Menuju
Pendidikan Asembling
Sudaryono ; Guru Besar Fakultas
Teknik Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
29 Agustus
2017
Akhir-akhir ini di media sosial
sedang hangat didiskusikan dan diperdebatkan perihal universities disruption
yang dipicu artikel Jim Clifton, ”Universities:
Disruption is Coming”. Isinya secara garis besar mempertanyakan dan
mengkhawatirkan peran masa depan pendidikan tinggi dalam menyuplai tenaga
kerja industri di dunia.
Pemicu ditulisnya artikel
tersebut adalah iklan Google dan Ernst & Young yang akan menggaji siapa
pun yang bisa bekerja dengannya tanpa harus memiliki ijazah apa pun, termasuk
ijazah dari perguruan tinggi (PT)
Iklan dari Google dan Ernst
& Young tersebut seperti halilintar di siang bolong. Ia mengejutkan dan
menyambar kemapanan yang telah dinikmati oleh PT di seluruh dunia dalam
perannya sebagai penyuplai tenaga ahli, hasil riset, dan pemikiran-pemikiran
yang dibutuhkan dunia industri. Namun, peran penting PT saat ini seakan telah
dinihilkan oleh Google dan Ernst & Young, yang sebentar lagi barangkali
diikuti oleh perusahaan-perusahaan raksasa dunia yang lain.
Lonceng kematian PT seakan telah
didentangkan oleh kedua perusahaan raksasa tersebut, menyusul artikel yang
ditulis oleh Terry Eagleton, berjudul ”The Slow Death of the University”
(2015). Artikel Eagleton memberikan gambaran bahwa PT sedang melakukan bunuh
diri massal melalui pengabaian pada tugas utamanya, yakni ”pendidikan”,
karena telah bergeser lebih mengutamakan ”riset dan publikasi”. Lebih
menyedihkan lagi, tradisi hubungan dosen dan mahasiswa yang seharusnya
berbasis ”guru dan siswa” telah bergeser menjadi ”manager dan pelanggan”.
Khusus di Indonesia, fenomena
bunuh diri massal ini ditambahkan oleh keluhan bahwa para dosen saat ini
lebih mementingkan meng-update LKD (laporan kinerja dosen) karena berkaitan
dengan tunjangan kinerja dosen daripada meng-update materi kuliah yang diampunya.
Pertanyaan menarik untuk
diajukan adalah apakah eksistensi pendidikan tinggi akan segera berakhir
ataukah tetap akan ada tetapi arahnya akan berbelok tajam tidak mengikuti
garis linier lagi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu: (1)
melihat lagi ke belakang sejarah kaitan antara pengetahuan, sains, dan
teknologi; (2) tahap-tahap perkembangannya; (3) esensi dan sifat dasar kaitan
ketiganya dalam perspektif kekinian; dan (4) pengaruhnya pada arah pendidikan
tinggi kita di masa depan.
Sejak kelahirannya pada abad
ke-17, sains modern telah melahirkan tradisi berpikir yang mengikuti garis
linier hubungan antara pengetahuan, sains, dan teknologi. Pengetahuan adalah
basis dibangunnya premis-premis atau dalil-dalil umum sains, yang untuk selanjutnya
sains akan berperan sebagai ibu kandung dari kelahiran teknologi.
Pengetahuan tentang benda-benda
di langit yang didasarkan pada pengamatan yang berulang, pada akhirnya telah
melahirkan prinsip-prinsip serta dalil-dalil di bidang sains. Kemudian
disusul oleh terciptanya peralatan-peralatan yang mampu digunakan untuk
membuktikan dengan akurat hipotesis yang dibangun oleh abstraksi sains.
Pendek kata, keberadaan dan
perilaku-perilaku alam merupakan sumber berpikir atau guru bagi terbangunnya pengetahuan
manusia. Kelak di kemudian hari, pengetahuan tersebut dapat digeneralisasi
dalam formula-formula yang dapat menuntun manusia untuk menciptakan alat-alat
bantu yang dapat memudahkannya melakukan kegiatan-kegiatan yang sulit dan
rumit. Puncak dari tradisi berpikir yang mengikuti garis linier ini adalah
masa yang disebut dalam sejarah sebagai revolusi industri, yang usianya
sampai saat ini baru sekitar 200 tahun, tetapi pengaruhnya pada perubahan
alam dan perubahan perilaku manusia sungguh sangat luar biasa.
Perkembangan selanjutnya
Revolusi industri ternyata
bukan saja hasil puncak dari perkembangan sains modern, melainkan juga awal
terciptanya alam (buatan) baru. Tradisi cara berpikir manusia kemudian
berubah dari linier jadi siklikal karena produk-produk teknologi yang
dihasilkan manusia tidak saja hanya dilihat sebagai ”hilir” dari pengetahuan
dan sains, tetapi juga sebagai ”hulu” pengetahuan untuk melahirkan sains dan
produk-produk teknologi baru.
Pergeseran cara berpikir ini
dapat kita kenali dari berubahnya cara berpikir yang semula disebut sebagai
discovery menjadi innovation. Cara berpikir ”inovasi” telah meremas
pengetahuan, sains, dan teknologi ke dalam satu genggaman tangan untuk
kemudian dibentuk jadi bentukan-bentukan baru yang lebih mudah dipahami,
lebih canggih, lebih mudah untuk memudahkan manusia, dan tentu saja lebih
memesona.
Namun, yang sangat mengejutkan,
ternyata dalam waktu hanya sekitar 15 tahun terakhir ini cara berpikir
manusia modern sudah bergeser dari ”inovasi” menjadi ”hiper-inovasi” atau
tepatnya ”hiper-siklikal”. Artinya, inovasi tidak lagi sekadar dijalankan di
atas ”produk tunggal” untuk menambah nilai kebaruan dari produk tersebut,
tetapi inovasi dilakukan di atas ”banyak produk” (multiproduk) untuk dilipat
jadi satu produk. Alhasil, ia bukan saja melahirkan nilai kebaruan pada
produk lama, melainkan sekaligus melahirkan produk-produk baru atau
benda-benda baru yang sebelumnya belum pernah ada.
Cara berpikir seperti ini
kemudian melahirkan panggung-panggung perlagaan di dunia industri untuk
saling bunuh dan saling mengalahkan. Akhirnya, kita banyak menyaksikan
perusahaan-perusahaan raksasa dunia terjungkal tanpa membuat kesalahan
manajemen maupun produksi hanya karena munculnya benda-benda industri baru
yang mengambil teritori pasarnya lantaran para pelanggannya dengan sukarela
meninggalkan produk-produknya karena dianggap kuno alias tidak gaul lagi.
Dalam payung berpikir seperti itu (hiper-inovatif), baik produsen maupun
konsumen hidup dalam perlagaan-perlagaan yang sangat ketat, sibuk, dan cepat
karena ”kegaulan” produk-produk teknologi saat ini jadi berusia amat pendek.
Cara berpikir asembling
Untuk melahirkan benda-benda
baru serta jasa-jasa baru tersebut di atas dalam payung berpikir
”hiper-inovasi”, sesungguhnya kita telah mereduksi cara berpikir kita dari
discovery ke innovation lalu ke asembling. Cara berpikir yang terakhir ini
adalah cara berpikir yang menggunakan ilmu gathuk (Jawa). Meng-gathuk-kan
orang yang punya sepeda motor atau mobil dengan orang yang memerlukan jasa
transportasi melalui IT. Meng-gathuk-kan orang yang perutnya lapar dengan
pemilik produk makanan dengan pemilik sepeda motor yang mau disuruh dengan
upah melalui IT. Dengan ”ilmu gathuk”, saat ini banyak orang bisa mendapatkan
rezeki tanpa harus bekerja di kantor atau di pasar, dan juga banyak orang
malas tetapi punya duit yang dimudahkan.
Saat ini, cara-cara berpikir
dengan ”ilmu gathuk” telah tumbuh dengan pesat dan subur serta telah
melahirkan karya-karya jasa ataupun produk benda-benda yang sangat nyata dan
dibutuhkan oleh masyarakat. Ilmu semacam ini dapat dilakukan oleh siapa saja,
tanpa harus memiliki ijazah apa pun, termasuk ijazah dari PT. Cara berpikir
seperti inilah barangkali salah satu yang dibaca dan ditangkap Google dan Ernst
& Young untuk berani merekrut siapa pun tanpa ijazah apa pun untuk
bekerja dengannya.
Sistem pendidikan asembling
Atas dasar kondisi seperti
itulah barangkali Jim Clifton merasa gelisah dan khawatir akan masa depan
eksistensi PT dalam perannya sebagai penyedia tenaga kerja industri. Keahlian
ilmu gathuk seperti itu ternyata ”tak pernah” dan ”tak perlu” diajarkan PT.
Ilmu seperti itu dapat dipelajari siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.
Kekhawatiran Jim Clifton
barangkali ”sangat berguna” untuk mendefinisikan ulang peran pendidikan
tinggi dalam perubahan-perubahan alam dan kehidupan manusia di masa depan.
Paling tidak, ada dua arus utama pendidikan tinggi yang dapat ditawarkan
kepada masyarakat.
Pertama, pendidikan tinggi yang
diselenggarakan atas dasar semangat discovery. Artinya, pendidikan tinggi
semacam ini mengorientasikan kegiatannya untuk dapat meraih
”penemuan-penemuan” besar yang berguna bagi perubahan-perubahan kehidupan
manusia di masa depan. Riset-risetnya dilakukan atas dasar ”kerja kolektif”
untuk diarahkan pada ”penyelesaian masalah-masalah besar” dan
”penemuan-penemuan besar” sehingga PT semacam ini jumlahnya memang harus
dibatasi, termasuk jumlah mahasiswanya juga dibatasi pada mereka yang memang
memiliki kemampuan dasar luar biasa (melalui seleksi yang ketat). Untuk
perguruan tinggi semacam ini, idealnya diselenggarakan atas basis subsidi,
dalam arti mahasiswa tidak dipungut biaya alias gratis karena mereka kelak
akan jadi pemandu perubahan kehidupan manusia. Setelah lulus mereka tidak dibiarkan
mencari pekerjaannya sendiri, tetapi sudah dikaitkan dengan tugas-tugas besar
yang harus dilakukan.
Kedua, pendidikan tinggi yang
diselenggarakan atas semangat berpikir asembling, atau pendidikan yang
diselenggarakan untuk melembagakan cara berpikir ”perakit”, sehingga tugas
utamanya melahirkan sebanyak-banyaknya tenaga ahli perakit yang sangat
dibutuhkan oleh industri. Pendidikan seperti ini mungkin mirip pendidikan
vokasi, tetapi bedanya terletak pada ”cara berpikir” yang luas, melintas
disiplin, dan kompetensi yang dihasilkannya mampu melahirkan produk-produk
baru, baik berupa barang maupun jasa. Mungkin pendidikan semacam ini tepat
disebut ”pendidikan vokasi plus”. Taiwan, Korea, dan China tampaknya telah
memberi perhatian besar terhadap pengembangan pendidikan semacam ini.
Dengan menyelenggarakan dua
arus utama pendidikan tinggi semacam itu (discovery dan asembling),
kekhawatiran atas kemungkinan bangkrutnya pendidikan tinggi tidak beralasan
lagi. Selain eksistensi pendidikan tinggi tetap dapat dipertahankan, maka
pendidikan tinggi dikembalikan lagi perannya sebagai pemandu atau penuntun
peradaban manusia, bukannya sebagai pembebek (pengekor) apa saja yang telah
dilakukan oleh dunia industri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar