Minggu, 19 November 2017

Sejarah

Sejarah
Putu Setia  ;  Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                  TEMPO.CO, 18 November 2017



                                                           
Hari ini, Kamis Kliwon, 18 Agustus 2078, sebagai guru sejarah Nusantara, saya sudah siap di depan ratusan pelajar sekolah menengah. Ini kelas gabungan karena seusai perayaan hari kemerdekaan selalu ditradisikan ada pelajaran sejarah Nusantara untuk seluruh siswa. Oya, negeri ini masih bernama Indonesia, namun banyak yang sudah memakai nama Nusantara lantaran ada ahli yang menyebutkan nama Indonesia secara nilai angka kurang bagus alias lebih banyak sialnya. Tapi itu tak ada dalam buku sejarah yang saya pakai untuk acuan mengajar.

"Anak-anak, kita langsung pada halaman 14," saya mengawali pelajaran. Semua anak membuka buku pegangan yang sama dengan buku yang saya bawa. Guru sejarah saat ini tak boleh keluar dari buku pegangan, betapa pun buku itu ditulis dengan tergesa-gesa. Beda dengan guru bahasa. "Di akhir tahun 2017, 60 tahun yang lalu saat kita semua belum lahir, ada ketua parlemen yang menghilang sehari gara-gara mau diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi."

Saya teruskan. "Di halaman 5 sudah dijelaskan korupsi itu artinya ada pejabat yang menilap uang pajak dari rakyat, padahal mereka sudah digaji." Seorang murid mengacungkan tangan. "Pak Guru, korupsi itu kan haram. Kok, tak takut sama hukum duniawi dan hukum akhirat?" Saya langsung jawab: "Waktu itu hukuman duniawi sangat ringan untuk koruptor. Sedang hukum akhirat tidak ditakuti karena agama di era itu lebih banyak untuk keperluan mengisi kolom KTP."

Tak ada yang ngacung, lalu saya lanjutkan. "Anak-anak, kembali ke ketua parlemen yang diduga korupsi itu. Sempat menghilang sehari, malamnya dia ditabrak tiang listrik. Eh, maksud saya, mobilnya menabrak tiang listrik. Akhirnya masuk rumah sakit. Cerita selanjutnya sesuai dengan yang ada di buku, penuh humor karena masyarakat justru menuntut agar tiang listrik itu diperiksa sebagai tersangka. Silakan kalian baca sendiri. Yang perlu saya garis bawahi, eh jangan mengeluarkan penggaris, meski ketua parlemen jadi tersangka dan sempat menghilang, dia tetap saja menjadi ketua. Itu karena wakil ketuanya juga bermasalah, sudah dipecat dari partai."

Ada anak yang ngacung. "Pak Guru, soal tiang listrik yang ditabrak, apa ada hubungannya dengan penggabungan daya listrik yang heboh saat itu?" Saya kesal. "Kita bicara korupsi, soal listrik tak ada di buku sejarah. Memang buku lain menyebutkan, waktu itu PLN utangnya banyak, Rp 186 triliun, sementara listrik berlimpah karena proyek ambisius 35 ribu megawatt hampir rampung.

Sebenarnya belum seluruh desa di Nusantara teraliri listrik. Tapi, kalau itu dikerjakan, PLN kesulitan membangun distribusinya, utangnya banyak. Ironis, setrum berlimpah, jaringan distribusi tak bisa dibangun, akal-akalan pun dibuat. Pelanggan diguyur listrik berlimpah dengan harapan rakyat boros pakai listrik. Lumayan, ada pemasukan buat PLN."

Saya baru sadar memberi pelajaran sejarah yang kurang fokus. "Anak-anak, kembali ke ketua parlemen. Dia disebut sebagai orang yang licin, berkali-kali kena kasus tetapi selalu selamat. Selain licin, juga cerdik. Selalu menempel kekuasaan sehingga kasusnya semua masuk angin. Tapi di akhir tahun 2017 itu Presiden Nusantara bernama Jokowi. Meski ketua parlemen itu sudah mendekat bahkan mendukung pencalonan Jokowi untuk periode kedua, ketika dia kena kasus dugaan korupsi KTP itu, Jokowi tak mau membantu. Sang Ketua tak bisa ngeles lagi."

"Apa itu ngeles Pak Guru?" seorang anak memotong. Saya kesal dan menggebrak meja: bruakkk. Astaga, saya terbangun. Wow, rupanya saya lagi bermimpi. Edan tenan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar