Budaya
Inovatif, Inovasi Budaya
Budi Santosa ; Profesor di Departemen Teknik Industri
dan Anggota Senat
Akademik ITS
|
KOMPAS,
13 November
2017
Dikisahkan dalam sejarah bahwa
ketika Gunung Tambora di Sumbawa meletus pada April 1815, abunya menyebar
hingga langit Eropa. Bulan-bulan berikutnya, yang mestinya musim panas di
Eropa, berubah menjadi musim dingin berkepanjangan.
Karena aerosol sulfat yang
disemburkan oleh letusan Tambora tertahan di atmosfer dan menghalangi sinar
matahari menembus hingga ke permukaan bumi, orang Eropa tidak tahu apa yang
terjadi dengan perubahan iklim tersebut. Banyak kuda mati karena tidak
tersedia rumput sebagai makanan utama. Rumput tidak bisa hidup gara-gara
minimnya sinar matahari. Padahal, kuda menjadi andalan untuk menarik kereta
sebagai sarana transportasi utama di Eropa saat itu.
Dari bencana ke inovasi
Peristiwa meletusnya Tambora
menjadi pemicu awal penemuan sepeda. Seorang Jerman bernama Baron Karl von
Drais mempunyai ide membuat sepeda sebagai ganti kereta kuda. Akhirnya
terealisasi sepeda yang mampu memudahkan pergerakan manusia setelah beberapa
kali modifikasi. Sungguh luar biasa bahwa bencana letusan gunung di sebuah
pulau di Nusantara menjadi pemicu temuan teknologi jauh di daratan Eropa
sana. Sementara di Nusantara sendiri waktu itu tidak ada temuan teknologi
yang mengikutinya selain musnahnya beberapa suku di sekitar Sumbawa dan
Lombok.
Tentu bisa dimengerti mengapa
orang Eropa punya budaya inovatif. Mereka merespons akibat bencana dengan
usaha inovatif menciptakan produk teknologi baru untuk memudahkan hidup
mereka. Tanpa itu, mereka akan menghadapi kesulitan. Di sini, di bumi
Nusantara, semua serba mudah, tidak ada kuda mati karena rumput tetap hidup.
Matahari tersedia sepanjang tahun. Kuda dan kereta kuda tetap bisa
beroperasi. Kekayaan alam dan iklim yang menguntungkan telah membuat kita
hidup nyaman, tidak ada tantangan.
Pada tahun-tahun berikutnya,
orang Eropa membuat temuan baru berupa telegram. Karena itu, ketika Gunung
Krakatau meletus dengan dahsyat pada 1883, kabar Gunung Krakatau yang meletus
itu bisa langsung diketahui di Belanda berkat telegram yang dikirim dari
Batavia. Orang-orang Eropa rajin meneliti dan membuat temuan inovatif di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka, lahirlah karya-karya besar
berupa algoritma dan produk teknologi. Newton keluar dengan teori gravitasi
dan hukum mekanika, Leibniz menemukan teori kalkulus, dan banyak lagi temuan
di bidang kesehatan dan teknologi, seperti vaksin dan mesin uap.
Sementara di sini pujangga kita
sibuk menciptakan karya inovasi berupa tembang mocopat, gurindam, dan karya
sastra lain yang lebih kental aroma seninya daripada ilmu pengetahuan atau
teknologi. Mungkin bakat kita memang lebih ke seni. Maka tak mengherankan
jika pada 1992, M Dorigo, seorang
mahasiswa PhD dari Italia, dapat inspirasi temuannya di bidang komputasi
berupa algoritma ant colony optimization setelah mengamati perilaku semut.
Sementara grup rock legendaris Godbless terinspirasi semut untuk membuat lagu
”Semut Hitam” empat tahun sebelumnya. Binatang yang sama, yang satu menghasilkan algoritma untuk menyelesaikan
masalah optimasi kombinatorial, yang satu menghasilkan tembang rock.
Budaya melakukan inovasi atau
sebutlah budaya inovatif sebenarnya melekat pada diri bangsa ini. Kita punya
budaya bagus dalam hal pengobatan. Banyak jamu warisan nenek moyang berasal
dari tanaman atau hewan. Kita punya keahlian memijat urat keseleo atau
mengobati tulang retak atau patah dengan operasi khas kita. Kita punya teknik
menolak hujan dengan kekuatan pawang. Kita juga punya ahli ketok magic yang
bisa membetulkan mobil penyok dengan cepat dan hasil memuaskan.
Sayangnya, temuan inovatif itu
jarang ditulis dan ditularkan secara massal melalui institusi pendidikan.
Teknik-teknik dan warisan nenek moyang itu sering tersebar hanya melalui
budaya tutur dan kadang terkesan mistis tanpa ada penjelasan yang ilmiah dan
bisa diterima akal sehat. Dengan demikian, hasil karya hebat itu berkembang
turun-temurun dalam jumlah yang sangat minim dan tidak terbuka.
Ketika Presiden Joko Widodo
mengungkapkan kegelisahannya akan budaya inovasi yang belum berkembang
beberapa waktu lalu di Surabaya, itu sejatinya cerita lama. Namun, kita
bersyukur punya pemimpin yang perhatian terhadap inovasi. Pada era ini,
inovasi jadi kunci kemajuan suatu bangsa. Lupakan dulu sumber daya alam
berlimpah dan tanah subur.
Penghambat inovasi
Ada beberapa penyebab mengapa
temuan inovatif dan budaya inovatif kurang berkembang di negara kita.
Pertama, industri kita umumnya
adalah industri yang lebih banyak menjual dan merakit, bukan membuat produk.
Dalam industri yang menjual dan merakit, inovasi tidak jadi kebutuhan utama.
Karena itu, kegiatan riset dan pengembangan sebagai instrumennya juga tak
dibutuhkan. Industri jenis ini tidak peduli temuan-temuan di perguruan tinggi
dan lembaga riset yang bisa dikembangkan menjadi produk jadi. Lebih baik bagi
mereka membuka impor dan menjualnya secara besar-besaran.
Di sisi lain akan sulit
bagi para peneliti untuk merangkap
menjadi produsen guna melanjutkan temuannya menjadi produk komersial. Perlu
kalangan yang lebih fokus pada bisnis untuk menindaklanjuti temuan para
peneliti. Jika industri kita masih didominasi jenis ini, link and match
antara industri dan perguruan tinggi dan lembaga penelitian tidak akan jalan.
Temuan-temuan akan berakhir di perpustakaan dan publikasi saja.
Pada industri yang telah
memproduksi, pemerintah harus memberikan insentif agar mereka tertarik bekerja
sama dengan perguruan tinggi untuk melakukan riset dan membuat produk hasil
temuannya. Kalau insentif tidak cukup membuat perubahan, pemerintah perlu
membuat regulasi yang memaksa mereka untuk berkontribusi pada penelitian di
perguruan tinggi. Tanpa itu, industri tidak akan terlalu peduli dengan
penelitian di perguruan tinggi. Mereka merasa sudah mendapatkan profit besar
tanpa perlu memberi kontribusi pada pendidikan tinggi.
Kedua, kendala pemasaran
(marketing barrier). Peneliti atau investor di negara maju mungkin tidak
khawatir, apakah temuannya bisa dipasarkan. Di negara besar jika ada temuan
baru dan susah memasarkan mereka bisa ”menumpang” di organisasi dunia,
seperti PBB. Misalkan temuan di bidang kesehatan, mereka bisa memanfaatkan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk jualan. Temuan di bidang pertanian,
bisa ”menumpang” Organisasi Pangan Dunia (FAO) untuk jualan, dan masih
beberapa lagi trik serupa. Namun, di negara kita, orang masih berhitung jika
misalkan akan mengembangkan produk baru, pasti terpikirkan bagaimana
memasarkannya. Negara berkembang memang kurang beruntung jika ingin menembus
pasar asing. Kesulitan pemasaran ini kadang membuat kita takut mengembangkan
produk baru.
Ketiga, sikap kita sendiri yang
sering menganggap remeh (underestimate) terhadap karya anak bangsa. Sikap
import minded harus diakui masih belum hilang. Kebanggaan akan produk karya
sendiri masih rendah. Jika ada karya anak bangsa yang belum sempurna malah
sering dicari kelemahannya daripada didukung. Contoh mobil Esemka yang tidak
lolos uji emisi. Jika itu benar, mestinya harus diberikan fasilitas dan bukan
dihambat. Begitu juga kisah mobil listrik yang pernah dikendarai Dahlan
Iskan. Penghambatan biasa dilakukan di level regulasi dan tindakan hukum.
Masih ada beberapa orang Indonesia yang bekerja justru bukan untuk kemakmuran
bangsanya, melainkan menjadi agen produk asing. Mereka berpikir untung-rugi
saja untuk diri dan kelompoknya. Orang-orang seperti ini bisa ada di parlemen
atau di eksekutif. Mereka mencegah sebisa mungkin sektor-sektor yang
berpotensi dimasuki oleh produk-produk domestik. Dengan begitu, sering
inovasi terhambat oleh sikap-sikap seperti ini.
Keempat, faktor regulasi.
Regulasi kita memang berjalan lambat dan kadang tidak sesuai dengan
perkembangan zaman. Presiden Jokowi mengungkapkan ada 42.000 regulasi, mulai
dari undang-undang hingga peraturan wali kota. Terlalu banyaknya aturan ini
ikut menghambat lahirnya temuan baru
yang inovatif. Ketika sudah banyak hal berubah di masyarakat akibat kemajuan
teknologi, respons regulasi kita lambat. Kalaupun kemudian keluar regulasi,
sering isinya tidak kondusif bagi iklim temuan inovatif. Ini paralel dengan
lambatnya birokrasi kita.
Serangkaian faktor di atas
merupakan faktor penyebab mengapa temuan inovatif kurang berkembang di sini.
Budaya kita cenderung juga kurang mendukung karya inovasi kecuali pada
karya-karya seni atau kuliner. Kalaupun ada yang di luar seni, tidak bersifat
ilmiah yang bisa disebarkan secara massal dan terbuka. Kalau kita akan
berkompetisi di dalam inovasi kita harus memilih di sektor mana. Jika kita
ingin berinovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kita butuh usaha
lebih keras. Sebab, negara-negara lain juga sedang giat mengembangkan inovasi
di berbagai produk teknologi. Mereka sadar bahwa inovasi merupakan kunci dari
perkembangan suatu bangsa. Jika ingin memenangi persaingan, inovasilah
kuncinya. Kekayaan sumber daya alam dan kesuburan tanah tidak banyak membantu
jika tidak dibarengi dengan karya-karya inovatif.
Fokus dan inovasi budaya
Kita bisa fokus mengembangkan
karya inovasi di bidang-bidang di mana kita unggul. Bidang itu antara lain
seni, kuliner, dan obat herbal. Misalnya menggalakkan pariwisata berbasis
seni budaya. Kekayaan seni budaya kita mendukung untuk itu. Pengembangan obat
herbal, tanaman organik, serta industri kuliner juga merupakan kekayaan kita
yang lain. Dalam bidang ini kalau kita bisa membuat inovasi, potensi pasar
dalam negeri sudah cukup besar untuk menggerakkan ekonomi. Tinggal bagaimana
dukungan regulasi.
Kita juga harus berinovasi di
dalam budaya. Inovasi di dalam budaya diharapkan menghasilkan cara kerja dan
sikap baru yang lebih bermanfaat. Budaya di sini tidak melulu soal seni,
warisan peninggalan, bangunan kuno, pakaian adat atau kuliner. Tetapi lebih
luas adalah budaya di pemerintahan, hukum dan politik. Budaya melayani dan
membuat yang sulit jadi mudah haruslah dikembangkan. Budaya ”kalau bisa
dipersulit kenapa dipermudah” harus ditinggalkan. Di sisi pemerintahan, kita
perlu menciptakan inovasi dalam birokrasi dan perizinan serta hukum. Misal
penggunaan e-budgeting, e-procurement dan e-government adalah contoh inovasi
yang mampu mempercepat proses sekaligus menghilangkan peluang kebocoran dan
korupsi.
Sistem layanan yang lain perlu
dibuat sistem daring sehingga memangkas waktu layanan dan mempermudah
masyarakat mendapatkan layanan. Inovasi di bidang politik antara lain bisa
diwujudkan dalam cara-cara berkampanye yang inovatif, tidak mengumbar janji
yang tidak masuk akal. Inovasi yang lain, misalnya perekrutan anggota partai
politik dan calon anggota parlemen, dan inovasi penggalangan dana partai.
Inovasi di bidang pemerintahan dan politik akan punya pengaruh besar dalam
melahirkan karya-karya inovasi bidang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar