Griya
Pijat
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan
Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
04 November
2017
Kalau mengacu pada Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata "griya" diartikan sangat sederhana, yakni
rumah atau kompleks perumahan. Namun, dalam tataran budaya tertentu di mana
kata itu digunakan, griya bukan sekadar rumah, melainkan rumah orang-orang
bermartabat. Masyarakat menyebutnya "rumah orang suci". Statusnya
di atas rumah biasa. Mungkin untuk mempertegas status lebih tinggi itu, di
Hotel Alexis, Jakarta Utara, ruang pijat ini dinamai Griya Pijat.
Pengelolanya seolah mau berkata: "Ini bukan tempat pijat biasa, beda
dengan panti pijat di ruko-ruko."
Pijat jenis apakah itu?
Pengelola Alexis mengundang media massa untuk meliput Griya Pijat sampai
rinci dan ditayangkan berulang-ulang di televisi. Kalau melihat tempat di
mana orang mau dipijat, ini sejenis pijat refleksi. Kursi yang bisa
direbahkan berjajar tanpa penyekat yang permanen. Pijat sejenis ini ada di
mana-mana, baik di ruko maupun di mal. Lalu di Alexis ada kolam-kolam kecil
yang terbuka untuk terapi para peminat. Ini pun ada di berbagai spa di
sejumlah kota, bahkan spa sudah masuk desa.
Sampai di sini saya jadi
bertanya, di manakah tempat bisnis prostitusinya? Apakah di tempat dan ruang
seperti itu nyaman-ealah-untuk melakukan itu? Di panti pijat di berbagai
tempat, apalagi yang ada embel-embel "pijat tradisional", lebih
mudah melakukan transaksi seks karena peminat pijat terbaring di tempat
tidur. Jenis pijatnya pun bukan refleksi, melainkan pijat urut, meskipun bisa
pula memilih terapis refleksi kalau tersedia. Sistem pijat urut, sarana
tempat tidur, penyekat yang lebih rapi, apalagi sebelumnya bisa memilih
sendiri pemijat yang dikehendaki, sangat memungkinkan prostitusi terjadi.
Kembali ke Alexis. Wow,
ternyata menurut tayangan televisi-saya belum pernah ke sana, jadi tak takut
kalau Anies Baswedan membuka pelanggan Alexis-di kawasan Griya Pijat itu ada
kamar khusus yang bisa disewa per jam. Kamar dengan tempat tidur mewah plus
kamar mandi yang tak disekat dengan ruang tidur. Ini tak bisa dibantah
sebagai kamar mesum. Saya menduga hanya keluarga yang kebingungan yang
menyewa kamar itu bersama anak-anaknya. Pastilah kamar ini disewa oleh orang
bingung bagaimana mencari hiburan di Jakarta yang kejam.
Jika begitu halnya, Alexis bisa
dioperasikan kembali setelah "musyawarah-mufakat" yang hasilnya
kamar mesum itu dimusnahkan. Soal pijat-memijat, cukup dipantau saja agar tak
ada penyimpangan, meski ini pekerjaan berat. Adapun citra buruk Alexis-yang
menyandang predikat bisnis prostitusi-bisa diganti nama lain. Boleh meniru
cara partai politik sempalan dalam memberi nama. Tapi, saya anjurkan jangan,
cara itu kurang sehat, lebih baik meniru cara televisi memberi nama. Kata
griya yang di Bali adalah rumah para pendeta, ganti menjadi wisma-tetap
statusnya lebih tinggi dari panti. Jadi usul saya namanya: Wisma Pijat Bukan
Alexis.
Bahwa Gubernur Anies Baswedan
tak akur dengan usul saya menyelesaikan "sengkarut" ini, biarkan
saja. Pasti beliaunya akan bingung sendiri. Kalau Alexis yang sudah tanpa
kamar mesum itu tetap ditutup, ada ratusan tempat sejenis di berbagai wilayah
Jakarta. Apa mau ditutup semua? Kalau tempat-tempat itu (sekali lagi tanpa
kamar mesum) disebut bisnis prostitusi, bagaimana dengan panti pijat-plus
pijat tradisional-di seantero Jakarta, bukankah itu lebih nyata diduga tempat
praktik bisnis prostitusi? Alexis dijadikan proyek "pembenahan
moral" sudah pasti langkah bagus. Jangan jadikan proyek "pencitraan
politik" yang rentan jadi olok-olok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar