi defisit,
aliran utang neto, neraca ke seimbangan primer yang minus, insolvent, dan
peningkatan rasio utang menjadi sehimpun variabel yang mengindikasikan bahwa
APBN 2018 tidaklah berkesinambungan dalam arti yang sesungguhnya.
Dengan konfigurasi problematika
di atas, implementasi fiskal 2018 dan tahun-tahun berikutnya mutlak harus
mengedepankan aspek kesinambungan. Tantangannya, kenaikan belanja lebih
banyak dialokasikan pada bantuan sosial yang memiliki kemampuan stimulasi
yang lebih rendah daripada belanja barang/jasa misalnya.
Harapan stimulasi agaknya
tercurah pada belanja infra struktur. Dalam pandangan pemerintah, belanja
infra struk tur yang masif menciptakan daya dorong bagi perekonomian.
Outcomenya bisa diserap kembali dalam bentuk pajak untuk meng akselerasi
surplus neraca keseimbangan primer.
Agaknya, skenario ini tidak
bisa terjadi dalam waktu singkat. Padahal, dalam jangka menengah dan panjang,
berbagai perubahan niscaya terjadi. Konsekuensinya, APBN 2018 harus
memperhitungkan pula risiko semacam ini. Risiko fiskal muncul tatkala terjadi
peristiwa yang dapat diperkirakan sebelumnya seperti tidak terpenuhinya
asumsi dasar penyusunan APBN.
Hal yang paling sulit ialah
ketika risiko fiskal muncul tibatiba akibat suatu peristiwa yang berada di
luar kendali seperti bencana, krisis global, dan turbulensi ekonomi
eksternal. Semua ini, lagi-lagi, membawa akibat tambahan kewajiban
kontingensi yang ujung-ujungnya merecoki keberlangsungan APBN.
Sampai pada titik ini,
kemampuan mewawas jauh ke depan menjadi prasyarat utama. Prasayarat yang jauh
lebih penting lagi ialah strategi antisipasinya. Kegagalan menyeimbangkan
tujuan jangka pendek (stimulasi) dan jangka panjang (sustainability) menjadi
ujian sebelum senjakala kedigdayaan APBN segera tiba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar