Legalitas
OTT KPK
Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
|
KORAN
SINDO, 04 Oktober 2017
ARTIKEL saya di surat kabar KOMPAS, 29 September 2017,
dengan judul ”Memaknai Tertangkap Tangan ” ditanggapi oleh Prof Romli
Atmasasmita di KORAN SINDO, Selasa 3 Oktober 2017, dengan judul ”OTT KPK ”.
Dalam memberikan nuansa akademis kepada para pembaca, kiranya saya perlu
menanggapi artikel Prof Romli di harian ini sehingga perdebatan tersebut
menjadi seimbang. Kalaupun terdapat perbedaan pendapat, maka hal itu adalah
sunnatullah dalam memperkaya wacana
pembaca di dunia akademik. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Prof
Romli, ada beberapa hal yang perlu saya tanggapi.
Pertama, perlu ditegaskan tidak ada perbedaan hakiki
antara tertangkap tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP
dan operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Kedua, berbicara dalam konteks
KUHAP, haruslah dipahami bahwa ibarat kata jauh panggang dari api, maka KUHAP
kita yang disahkan dengan Undang-undang Nomor 8/1981 lebih bernuansa crime
control model dan bukan due process
model seperti yang dikatakan oleh Prof
Romli. Dalam The Limits Of Criminal Sanction, Packer menyatakan bahwa
ciriciri dari crime control model
adalah mengutamakan kecepatan dalam beracara, mengutamakan kuantitas,
dan menggunakan asas praduga bersalah.
Di sini peran tersangka atau terdakwa sangat sentral
karena harus berusaha semaksimal mungkin melepaskan diri dari jeratan
hukum. Sementara ciri-ciri dari due
process model adalah menolak
kecepatan, mengutamakan kualitas dan menggunakan asas praduga tidak bersalah.
Di sini peran penasihat hukum menjadi penting dalam perlindungan terhadap
individu sehingga tidak diberlakukan sewenang-wenang oleh aparat penegak
hukum.
Bandingkan kedua model tersebut dengan KUHAP kita: 1) Jika
seseorang ditahan, maka KUHAP memberikan batasan waktu untuk penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan sidang. Hal ini menandakan mengutamakan kecepatan dalam
beracara. 2) Hakhak tersangka tidak diatur secara rinci sebagai suatu bentuk
perlindungan hak asasi manusia. 3) Penangkapan dilakukan terhadap seseorang
yang diduga keras telah melakukan suatu tindak pidana berdasarkan bukti
permulaan yang cukup (lihat Pasal 17 KUHAP).
Artinya, harus ada praduga bersalah dari sudut pandang
aparat penegak hukum. Sedangkan asas praduga tidak bersalah hanya diatur di
bagian penjelasan umum angka 3 huruf c. Dapatlah dipahami bahwa KUHAP disusun
pada saat rezim Orde Baru yang sedang berkuasa sehingga sulit dikatakan bahwa
politik hukum pidana saat itu ingin menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal
ini kemudian menjadi salah satu pertimbangan disusunnya rancangan KUHAP baru
yang sekarang telah berada di DPR.
Ketiga, dalam teori hukum pidana dikenal 12 pembagian
jenis delik. Salah satu pembagian jenis delik adalah delik persiapan, delik
percobaan, delik selesai, dan delik berlanjut. Dalam konteks tertangkap
tangan bila dihubungkan dengan pembagian delik tersebut, maka sudah pasti
orang yang tertangkap tangan berada dalam kondisi delik selesai (vooltoide delic) atau delik percobaan
(poging delic). Delik percobaan ini
pun masih dibagi menjadi geshorste
poging (percobaan terhenti) dan vooltoide poging (percobaan selesai).
Sebagai ilustrasi A yang sakit hati dan ingin membunuh B
hendak menusuk B dengan sebilah pisau, pada saat yang sama B menendang tangan
A sehingga pisau terjatuh. Di sini terjadi apa yang disebut sebagai geshorste
poging. Bandingkan dengan contoh lain: A yang sakit hati dengan B dan ingin
membunuhnya sudah menghujam B dengan beberapa tusukan di perut. B kemudian
dilarikan di rumah sakit dan nyawanya masih tertolong.
Di sini terjadi vooltoide poging karena akibat mati yang disyaratkan oleh
pasal pembunuhan tidak terpenuhi. Harap diingat bahwa pembunuhan adalah delik
materiil yang menitikberatkan pada akibat sehingga dalam konteks percobaan
ada dua kemungkinan, apakah geshorste poging
ataukah vooltoide poging.
Berbeda dengan kejahatan korupsi yang selalu dirumuskan
dalam bentuk delik formil yang menitikberatkan pada perbuatan, maka seorang
yang tertangkap tangan hanya ada dua kemungkinan. Sedang melakukan delik dan
delik itu telah selesai (vooltoide
delic) karena rumusannya dalam bentuk delik formil atau melakukan
percobaan terhenti (geshorste poging).
Dalam konteks OTT, jika KPK melakukan OTT dan uang suap
atau objek suap sudah berada di tangan tersangka, maka yang terjadi adalah
delik selesai. Jika uang suap atau objek suap belum berada di tangan tersangka, maka yang
terjadi adalah percobaan terhenti. Dengan demikian artikel saya di
Kompas yang menghubungkan antara OTT
KPK dan delik percobaan bukanlah suatu bentuk analogi sebagaimana yang
dikatakan Prof Romli dalam artikelnya di harian ini. Tegasnya, Prof Romli
keliru memahami artikel Saya. Lebih celaka lagi, Prof Romli dalam tulisannya
menyatakan saya melakukan analogi antara tertangkap tangan dan percobaan.
Padahal yang saya tuliskan adalah menghubungkan keadaan orang tertangkap
tangan dengan delik percobaan.
Keempat, pernyataan Prof Romli bahwa hukum pidana di
Indonesia mengharamkan analogi dengan merujuk Pasal 1 ayat (1) KUHP. Perlu
dijelaskan bahwa Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah tentang asas legalitas dan
salah satu makna yang terkandung dalam asas legalitas adalah dilarangnya
analogi. Akan tetapi, tidak ada satu pasal pun dalam KUHP melarang atau
mengharamkan analogi. Kendati demikian, dalam perdebatan di antara para ahli
hukum pidana Belanda terkemuka yang diadopsi oleh para ahli hukum pidana
Indonesia masih terdapat perbedaan pendapat perihal analogi.
Pompe, Jonkers, Suringa, dan Vos tidak melarang dilakukan
analogi. Bahkan, Pompe dan Jonkers dalam handbooknya secara tegas menyatakan
bahwa dalam Memorie van Toelichting, penemuan hukum melalui analogi tidak
memerkosa Pasal 1 ayat (1) KUHP (lihat lebih lanjut: Pompe, 1959 halaman
50-52; Jonkers, 1946, halaman 42-43, Vos, 1950, halaman 46 dan Suringa, 1953
halaman 278).
Dalam perkembangan teori, analogi kemudian dibagi menjadi
gesetze analogi dan rechtsanalogi.
Gesetze analogi berarti analogi untuk
menjelaskan undang-undang dan analogi ini
dibolehkan dalam hukum pidana, sedangkan rechtsanalogi adalah analogi hukum yang tidak dibolehkan
dalam hukum pidana. Dengan demikian pernyataan Prof Romli bahwa Pasal 1 ayat
(1) KUHP mengharamkan analogi adalah keliru.
Kelima, pernyataan Prof Romli yang mengatakan OTT KPK
adalah penjebakan dan tanpa kewenangan karena dilakukan pada saat
penyelidikan. Perlu dipahami bahwa Pasal 12 Undang-Undang KPK secara
eksplisit menyatakan, ”Dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang a) melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan....” Ketentuan tersebut secara expressive
verbis membolehkan KPK menyadap dan
merekam pembicaraan dalam penyelidikan. Artinya, penyadapan boleh untuk
menentukan ada tidaknya tindak pidana sebagaimana definisi penyelidikan.
Dengan demikian OTT yang dilakukan KPK adalah
mengonkretkan bukti yang telah diperoleh dari hasil penyadapan. Tegasnya, OTT
KPK adalah legal dan bukan penjebakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
menjebak artinya memikat musuh dan
sebagainya supaya masuk dalam perangkap atau jebakan. Pertanyaan lebih lanjut
dalam OTT KPK adakah tindakan KPK yang memikat calon tersangka korupsi dan
sebagainya untuk masuk dalam jebakan KPK?
Ataukah KPK sengaja merekayasa suatu keadaan yang
mengakibatkan calon tersangka korupsi masuk dalam perangkap tersebut? Apa
yang dilakukan KPK adalah mengikuti aliran percakapan berdasarkan hasil
sadapan dan pada saat calon tersangka sedang beraksi, KPK kemudian melakukan
penangkapan. Jadi tidak ada sama sekali rekayasa atau tindakan KPK yang
memikat suatu calon tersangka korupsi masuk ke dalam jebakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar