Demokrasi
dan Ruang Kritik
Geradi Yudhistira ; Pengajar Demokrasi di Asia Tenggara
Universitas Islam
Indonesia
|
KOMPAS,
09 November
2017
Penangkapan Dyann Kemala
Arrizqi oleh polisi atas laporan unggahan meme yang mengkritik dengan jenaka
terkait sakitnya Setya Novanto membuat prihatin. Kejadian ini membuktikan
bahwa kebebasan dan demokrasi yang didengungkan sejak 1998 tidaklah sekeras
apa yang diimajinasikanbangsa ini.
Bahkan, hal ini malah
menunjukkan kemunduran dalam kebebasan berpendapat, terutama dalam kebebasan
berekspresi dalam komedi. Apakah ini merupakan pertanda bahwa bangsa ini
belum siap pada demokrasi atau memang efek samping dari demokrasi itu
sendiri?
Komedi satire merupakan cara
yang jenaka dalam membicarakan sesuatu yang serius. Komedi satire
merefleksikan keresahan masyarakat dalam bentuk yang jenaka, baik itu komik,
lakon komedi panggung, musik, bahkan dalam varian komedi yang baru di dunia
maya: meme.
Sebagai sebuah komedi yang
berisi hal yang serius, satire bukanlah tanpa tujuan. Tujuannya adalah untuk
memprotes sebuah kondisi yang jauh dari idealita tanpa harus melakukan sebuah
protes atau unjuk rasa. Dengan begitu, masyarakat yang terpapar media-media tersebut
menjadi paham akan situasi yang terjadi.
Paradoks demokrasi
Komedi satire sudah ada sejak
era otoriter Orde Baru. Warkop DKI adalah salah satu kelompok komedian satire
yang populer melalui Radio Prambors di era 1973-1980an, pada era Orde Baru
sedang berada dalam posisi yang sangat kuat. Pemerintahan Orde Baru
mengirimkan panduan bahwa komedi satire tidak boleh mengkritik jalannya
pemerintahan dan personal presiden. Hal ini membuat para komedian satire
perlu berpikir mengenai cara penyampaian materi yang lebih efektif agar bisa
sampai kepada masyarakat.
Banyak komedian atau seniman
yang tersandung masalah hukum karena isi dari produk seni yang mereka buat.
Penyensoran adalah bentuk paling lembut ketika seorang seniman berurusan
dengan pemerintahan Orde Baru. Sementara pencekalan adalah hal yang umum
dialami dan penjara adalah tempat yang realistis jika seorang seniman nekat
mengkritik pemerintah.
Sekali lagi, kasus hukum yang
menjerat Dyann membawa kita berpikir kembali mengenai makna demokrasi. Demokrasi
seharusnya memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk berpendapat kritis
mengenai kondisi sosial politik yang ada di sekelilingnya. Ruang yang
terbentuk dalam demokrasi memungkinkan pertemuan ide-ide untuk bertarung
dalam pencarian sebuah sintesis terbaik untuk masyarakat, dalam hal ini
komedi merupakan salah satu media pertarungan ide.
Namun, kebebasan itu seakan
tidak terasa walau sudah lebih dari 10 tahun angin kebebasan berembus di
negeri ini. Beberapa komedian, selain Dyann, mengalami beberapa aduan terkait
konten yang mereka buat. Komedian tunggal Ernest Prakasa pernah membuat tweet
jenaka terkait satu partai politik, kemudian mendapat kecaman dari simpatisan
parpol tersebut.
Apakah ini artinya demokrasi
Indonesia berjalan mundur? Saya melihat bahwa kasus di atas menunjukkan
adanya paradoks dalam fenomena demokrasi.
Demokrasi memungkinkan adanya
penyebaran kekuatan dari pemerintah kepada masyarakat sipil. Jika pada era
Orde Baru kekuatan itu terpusat pada pemerintah, proses demokratisasi menyebabkan
penyebaran kekuatan yang lebih merata pada kelompok-kelompok masyarakat,
bahkan perorangan.
Kasus yang melibatkan Dyann dan
Ernest tidak menunjukkan monopoli kekuatan oleh negara, tetapi menunjukkan
kekuatan baru di tangan masyarakat sipil untuk mengontrol masyarakat lain.
Akibatnya, pembatasan terjadi tidak lagi banyak dari pemerintah kepada
seniman dalam bentuk sensor dan tindakan hukum, melainkan dari masyarakat
kepada masyarakat lain dalam bentuk kecaman, somasi, bahkan pelaporan.
Hal ini diperburuk dengan
realitas demokrasi yang cenderung menggunakan identitas dalam pertempuran
politik antarpartai atau antarkandidat. Mengkritik secara jenaka suatu pihak
diartikan sebagai penyerangan serius terhadap identitas oleh identitas.
Polarisasi masyarakat yang semakin kuat akibat politik mempertaruhkan
kebebasan berekspresi.
Hal ini justru semakin menambah
parah karena tidak saja mengancam kebebasan berekspresi yang membawa materi
hubungan horizontal dengan masyarakat, tetapi juga secara vertikal dengan
pemerintah. Dalam level yang lebih jauh, kondisi ini akan memengaruhi
kebebasan berekspresi para komedian satire.
Membentuk ruang ekspresi
Kedua hal ini bukanlah kondisi
ideal. Saya menekankan sebuah evaluasi dalam dua arah jika ingin membuat
iklim kebebasan komedi bisa dicapai.
Pertama, dalam jangka panjang,
kedewasaan masyarakat sangat diperlukan untuk menerima komedi satire sebagai
realitas dalam demokrasi. Pendidikan politik masyarakat yang komprehensif
menjadi kunci dan bukan pada pendidikan politik yang partisan belaka.
Masyarakat harus terbiasa bahwa ruang kritik itu biasa dalam iklim demokrasi
sehingga tidak perlu berperilaku disruptif terhadap kritikan-kritikan dalam
sebuah komedi satire. Tentu saja jika kita refleksi pada situasi sekarang ini,
perubahan ini merupakan perubahan yang sifatnya jangka panjang.
Kedua, dalam kondisi seperti
ini, hal tersebut tidak berarti bahwa ruang kritik komedi satire telah
hilang. Dalam hal ini selalu ada cara bagi para komedian untuk membuka ruang
ekspresinya sendiri tanpa mengabaikan sensitivitas sosial.
Jika berkaca pada eksistensi
lawakan satire grup Warkop DKI di era Orde Baru, eksistensi tersebut
seyogianya dapat dicontoh bagi para komedian di masa sekarang. Warkop DKI
menunjukkan bahwa lawak kritis mampu bertahan dalam segala kondisi yang
sangat mengancam sekalipun jika dibungkus dengan konteks yang tepat dan cara
penyampaian yang cerdas. Sebab, satire merupakan sebuah komedi cerdas, baik
dalam materi maupun penyampaian.
Saya mengkritik beberapa
komedian justru mengambil materi yang kritis justru terhadap lawan-lawan
politiknya, bukan dalam kerangka konteks yang lebih luas terhadap kondisi
bangsa tanpa memandang aspirasi pilihan politik yang dibawanya.
Komedian harus menjadi
reflektor obyektif kondisi masyarakat dan suara masyarakat. Dengan begitu,
eksistensi komedian perlu dipertahankan baik oleh masyarakat maupun oleh
komedian itu sendiri sebagai sarana penyadaran masyarakat.
Saya pribadi memandang bahwa
masyarakat yang tidak mampu menertawakan dirinya sendiri akan mengalami
disfungsi kepekaan, yang pada jangka panjang akan menarik ketegangan konflik
masyarakat.
Bangsa ini harus terbiasa
menertawakan dirinya sendiri karena sejatinya tertawa tersebut merupakan
sinyal kita berpikir bahwa kita memiliki masalah yang patut ditertawakan
bersama-sama. Dan, hal tersebut bukan hanya pekerjaan rumah bagi pemerintah,
melainkan juga bagi para komedian dan masyarakat. Seperti sebuah pernyataan
dari penulis satire Perancis: “Hidup adalah komedi bagi yang berpikir dan
tragedi bagi para perasa”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar