Dilematika
Pajak dan Pertumbuhan
Ronny P Sasmita ; Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia
(EconAct)
|
KOMPAS,
15 November
2017
Hingga 30 September 2017,
penerimaan pajak baru mencapai Rp 770,7 triliun atau 60 persen dari target
pemerintah di APBN-P 2017. Angka tersebut tercatat turun 2,79 persen
dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Untuk Oktober, Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) memperkirakan penerimaan pajak tumbuh 25 persen. Jika ditotal dengan
realisasi penerimaan pajak per September 2017, realisasinya Rp 876,58 triliun
atau 68,29 persen dari target APBN-P 2017.
Jika ditelisik secara
detail, ada enam sektor usaha yang menjadi sumber utama pendapatan pajak yang
mencatatkan pertumbuhan baik dibandingkan dengan tahun lalu. Penerimaan pajak
sektor industri tumbuh 16,63 persen, perdagangan 18,74 persen, keuangan 9,08
persen, pertambangan 30,16 persen, komunikasi 4,62 persen, konstruksi 2,46
persen, dan sektor lainnya 10,70 persen.
Pertumbuhan penerimaan
pajak di enam sektor utama tersebut cukup menggembirakan. Sampai kini pajak
memang masih jadi sumber utama penerimaan negara. Namun, penerimaan pajak
yang selalu di bawah target APBN akan menimbulkan keprihatinan di tengah upaya
pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur.
Bagaimanapun, penerimaan
pajak yang rendah akan memengaruhi
kemampuan pendanaan infrastruktur dari APBN yang jumlahnya justru meningkat
dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, upaya DJP menggenjot target penerimaan
pajak boleh jadi sebenarnya sudah terlambat. Pasalnya, waktu dua bulan lagi
cukup berat bagi aparat pajak untuk menutup kekurangan penerimaan pajak
sebesar 31,71 persen.
Dengan kata lain, DJP
sudah kehilangan momentum untuk menggenjot penerimaan pajak. Selain karena
tingkat kepatuhan wajib pajak (WP) yang belum meningkat, rendahnya penerimaan
pajak juga dipengaruhi kondisi ekonomi Indonesia yang tumbuh stagnan.
Bagaimanapun, pelambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga berkontribusi
besar terhadap stagnasi pertumbuhan nasional. Karena itu, pemerintah juga
harus mendorong daya beli masyarakat dengan sejumlah insentif fiskal.
Sementara itu, stimulus
moneter dari bank sentral dinilai sudah cukup progresif. Bank Indonesia (BI)
mematok suku bunga acuan di posisi 4,25 persen. Lebih dari itu, banyak sektor
industri saat ini juga sangat membutuhkan insentif fiskal, terutama industri
padat karya. Pemerintah mesti mempertimbangkan penurunan tarif pajak kepada
sektor industri untuk mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal,
misalnya.
Karena pertumbuhan sektor
industri yang di bawah pertumbuhan PDB nasional perlu didorong agar mampu
menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi, sulit bagi DJP meningkatkan penerimaan pajak badan.
Mau tak mau, strategi yang perlu dikedepankan adalah mengejar pajak
perseorangan, misalnya para selebritas
yang pendapatannya besar. Lainnya seperti potensi pajak dari para selebritas
Instagram (selebgram). Mereka mendapat bayaran mahal dari setiap postingan di
akun Instagram.
Mesti
lebih arif dan bijak
Di sisi lain, masalah juga
muncul di kalangan pelaku usaha. Saat ini mereka waswas karena merasa
dikejar-kejar petugas pajak. Alasan petugas pajak sederhana, yakni setoran
pajak masih di bawah target pada sisa dua bulan ke depan. Penelusuran para
petugas pajak kepada pelaku usaha mulai dari hal-hal teknis hingga melihat
data perusahaan untuk mencari potensi pajak.
Saya kira, pemerintah
harus lebih arif dalam melihat semua persoalan yang dihadapi dunia usaha.
Jangan hanya karena ingin mengejar target pajak, wajib pajak yang sudah patuh
membayar pajak malah khawatir akan dicari-cari kesalahannya. Pemerintah
sebaiknya juga jangan mengeluarkan peraturan yang justru menjadi
kontraproduktif bagi dunia usaha.
Kita berharap pemerintah dapat
menyikapi persoalan yang dihadapi dunia usaha dengan bijak. Target penerimaan
pajak memang harus dikejar, tetapi mengejar-mengejar perolehan pajak dari
pelaku usaha yang sudah patuh juga patut dihindari karena akan melahirkan
iklim kurang produktif untuk perkembangan dunia usaha ke depan.
Secara umum, pemerintah
memang perlu melakukan upaya ekstra. Namun, masalah lainnya, untuk menggenjot
pajak melalui upaya ekstra, pemerintah
dihadapkan pada kelesuan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang
stagnan di angka 5 persen dalam tiga tahun terakhir seolah jadi bukti yang
valid bahwa usaha meningkatkan
penerimaan pajak terbentur kondisi makro. Lalu, jika pemerintah mengandalkan
penerimaan rutin secara alamiah, faktanya penerimaan pajak hanya tumbuh sekitar 10 persen. Bahkan, jika ditelaah
secara sektoral sekalipun,
kesimpulannya juga sama, sangat sulit.
Sebut saja, misalnya,
sumber penerimaan pajak terbesar dari
sektor manufaktur. Masalahnya sektor ini sedang melambat. Sekalipun mengalami
kenaikan kontribusi pada penerimaan negara, tapi sektor manufaktur hanya
tumbuh 3,54 persen pada kuartal II-2017, lebih lambat daripada kuartal
sebelumnya, 4,24 persen. Dengan kata lain, akan sangat sulit menggenjot
penerimaan lagi dari sektor ini.
Berangkat dari kenyataan
tersebut, jika memang harus bertahan dengan target penerimaan yang telah
ditetapkan, DJP dituntut lebih kreatif
dalam mencari sumber lain guna mengejar target penerimaan pajak. Sektor yang
tengah dibidik saat ini adalah perdagangan dan jasa modern, misalnya, khususnya bisnis elektronik atau
e-commerce. Konon aturan pajak e-commerce sudah disiapkan dan akan
dikeluarkan dalam waktu dekat. Namun,
pemerintah harus tetap hati-hati jangan sampai ekosistem ekonomi
digital kita justru rusak. Sebab, secara fundamental, sektor ekonomi digital
juga sama dengan sektor lain, justru sedang membutuhkan keberpihakan fiskal
agar bisa bertumbuh dan memapankan ekosistemnya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar