Nasib
Gamang Industri Pupuk
Tjipta Lesmana ; Mantan anggota Pokja Ketahanan Nasional
Lemhannas
|
JAWA
POS, 08 November 2017
PUPUK palsu, diam-diam, makin
marak beredar di masyarakat, khususnya di kalangan petani. Pada 23 Oktober
lalu, polisi menggerebek pabrik pupuk palsu di Burangkeng, Bekasi. Dalam
operasi tersebut, polisi menemukan 100 ton pupuk palsu.
Tiga pekan sebelumnya, polisi
juga membongkar industri pupuk palsu di Sukaraja, Sukabumi. Pelaku mengaku
sudah setahun lebih memproduksi pupuk palsu tersebut. Setiap bulan tidak
kurang dari 1,5 hingga 2 ton pupuk palsu yang diproduksi dan dipasarkan di
Lembang, Bandung.
Akhir Februari 2017, polisi
membongkar jaringan penjual pupuk palsu di Jawa Barat. Empat pelaku yang
mendistribusikan 300 ton pupuk palsu tiap bulan berhasil diciduk polisi.
Menurut Direktur Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian Muhrizal Sarwani,
para pelaku dapat meraup keuntungan hingga Rp 3,6 miliar per tahun.
Anda tahu dari bahan apa pupuk
palsu itu diproduksi? ’’Hanya tanah, kapur, dan pewarna pakaian yang kemudian
dicampur dengan menggunakan mesin.......’’ ucap salah satu pelaku.
Yang lebih hebat lagi, sebuah
perusahaan di Cianjur, PT HJ, mengaku sudah berbisnis pupuk palsu sejak 2010
ketika pada Maret lalu digerebek anggota Direktorat Tindak Pidana Ekonomi
Khusus Bareskrim. Di sana ada sekitar delapan gudang dan tiga pabrik pupuk
palsu. Setiap hari PT HJ menjual sekitar 10 ton pupuk palsu. Pupuk anorganik
yang dipalsukan adalah NPK, Greenhill, NK Gurita, SP Banteng, dan NK Dunia
Flora. Bahan baku yang dipakai untuk membuat beragam pupuk tersebut antara
lain garam, pewarna, dan kapur pertanian.
Mengapa Merajalela?
Hukum permintaan dan penawaran
berbicara. Sebagian petani memang terpaksa harus membeli pupuk ’’tidak
resmi’’. Anehnya, harga ’’pupuk tidak resmi’’ itu lebih murah. Yang dimaksud
’’pupuk tidak resmi’’ adalah pupuk bukan produksi industri-industri pupuk
yang semuanya milik BUMN, seperti Pupuk Kujang, Pupuk Sriwijaya, Pupuk
Kaltim, dan Petrokimia Gresik. Pupuk tidak resmi adalah yang berasal dari
impor dan/atau pupuk palsu tadi.
Mengapa kerap terjadi
kelangkaan pupuk di pasar? Lima atau enam industri pupuk BUMN di bawah PT
Pupuk Indonesia memproduksi sekitar 13 juta ton pupuk. Kebutuhan petani 12
juta ton. Semestinya ada surplus sekitar 1 juta ton. Masalahnya, total pupuk
yang disalurkan ke sektor PSO hanya sekitar 9,5 juta ton. Sebab, jumlah
itulah yang disediakan subsidinya oleh pemerintah.
Faktor kedua adalah harga pupuk
produksi BUMN kita relatif lebih mahal. Mengapa mahal? Itu karena harga gas
untuk memproduksi pupuk juga tinggi. Kebutuhan gas hampir mencapai 70% dari
biaya produksi pupuk. Maka, problematik yang dihadapi industri pupuk dalam negeri
adalah harga gas yang mahal! Dan pemerintah Jokowi sampai sekarang masih
tidak mampu merealisasi janjinya untuk menurunkan harga gas bagi industri.
Beberapa waktu lalu, pemerintah
memang telah menurunkan harga gas hingga sekitar 6 dolar per mmbtu. Tapi,
angka itu masih jauh dari ekspektasi industri strategis, khususnya industri
gas. Mereka minta agar harga gas bisa ditekan sampai 3 dolar per mmbtu.
Sebaliknya, Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I Gusti Nyoman
Wiratmaja Puja mengatakan, jika harga gas diturunkan, penerimaan negara akan
susut banyak, yang gilirannya defisit APBN makin besar. Paradigma ini tidak
benar! Jika harga gas diturunkan, subsidi pemerintah kepada industri gas
dengan sendirinya akan turun pula. Manfaat strategis lain yang diperoleh
pemerintah: harga gas yang sekitar 3 dolar/mmbtu akan membuat harga pupuk
dalam negeri lebih bersaing dengan harga pupuk impor, termasuk dari Tiongkok.
Sekadar catatan: harga pupuk
India USD 4,2, Malaysia USD 4, Australia USD 4, dan Amerika USD 2,7. Kami
tidak punya catatan tentang harga gas di Tiongkok. Yang jelas, harga di sana
jauh murah sekali. Karena itu, harga pupuk asal Tiongkok membanjiri
Indonesia. Harga gas Indonesia yang tinggi dengan sendirinya membuat harga
pupuk kita mahal. Misalnya, biaya produksi pabrik urea Pupuk Iskandar Muda
(PIM) USD 400/ton, Pupuk Kujang USD 250/ton, Pupuk Kaltim USD 270/ton;
sedangkan Tiongkok USD 235/ton, Rusia USD 180/ton, Amerika USD 130/ton, dan
Aljazair hanya USD 100/ton.
Kecuali masalah gas, tingginya
harga pupuk Indonesia juga disebabkan beban biaya bunga yang harus ditanggung
industri pupuk. Subsidi pupuk yang diberikan pemerintah tiap tahun kepada
industri ternyata tidak dibayar kontan, tapi bisa tahunan. Akibatnya, pihak
industri harus pinjam uang dari bank untuk menutup biaya operasional. Tentu
saja, biaya bunga membebani ongkos produksi.
Pupuk adalah industri sangat
strategis untuk ketahanan pangan. Jika makin banyak pupuk impor yang masuk
dan makin marak peredaran pupuk palsu, industri pupuk akan terpukul. Kondisi
beberapa pabrik pupuk dalam negeri saat ini juga memprihatinkan, karena
mesinnya yang tua, sehingga boros bahan bakar.
Ketika kami berkunjung ke
pabrik PT PIM, yang beroperasi tinggal satu pabrik, satu lainnya sudah lama
berhenti produksi. Sebab, biaya produksi terlalu tinggi akibat mesin yang
terlalu tua. Jika pemerintah tidak segera membantu, PT PIM bisa
kelepak-kelepak, tewas mengikuti sejumlah industri strategis di Aceh yang
sudah lebih dulu ’’almarhum’’. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar