Drama
di Saudi
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional
|
KORAN
SINDO, 08 November 2017
Apakah Arab Saudi tengah
mengalami transisi rezim pemerintahan ataukah sekadar melakukan konsolidasi
kekuasaan di seputar Raja Salman? Jawabannya masih harus ditunggu beberapa
bulan ke depan.
Penangkapan 11 pangeran, juga
beberapa menteri, menambah drama di Arab Saudi dalam beberapa tahun
belakangan ini. Saudi pun terlibat banyak aksi di luar negeri mulai dari
penggulingan rezim di Suriah, melakukan intervensi di Yaman, dan terakhir ini
memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar.
Keterlibatan Saudi di beberapa
politik dalam negeri negara di Timur Tengah bukan hal yang baru, namun
biasanya dilakukan dengan tertutup atau melalui proxy kepentingan negara
lain. Apakah Arab Saudi menuju ke sebuah negara monarki yang lebih terbuka
atau monarki yang demokratis? Masih banyak di dunia di mana kerajaan berperan
dalam politik dan dilestarikan perannya tersebut dalam sistem politik yang
liberal.
Contoh adalah Inggris atau
Spanyol. Di Asia, Thailand ada - lah salah satu negara di mana raja masih
memiliki otoritas yang memengaruhi kebijakan politik dan publik. Dengan kata
lain, ada banyak versi atau contoh yang dapat dijadikan rujukan bagi Arab
Saudi apabila mereka benar-benar ingin melakukan transisi tanpa meninggalkan
sistem monarkinya.
Saya melihat bahwa gejolak di
Arab Saudi tidak lepas dari pe nerbitan Undang-Undang Ke bijakan Energi pada
2005 yang ditandatangani oleh Presiden George Bush Jr. Undang-undang ini
adalah hasil perjuangan dari para pelobi yang berusaha selama empat tahun
lebih untuk me nembus masa administrasi Presiden Clinton, namun gagal.
Inti dari UU ini adalah meng
izinkan eksplorasi minyak serpih (shale) yang se - belumnya dilarang karena
dianggap akan merusak lingkungan hidup. Sejak UU itu disahkan, investasi dan
produksi minyak shale tidak terbendung.
AS adalah sa lah satu negara
dengan cadang an minyak ser pih terbesar di dunia dan UU itu mendorong
eksplorasi dan produksi yang lebih intensif, bahkan mencapai puncaknya ketika
minyak dunia mencapai titik terendahnya sebesar USD32 pada 2008.
Produktivitas minyak serpih
yang menyebabkan harga minyak dunia turun mengakibatkan pendapatan negara
yang bergantung 80-90% dari produksi minyak menjadi terganggu, termasuk Arab
Saudi. Arab Saudi mengalami defisit pada 2015 sebesar Rp1.372 triliun. Defisit
agak berkurang ketika harga minyak dunia merangkak sedikit naik pada tahun
selanjutnya.
Ada perbedaan konteks yang
menyebabkan defisit ekonomi kali ini berimplikasi pada gejolak politik di
Arab Saudi. Defisit secara umum bukanlah hal baru bagi negara tersebut. Arab
Saudi juga pernah mengalami defisit, terutama pada 1986 ketika konflik politik
di Timur Tengah sangat intensif dan menyebabkan harga minyak menyentuh USD10
per barel.
Defisit itu baru benar-benar
pulih pada 2000 ketika harga minyak sudah mulai tinggi lagi. Perbedaan utama
kali ini adalah faktor demografi penduduk. Ketika Arab Saudi mengalami
defisit mulai pada 1986 hingga2000, mayoritasstruktur demografi penduduk Arab
Saudi didominasi oleh anak-anak di bawah usia 15 tahun atau masih dalam masa
sekolah.
Krisis saat itu menye bab kan
harga barang menjadi tinggi karena masih sebagian besar diimpor. Jalan
keluarnya adalah dengan mulai mendiversifikasi perekonomian agar Arab Saudi
tidak hanya meng andalkan ekspor minyak mentah.
Diversifikasi ini sebetulnya
sudah dimulai sejak 1970-an, tetapi hanya sedikit memiliki pengaruh dalam
pendapatan ekonomi kerajaan. Perlu juga diketahui bahwa pada saat itu, 2/3
tenaga kerja di Arab Saudi adalah tenaga kerja asing.
Kapasitas penduduk Arab Saudi
masih belum dapat menutupi permintaan tenaga kerja, terutama dari industri
perminyakan dan teknologi tinggi, karena rendahnya pendidikan. Pemerintah
melalu proyekproyek infrastruktur hingga telekomunikasi mampu membuka
lapangan pekerjaan dan menerima sebanyak-banyaknya penduduk sebagai pegawai
negeri sesuai latar belakang pendidikannya.
Jalan keluar ini setidaknya
dapat berfungsi sebagai jaring pengamanan sosial dan mampu meredakan konflik
di dalam negeri. Strategi tersebut tidak dapat digunakan pada defisit kali
ini karena dari faktor demografi, penduduk Arab Saudi sekarang didominasi
oleh angkatan kerja usia produktif antara 15 hingga 35 tahun.
Mereka mendominasi angka
pengangguran yang saat ini mencapai 12%. Mereka membutuhkan pekerjaan, namun
pihak kerajaan tidak lagi dapat menyerap mereka sebagai pegawai negeri lagi
karena beberapa faktor perubahan ekonomi di dunia. Kondisi usia pekerja lebih
menyulitkan penerapan strategi yang sama seperti masa lalu.
Contoh yang paling kuat adalah
kecenderungan ekonomi masa depan di dunia yang ber usaha lepas dari
ketergantungan minyak fosil dan mulai fokus ke energi terbarukan.
Produktivitas minyak serpih yang lebih efisien, pertumbuhan ekonomi dunia
yang fokus pada padat modal dan teknologi sehingga mengurangi pengguna an
energi dalam jumlah besar dan bahwa secara umum perekonomian dunia masih
belum pulih.
Artinya, pihak kerajaan sudah
yakin tidak dapat lagi menjamin untuk menggaji pegawai dari APBN seperti
dulu. Pihak kerajaan membutuhkan investasi dari luar untuk menciptakan
pekerjaan-pekerjaan baru yang bersumber dari non-minyak bumi. Faktor-faktor
tersebut memaksa kerajaan untuk segera melakukan diversifikasi ekonomi yang
radikal agar dapat mengantisipasi perubahan tersebut.
Diversifikasi itu tertuang
dalam Visi 2030 yang dipimpin langsung oleh Putra Mahkota Pangeran Mohammed
bin Salman. Dalam visi tersebut dibayangkan skenario terburuk di mana pihak
kerajaan harus dapat mengantisipasi keadaan apabila harga minyak bumi
mencapai USD30 atau batas nilai produksi.
Untuk itu, pihak keraja an
berencana untuk meningkatkan pendapatan non - minyak sebanyak enam kali lipat
dari sekitar USD43,5 miliar per tahun menjadi USD267 miliar, dan juga
bertujuan meningkatkan ekspor nonmigas sebagai bagian dari PDB dari 16% saat
ini menjadi 50%.
Generasi muda berusia 30 tahun
yang saat ini mendominasi 70% dari populasi Arab Saudi menjadi kekhawatiran
utama kerajaan. Apabila pihak kerajaan tidak dapat mengelola generasi muda
yang sebagian besar secara diam-diam juga kritis terhadap pihak kerajaan,
Arab Saudi dikhawatirkan akan mengalami Arab Springs se perti yang terjadi di
negara-negara lain di Timur tengah.
Generasi muda di Arab Saudi
saat ini sulit untuk menikmati kesejahteraan seperti yang dialami orang tua
mereka. Pihak kerajaan perlu menemukan cara yang efektif untuk membuat kaum
muda di Arab Saudi mau bekerja.
Tahun lalu misalnya Jadwal
Investment men catat bahwa tiga bulan pertama kuartal 2016, jumlah pekerjaan
di Arab Saudi meningkat secara signifikan sebesar 892.000 orang dibandingkan
dengan kenaikan 417.000 di antara 2014 dan 2015. Sayangnya, 95% lari kepara
pekerja non-Saudi.
Hal ini yang mendorong pihak
kerajaan melakukan reformasi mulai dari penyataan akan menjadikan Arab Saudi
sebagai Islam yang moderat hingga penangkapan para pangeran dan pengusaha
yang dituduh korupsi. Tentu ada alasan politis di balik semua ke bijakan tersebut.
Contoh ada lah penangkapan
Pangeran Alwaleed bin Talal, konglomerat dan salah satu orang terkaya di
dunia, yang rupa nya terjadi karena ayahnya adalah salah satu dari tiga
petinggi yang tidak merestui Pangeran Mohammed bin Salman menjadi putra mahkota.
Konsolidasi ke kuasa an yang
dilakukan oleh Pangeran Mohammed bin Salman dengan menyingkirkan para tokoh
yang akan menghambat kekuasaannya juga salah satu bagian dari mewujudkan Visi
2030 tersebut.
Aksi penangkapan para pangeran
mungkin bukan drama terakhiryangakanterjadidiArab Saudi. Ambisi 2030 yang
paling utama adalah membuat pemerintahan kerajaan stabil agar dapat menjadi
daya tarik bagi para investor.
Kita masih belum dapat melihat
apakah kestabilan ini akan dibangun lewat reformasi sistem hukum dan politik
menjadi lebih terbuka dan partisipatif atau dengan tangan besi seperti yang
di lakukan Arab Saudi akhir-akhir ini terhadap para tetangganya di Qatar atau
Yaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar