Senin, 13 November 2017

Retaknya Dinasti Ibnu Saud

Retaknya Dinasti Ibnu Saud
Musthafa Abd Rahman ;  Wartawan KOMPAS di Mesir Kairo
                                                    KOMPAS, 11 November 2017



                                                           
Manuver yang dilakukan Putra Mahkota, Pangeran Mohammed bin Salman, sulit dipisahkan antara murni langkah pemberantasan korupsi atau bagian dari pertarungan kekuasaan di Arab Saudi. Seperti pisau bermata dua, langkahnya bisa jadi melawan korupsi sekaligus memuluskan jalan ke singgasana.

Logika tersebut sepertinya sangat masuk akal. Komisi pemberantasan korupsi (KPK) terkesan didirikan secara dadakan melalui Dekrit Raja Salman, Sabtu (4/11), dan Pangeran Mohammaed langsung ditunjuk memimpin lembaga anti korupsi itu. Hanya beberapa saat berselang, Pangeran Mohammed langsung memerintahkan penangkapan 11 pangeran, empat menteri, dan puluhan mantan menteri. Diberitakan, tersangka korupsi yang ditahan mencapai 201 orang.

Keutuhan dan kekompakan anak keturunan Ibnu Saud yang dikenal solid selama 85 tahun— sejak negara modern Arab Saudi didirikan Raja Abdulaziz al-Saud tahun 1932—kini mulai retak. Keretakan ini juga tidak terlepas dari perubahan zaman yang dihadapi negara itu.

Jika Arab Saudi tidak segera menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, cepat atau lambat, negara itu bisa punah atau minimal semakin ketinggalan zaman. Kebetulan Arab Saudi kini juga sedang menghadapi peralihan generasi penguasa, dari generasi kedua ke generasi ketiga dari anak keturunan Ibnu Saud.

Raja Salman bin Abdulaziz (82) akan menjadi generasi kedua terakhir yang memimpin. Jika tidak ada aral melintang, Pangeran Mohammed (32), putra Raja Salman, akan menjadi raja pertama dari generasi ketiga.

Sudah lumrah dalam peralihan generasi penguasa, terjadi gejolak akibat pertarungan memperebutkan kekuasaan atau pengaruh di lingkaran generasi penerus calon penerima warisan kekuasaan. Realitas politik inilah yang terjadi di Arab Saudi saat ini.

Akhir Juni lalu, Raja Salman mencopot Pangeran Mohammed bin Nayef sebagai putra mahkota dan menggantinya dengan anaknya, Pangeran Mohammed. Tentu, langkah itu memunculkan intrik, gesekan, dan bahkan resistensi dari sebagian kalangan keluarga Ibnu Saud.

Pecah kongsi

Situasi tersebut dibaca Pangeran Mohammed. Langkah yang dia lakukan terhadap saudara- saudaranya melalui KPK saat ini merupakan serangan balik terhadap resistensi tersebut. Dapat dikata, saat ini sedang terjadi pecah kongsi di dalam keluarga besar Ibnu Saud. Dengan kongsi yang selama ini tercipta, para anggota keluarga besar Ibnu Saud menikmati hak-hak istimewa berupa harta melimpah dengan imbalan mereka tidak mengusik proses suksesi di negara itu.

Terjadinya pecah kongsi itu menunjukkan, Pangeran Mohammed sudah tidak lagi mengindahkan pakem tradisi politik di lingkungan keluarga. Ia menggunakan kendaraan KPK yang baru saja dibentuk untuk menyeret saudara-saudaranya sendiri ke dalam tahanan dengan tuduhan terlibat korupsi.

Saingan politik terkuat Pangeran Mohammed saat ini adalah Pangeran Mohammed bin Nayef yang telah dicopot dari jabatan putra mahkota, Juni lalu. Kedua pangeran itu sama-sama berasal dari poros “Al-Sudairi Tujuh”.

Poros ini merujuk pada keturunan Raja Abdulaziz dari salah satu istrinya, Hussa al-Sudairi, yang melahirkan tujuh putra, di antaranya, Raja Salman (2015-sekarang), Raja Fahd bin Abdulaziz (1982-2005), dan Putra Mahkota Sultan bin Abdulaziz (2005-2011), dan Putra Mahkota Pangeran Nayef bin Abdulaziz (2011-2012). Poros “al-Sudairi Tujuh” dikenal paling berpengaruh di lingkungan keluarga besar keturunan Raja Abdulaziz.

Pangeran Mohammed bin Salman, Rabu (8/11), sudah membekukan rekening Pangeran Mohammed bin Nayef, yang bahkan konon dikenakan tahanan rumah sejak dicopot dari jabatan putra mahkota. Harian Al Quds al Arabi mengungkapkan, anggota keluarga dekat mantan Menteri Pertahanan Pangeran Sultan bin Abdulaziz—juga dari poros “Al-Sudairi Tujuh”—juga ditangkap.

Jika Pangeran Mohammed berani bertindak terhadap pangeran dari poros “Al-Sudairi Tujuh” yang dikenal kuat, apalagi terhadap para pangeran yang bukan dari poros “Al-Sudairi Tujuh”. Ia tanpa ragu-ragu menangkap Pangeran Miteb bin Abdullah dan Pangeran Alwaleed bin Talal.

Pangeran Miteb adalah putra almarhum Raja Abdullah, saudara tiri Raja Salman. Begitu juga dengan Pangeran Alwaleed dari poros Al-Talal, yang dikenal sebagai pembangkang semasa hidupnya. Pangeran Talal sempat mengasingkan diri ke Beirut dan Kairo. Ia juga menyerukan agar diterapkan sistem monarki konstitusional di Arab Saudi.

Posisi Pangeran Alwaleed kuat dan terkenal karena suksesnya dalam bisnis hingga menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Namun, di keluarga besar Ibnu Saud, ia bukan dari poros kuat.

Peran AS

Beredar pula berita bahwa tewasnya Pangeran Mansour bin Muqrin pekan lalu akibat jatuhnya helikopter yang ditumpanginya di wilayah Asir, dekat perbatasan dengan Yaman, karena sengaja ditembak oleh jet tempur Arab Saudi. Pangeran Mansour disinyalir juga termasuk pangeran yang mengkritisi kewenangan besar Pangeran Mohammed. Seperti Pangeran Miteb dan Pangeran Alwalees, ia bukan dari poros kuat “Al Sudairi Tujuh”.

Dinamika di Arab Saudi saat ini menunjukkan, sayap Al-Salman untuk sementara memenangi pertarungan. Tetapi, dinamika di negara itu tampaknya belum berakhir dan masih berlanjut. Peran Amerika Serikat (AS) disebut cukup kuat terhadap kebijakan Pangeran Mohammed. Sang Putra Mahkota ini dikelilingi beberapa konsultan politik dan ekonomi dari AS, seperti Boston Consulting Group, McKinsey Group, dan Oliver Wyman Consulting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar