Ormas
dan Bisnis Politik
Eduardus Lemanto ; Alumnus Program
Magister Filsafat, STF Driyarkara
|
KOMPAS,
06 November
2017
Lokus perhatian publik terhadap
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, termasuk
perdebatannya, sebagian ada pada pembubaran ormas dan eksesnya terhadap nasib
demokrasi. Sebagian lagi pada ancaman terhadap empat pilar kebangsaan,
seperti NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945.
Persoalan sesungguhnya tak
hanya itu. Sebab, kita dituntut untuk menggali lebih jauh; apa dan mengapa
“ormas-ormas” harus diatur secara ketat.
Ada tuntutan basis pemikiran
mengapa perppu tersebut diafirmasi oleh tujuh parpol (PDI-P, Golkar, Nasdem,
dan Hanura, serta PPP, PKB, dan Demokrat yang setuju dengan catatan), maupun
ditolak oleh tiga parpol lainnya (Gerindra, PKS, dan PAN). Aspirasi kedua
belah pihak tentu perlu diberi telinga. Namun, dibutuhkan diskursus lebih
mengapa diterima atau ditolak.
Bahaya bisnis ormas
Ketika perppu itu diterima atau
ditolak, apakah urusan selesai? Tentu tidak. Partai politik yang menerima dan
yang menolak sama-sama punya pekerjaan rumah. Sebab, ada titik hitam yang
luput dari diskursus perppu tersebut, yakni relasi ormas, politik, dan
bisnis. Ini tiga sekawan yang sulit dipisahkan, baik dalam untung maupun
malang.
Dalam relasi itu, ormas-ormas
tidak lagi mengenai ormas pada dirinya sendiri, sebagaimana pemahaman umum
civil society organizations (CSOs). Sebab, di balik itu terdapat mesin
penggerak utama. Orientasinya tak lagi berupa CSOs sebagai perangkat dasar
demokrasi partisipatif, yakni ormas-ormas hadir sebagai bentuk masuknya
masyarakat kecil dalam demokrasi.
Relasi ormas dengan politik dan
bisnis bersifat eksploitatif dua arah. Karena itu, jika kita mau dan berniat
baik, ruang bedah utama soal perppu itu terletak di sana. Sebab, pada
dasarnya demokrasi tanpa CSOs hampir pasti tumpul. CSOs tanpa kapital juga
mati, sebab ia membutuhkan uang (bisnis) dan kekuasaan (politik).
Nah, bisa dibaca bahwa gerak-
gerik sebagian ormas belakangan ini kerap disesaki muatan politik. Wujudnya
dalam rupa eksploitasi kekuatan massa guna mengencangkan daya cengkeram
politik. Memainkan strategi itu pada mulanya tampak biasa dan dianggap normal
dalam the real politics. Namun, kekuatan ini bisa mencelakan jika tak
dikontrol secara baik.
Di balik itu, yang harus
disadari secara betul adalah tentang sifat massa. Eksploitasi massa pada
level kuantitatif dan sekadar transaksi politik bisa dengan mudah direm.
Sebab, gerakan perubahan bernama revolusi dan reformasi butuh (tekanan)
massa. Pada tataran ini, gerakan itu bersifat kuantitatif belaka untuk tujuan
mengambrukkan kekuasaan otoriter ataupun lawan dengan pemanfaatan massa
sebanyak-banyaknya.
Namun, bahaya besar terjadi
jika eksploitasi massa disusupi muatan-muatan ideologi eksklusif dan sempit,
katakanlah ideologi bercorak SARA. Eksploitasi massa tersebut bisa berubah
menjadi sangat kualitatif. Maksudnya, kehadiran ormas-ormas tersebut tidak
bisa lagi dianggap sepele, seperti sebuah kerumunan biasa atau sekadar
kumpulan massa yang berontak.
Mereka rentan bermetamorfosis
menjadi organized mass; massa yang terorganisasi secara apik karena ditopang
ideologi eksklusif, sumber dana, dan kepentingan politik yang sangat jelas.
Lebih jauh, mereka tak lagi sekadar menjadi tirani mayoritas barbarik
jalanan. Namun, di tataran elite mereka bisa berubah ke arah penghapusan
ideologi inklusif yang berlaku bagi seluruh penghuni republik.
Ekses paling buruk bisa
berbuntut pembersihan etnik-baik secara sosio-kultural, psikologis, maupun
fisik-oleh mayoritas ke minoritas. Ini bisa berlaku di mana saja. Sebab,
keyakinan ideologis lebih condong mengorganisasikan massa secara kuat dari
dalam. Artinya, gerakan-gerakan itu dilakukan secara sadar untuk tujuan
implementasi ideologi eksklusif yang diyakini, bahkan dengan pemaksaan
kehendak mayoritas; tirani mayoritas.
Alasannya, tirani mayoritas
hanya akan terjadi jika terjadinya eksploitasi ideologi-ideologi sempit,
apalagi ideologi agama, yang dipakai sebagai pemandu gerakan. Sebab, agama
itu urusan keyakinan. Keyakinan tak butuh dialog, diskursus, apalagi debat
ilmiah. Karena tak ada dialog, urusan pemaksaan berlaku dominan. Karena itu,
menunggang ideologi eksklusif untuk kepentingan politik sama artinya
memboyong bangsa ini ke negara gagal. Lalu bagaimana?
Tugas parpol
Bangsa ini perlu membuka
kembali sejarah kelam negara-negara yang gagal total mengendalikan gelombang
dahsyat dan tubrukan keras akibat eksploitasi ideologi sempit bagi
kepentingan politik. Pembantaian jutaan umat Yahudi oleh Nazi di Jerman,
konflik berdarah antara Tutsi dan Hutu di Rwanda, dan boncengan isu etnik
pada Reformasi 1998 yang berdarah itu harus dipakai sebagai kaca pembesar guna
melihat kondisi Indonesia saat ini.
Parpol-parpol berdiri
mengangkang di antara dua bibir jurang: integrasi atau disintegrasi NKRI.
Parpol berperan penting untuk dua pilihan itu. Kesehatan paradigma berpikir
parpol-parpol menentukan kesehatan politik dan kesehatan bangsa secara
keseluruhan. Demikian halnya dalam tautannya eksistensi ormas-ormas. Parpol
berperanan besar menjadi remote control atas mereka; peran rusak atau baik.
Peran rusak jika berkehendak
untuk mengeksploitasi ormas- ormas dan ideologi-ideologi sempit yang mereka
usung untuk tujuan pragmatisme politik. Namun, perlu diingat bahwa langkah
ini riskan bagi demokrasi, apalagi dalam negara majemuk. Sebab, demokrasi
membutuhkan dialog dan penalaran-penalaran yang masuk akal. Sementara
eksploitasi massa via penciptaan ormas-ormas berideologi sempit, apalagi yang
bertubuh SARA, secara otomatis meminggirkan dialog, interaksi, apalagi
diskursus yang beradab.
Persis di sanalah jantung
permasalahan mengapa ormas-ormas destruktif harus diatur sedemikian rupa agar
tidak mengganggu stabilitas. Ormas-ormas itu mirip peluru kendali karena bisa
dikendalikan oleh kepentingan elite-elite politik. Mereka pun tak lebih dari
mainan-mainan elite politik. Karena itu, mengendalikan mereka juga menjadi
tugas parpol-parpol. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar