Memantik
Kepahlawanan Bahasa Kita
Maryanto ; Pemerhati Politik Bahasa; Bekerja pada Badan
Bahasa, Kemdikbud
|
KOMPAS,
11 November
2017
Masih segar ingatan pada seruan
Presiden Joko Widodo: ”Saya Indonesia; saya Pancasila.” Seruan Kepala Negara
berikut ini juga perlu diingat-ingat: ”Jangan saling hujat, karena kita
adalah saudara. Jangan saling menjelekkan, karena kita saudara. Jangan saling
fitnah, karena kita saudara.” Seruan itu menengarai pentingnya bahasa
Indonesia ke depan untuk mencegah retaknya persatuan bangsa akibat
penyalahgunaan bahasa oleh penutur yang tidak berbahasa secara apik dan
santun.
Dari Kementerian Sosial, untuk
peringatan Hari Pahlawan 10 November 2017 ini diangkat tema, ”Perkokoh
Persatuan Membangun Negeri”. Sementara dalam upacara peringatan 89 tahun
Sumpah Pemuda yang baru lalu, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi
menyerukan, ”Pemuda Indonesia berani bersatu.” Jika dipertukarkan seruan
Presiden, Menteri Sosial, dan Menpora, tentu memiliki kaitan satu sama lain
alias setali tiga uang.
Masih dipunggungi
Sudah begitu ramai diskursus
yang memantik persatuan bangsa. Namun, bahasa untuk bersatu itu justru terlihat masih terbelakang;
dipunggungi dengan mengedepankan bahasa asing. Cobalah tengok pembangunan
nasional kita akhir-akhir ini. Nama bangunan-bangunan gedung di Indonesia
makin tak terkendali penggunaan bahasanya.
Sekarang, pernahkah kita
bayangkan betapa rendah simbol kemanusiaan/kebangsaan Indonesia? Untuk
gedung-gedung megah itu makin sedikit pemuda Indonesia yang sudi bertugas
sebagai ”satpam”, tetapi makin banyak yang mau bekerja sebagai
”security”? Penunjuk jalan masuk
bangunan yang dijaga security itu pun tertulis hanya dalam bahasa asing,
in/entry, dan jalan keluarnya out/exit.
Ketika dalih pengutamaan bahasa
asing itu ialah pentingnya komunikasi berbahasa global, seperti teori David
Crystal (2003), bahasa Indonesia sering dipandang bukanlah simbol kemajuan,
melainkan lambang ketertinggalan atau sesuatu yang cukup ditaruh di punggung
belakang. Padahal, kian maju teknologi komunikasi, mestinya makin di depan
keberadaan bahasa Indonesia itu untuk menghela pikiran positif dalam
pemanfaatan teknologi dan komunikasi.
Bahasa Indonesia, elemen utama
pembentuk bangsa Indonesia, sering dibiarkan mundur tanpa cukup pembelaan. Beruntunglah jalan lingkar pada
Jembatan Semanggi urung dinamai Semanggi Interchange. Akhirnya, untuk
bangunan kebanggaan bangsa Indonesia itu, dinamakan Simpang Susun Semanggi,
setelah berkali-kali pertemuan Badan Bahasa dengan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta.
Melalui penempatan bahasa
negara sebagai bahasa utama dalam penamaan gedung, jalan, dan berbagai
layanan publik (UU Nomor 24 Tahun 2009), negara ini sedang dihadirkan di ruang
publik yang menghubungkan dirinya dengan
pihak non-negara. Akan tetapi, ketika bahasa sendiri dipunggungi,
berarti negara menerima bahwa dirinya sedang lemah berhadapan dengan pihak
non-negara, termasuk kalangan swasta.
Kekuatan non-negara itu sudah begitu
rupa sehingga membuat pihak negara memunggungi bahasa sendiri. Indonesia
sudah dicap sebagai negara yang berkemahiran bahasa Inggrisnya rendah:
menurut survei lembaga kursus pada 2012, skor Indonesia cuma 53.31; hanya
sedikit di atas Iran dengan skor 52,92. Cap itu dibubuhi keyakinan bahwa
lebih baik bahasa Inggrisnya akan baik pula masa depan negara itu. Bahasa
Indonesia makin diyakini bukan bahasa depan generasi muda bangsa Indonesia.
Simbol tak berjarak
Dalam hal negara-bangsa
Indonesia, bahasa Indonesia merupakan simbol kemanusiaan yang sangat unik.
Keunikan itu ada karena apa yang jadi warga negara Indonesia sesungguhnya
merupakan warga masyarakat atau suku dengan daerah masing-masing yang
berbeda-beda.
Bahasa daerah yang jumlahnya
652 (menurut Badan Bahasa, 2017) menandai keberbedaan manusia—Jawa, Sunda,
Batak, dan lain-lain—menjadi satu kesatuan manusia Indonesia karena adanya
bahasa Indonesia. Dalam hal simbol ini—ingat: setiap manusia Indonesia tidak
selalu bertemu, apalagi bertatap muka—bahasa Indonesia berfungsi sebagai
sarana komunikasi ketika ada
perjumpaan kita.
Lihatlah ketika jarak
memisahkan, misalnya, antara orang Batak di Sumatera Utara dan Sasak di Nusa
Tenggara Barat tidak pernah ada pertemuan untuk saling berkomunikasi, bahasa
Indonesia sudah berfungsi mempersatukannya melalui cara berpikir yang sama
untuk menjadi sesama warga bangsa Indonesia. Terhadap pemilik simbol, yaitu
manusia Indonesia, bahasa Indonesia tak berjarak.
Digerakkan oleh bahasa
Perkuatlah kedudukan bahasa Indonesia
yang sangat strategis dengan fungsi hakikinya sebagai sarana berpikir
dan—sekaligus—membentuk pikiran keindonesiaan itu. Untuk itu, usaha membangun
cara berpikir yang sama melalui bahasa Indonesia itu sudah semestinya tak
terpisahkan dari agenda pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Bahasa begitu tak berjarak dengan pemiliknya
karena pikiran manusia digerakkan oleh bahasa, seperti kata Ludwig
Wittgenstein dalam penuturan Timothy Binkley (1973): the language is itself
the vehicle of thought. Beda halnya bahasa itu dengan simbol bendera yang
tetap membuat jarak antara simbol bendera dan pemilik simbol.
Ketika NKRI ”harga mati”, setiap simbol yang
beraroma kolonialisme tidak dibiarkan, tetapi perlu diturunkan. Demi NKRI,
dulu, Bung Tomo, pelaku peristiwa 10
November 1945, berani menurunkan simbol penjajah (bendera Belanda) dari
sebuah gedung di Surabaya. Keberanian
semacam itulah yang seharusnya memantik kepahlawanan pemuda kita. Kalau bukan
pemuda, siapa lagi yang diharapkan berani menurunkan derajat bahasa asing itu
dan menaikkan martabat bahasa sendiri? Ayolah…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar