Kamis, 05 Oktober 2017

Kontroversi Tragedi G 30 S/PKI

Kontroversi Tragedi G 30 S/PKI
Tjipta Lesmana  ;   Anggota Komisi Konstitusi MPR 2004
                                                  JAWA POS, 30 September 2017



                                                           
Setiap mengenang Gerakan 30 September (G 30 S/PKI) tidak terhindarkan pro dan kontra. Soal film Tragedi G 30 S/PKI, misalnya, banyak yang mengkritik.  Film tersebut dituding film propaganda Orde Baru, sarat versi TNI. Mengenai inisiatif Panglima TNI untuk menggelar nonton bareng film tersebut di kalangan prajurit TNI juga mendapatkan serangan dari berbagai pihak. Untuk apa peristiwa 52 tahun lalu itu didengungkan kembali? Apa ada ancaman baru terhadap komunis di negara kita?

Terakhir, ide Presiden Jokowi membuat versi baru film G 30 S/PKI juga mendapat kecaman, di samping persetujuan.

Mengapa bangsa Indonesia tidak bisa mempunyai satu pandangan/sikap terhadap G 30 S/PKI? Istilah ’’pemberontakan’’ atau ’’kudeta’’ yang dipakai dalam artikel ini pasti juga mengundang pro dan kontra. Aneh kan?

Kisah tentang tragedi G 30 S/PKI secara garis besar terbagi dua versi yang sampai kapan pun tidak bisa dikompromikan/direkonsiliasi: antara versi pemerintah (Orde Baru) dan versi anti-Soeharto. Masalah pokok yang membelah tajam kedua kubu itu terletak pada, pertama, apa sesungguhnya G 30 S? Kedua, siapa dalang G 30 S? Ketiga, apa sesungguhnya yang terjadi pada 30 September–1 Oktober 1965? Keempat, apa tujuan G 30 S? Kelima, bagaimana sesungguhnya posisi Presiden Soekarno? Dan, keenam, apa yang terjadi pasca G 30 S?

Apa Itu G 30 S?

Gerakan 30 September jelas tindakan kudeta atau pengambilalihan kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno yang dilancarkan PKI –begitu pendapat kukuh (unchallenge stand) pemerintah Orde Baru. Sebaliknya, ’’versi seberang’’ mengatakan bahwa apa yang terjadi pada 30 September dan 1 Oktober 1965 adalah kudeta menggulingkan kekuasaan Soekarno yang dilancarkan Mayjen Soeharto. Soeharto-lah otak G 30 S.

Dalam Dekret I tanggal 1 Oktober 1965 yang dikeluarkan Dewan Revolusi pimpinan Letkol Untung dan diumumkan oleh RRI ke seluruh pelosok Indonesia, memang sama sekali tidak ada kata ’’PKI’’. Dekret itu mengatakan, ’’Gerakan 30 September adalah gerakan semata-mata dalam tubuh Angkatan Darat (AD) untuk mengakhiri perbuatan sewenang-wenang jenderal-jenderal anggota Dewan Jenderal serta perwira-perwira lain yang menjadi kaki tangan dan simpatisan anggota Dewan Jenderal. Gerakan tersebut dibantu oleh pasukan-pasukan bersenjata di luar AD.’’

Jadi, menurut Untung cs, dalam tubuh AD ada ’’Dewan Jenderal’’ yang secara sembunyi-sembunyi berkomplot menggulingkan Soekarno. Nah, sebelum Dewan Jenderal melancarkan kudeta, Dewan Revolusi mendahului pengambilalihan kekuasaan dari Soekarno.

Dalang G 30 S

Dalang G 30 S dalam Dekret I disebutkan secara eksplisit, yaitu Dewan Revolusi. Tujuannya, menggagalkan rencana kudeta oleh jenderal-jenderal AD yang bergabung dalam Dewan Jenderal. G 30 S dipimpin (dikomando) oleh Untung sebagai komandan, Brigjen Supardjo, Letkol Udara Heru, Kolonel Laut Sunardi, dan AKP Anwas masing-masing sebagai wakil komandan. Fakta itu secara eksplisit ditulis dalam dekret Dewan Revolusi yang diumumkan RRI secara nasional pada 1 Oktober 1965 pagi sekitar pukul 10.00. Saat itu saya yang berusia 15 tahun mendengarkan langsung pengumuman tersebut dan kaget ’’setengah mati’’ ketika mendengarkan bunyi pengumuman itu.

Bagaimana Soeharto bisa menuding PKI sebagai dalang G 30 S?
Predikat G 30 S secara resmi dipakai dan terus-menerus disosialisasikan oleh Soeharto sejak digelarnya persidangan Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) Brigjen Soepardjo yang dituding oleh pihak militer sebagai satu di antara dua tokoh utama pemberontakan G 30 S.

Dalam sidang IX Mahmilub atas Soepardjo, tampil saksi kunci bernama Sudjono Pradigdo alias Sastroprawiro, penghubung Soepardjo dengan Biro Khusus CCPKI. Sudjono-lah yang secara tegas mengatakan –di hadapan majelis hakim– bahwa G 30 S dicetuskan oleh PKI. Dasarnya adalah pengakuan Sjam, seorang tokoh kunci PKI, sebelum pecah G 30 S. Menurut Sjam kepada Sudjono, akan ada gerakan dari perwira-perwira yang berpikiran maju untuk melawan AD. Sudjono dalam persidangan Mahmilub juga mengutip pernyataan D.N. Aidit kepada Djawadi bahwa ’’Daripada didahului [oleh AD], lebih baik mendahului [pengambilalihan kekuasaan]’’.

Dalam pidatonya pada pembukaan Sidang Istimewa (SI) MPRS Maret 1967, Soeharto selaku pengemban Supersemar menuturkan secara lengkap peristiwa G 30 S, sebagian besar diambil dari kesaksian-kesaksian dari sidang Mahmilub beberapa tokoh yang kemudian divonis hukuman mati. Untuk kali pertama, pada forum SI MPRS itulah, Soeharto menggunakan istilah G 30 S/PKI dan seterusnya.

Sebaliknya, lawan-lawan Soeharto sangat yakin bahwa dalang G 30 S tidak lain adalah Soeharto sendiri. Setelah pecah pemberontakan itu, Soeharto dengan bantuan penuh pemerintah Amerika (AS) dengan cepat mengonsolidasikan kekuasaannya sekaligus meruntuhkan secara sistematis kekuasaan Soekarno.

Buktinya: (a) Soeharto sebagai Pangkostrad pada 30 September 1965 malam mendapat laporan dari anak-buahnya, Kolonel Latief –komandan Brigade Jakarta– tentang adanya konsentrasi pasukan tak dikenal di sekitar Istana Negara. Soeharto ketika itu berada di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), mendampingi anak bungsunya, Tommy, yang sakit karena kakinya tersiram air panas. Anehnya, Pak Harto diam saja mendapat laporan itu. ’’Ah, itu berarti Pak Harto sudah tahu kalau anak buahnya sebentar lagi akan melancarkan operasi militer mengambil alih kekuasaan,’’ kata lawan-lawan Pak Harto! (b) Letkol Untung selaku komandan G 30 S pernah menjadi anak buah Soeharto di Jawa Tengah, bahkan Soeharto menghadiri acara khitanan anak Untung. (c) Sebagian pasukan yang melancarkan operasi penculikan para jenderal pada 1 Oktober 1965 pagi buta sebetulnya pasukan Soeharto di Jawa Tengah. (d) Kenapa pasukan Kostrad cepat sekali mengetahui lokasi dan melumpuhkan pasukan G 30 S di Halim Perdanakusuma, termasuk lubang sumur tempat jenazah jenderal-jenderal dipendam? (e) Sejumlah penelitian ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA, antara lain Cornell Paper karya Benedict R.O’G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University) dan John Roosa: Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia.

Tentu kebenaran karya-karya tulis tersebut tidak bisa dijamin. Cornell Paper seolah menjadi referensi utama mengenai keterlibatan langsung Soeharto pada G 30 S, tuding lawan-lawan politik Soeharto. Namun, jangan lupa, ketika tulisan-tulisan tersebut terbit, hubungan Washington-Jakarta mulai terjadi gesekan-gesekan dan pemerintah AS pun mulai menjauhi Soeharto.

Pada 1 Oktober 1965 pagi buta terjadi operasi militer dari kelompok Dewan Revolusi yang dipimpin Letkol Untung.  Tujuannya, menculik dan melumpuhkan pimpinan Angkatan Darat (AD), minus Pangkostrad Mayjen Soeharto. Modus operandinya sama :  Tentara bersenjata lengkap memasuki secara paksa rumah para jenderal, termasuk Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution dan Menteri/Panglima AD Letjen Ahmad Yani.

Diberitahukan kepada mereka bahwa para jenderal dipanggil menghadap presiden/panglima besar revolusi di istana saat itu juga. Bahkan, ganti pakaian pun tidak diizinkan. Mereka langsung dipukuli di dalam rumah. Sebagian didor dan diseret, lalu akhirnya jenazahnya dimasukkan ke sumur ’’Lubang Buaya’’ di kawasan Halim Perdanakusuma.

Orang-orang komunis percaya bahwa apa yang terjadi pada 30 September dan 1 Oktober 1965 murni klimaks dari konflik internal AD, antara kekuatan reaksioner dan kelompok yang berpikiran maju alias revolusioner yang sudah berlangsung sekian lama, sehingga tidak ada kaitan sama sekali dengan PKI. Namun, jika kita simak secara kritis persidangan demi persidangan tokoh-tokoh yang terlibat dalam G 30 S/PKI di Mahmilub, keterlibatan PKI amat gamblang! Perwira-perwira ’’berpikiran maju’’ dalam tubuh AD sesungguhnya adalah tentara yang sudah lama dibina PKI sehingga mereka memang sudah berkiblat ke PKI.

Tujuan G 30 S

Versi para pelaku sebagaimana tertulis dalam Dekrit 1 Oktober 1965, tujuan G 30 S adalah mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, sebelum AD yang mengambil alih kekuasaan. Setelah itu, pihak komunis akan melumpuhkan seluruh ’’kekuatan reaksioner’’ AD yang merupakan antek Amerika. Pada akhirnya, tampuk kekuasaan akan dikembalikan kepada Soekarno.

Versi Orde Baru, G 30 S bertujuan untuk mengomuniskan Indonesia, kulminasi dari konflik berkepanjangan antara kekuatan komunis dan angkatan bersenjata, khususnya AD. Sebelumnya, PKI juga melancarkan pemberontakan bersenjata di Madiun pada 1948, bahkan sudah mendeklarasikan negara sendiri, menggantikan RI. Peristiwa Madium 1948 menambah yakin pimpinan AD bahwa PKI memang tidak pernah berhenti berupaya mengomuniskan Indonesia.

Posisi Soekarno

Pada 1966–1967 banyak cerita yang berseliweran tentang kecurigaan keterlibatan Bung Karno (BK) dalam G 30 S/PKI. Indikasinya: (a) Mengapa pada saat-saat genting, BK bersembunyi di Halim yang merupakan sarang para pemberontak; (b) Melalui order presiden pada 1 Oktober 1965, Soekarno tidak membenarkan pengangkatan Soeharto sebagai pimpinan ad interim AD, malah mengangkat Mayjen Pranoto sebagai pimpinan sementara AD.

(c) Dalam banyak pidatonya pasca G 30 S, Soekarno malah sering memuji-muji PKI bahwa persatuan tiga kekuatan nasional, yaitu Nasakom –nasionalis, agama, dan komunis– adalah fakta sejarah sejak dulu. Karena itu, (d) Soekarno menolak keras tuntutan rakyat membubarkan PKI. Di mata Soekarno, PKI tidak terlibat. Yang terlibat adalah sejumlah pimpinan PKI yang bertindak keblinger (istilah ’’keblinger’’ diucapkan beberapa kali dalam pidato-pidato Soekarno); (e) Soekarno mengecilkan arti pemberontakan G 30 S dengan mengatakan peristiwa itu hanya riak kecil dalam laut.

Misteri ’’keterlibatan’’ Soekarno dalam G 30 S/PKI akhirnya dimentahkan Soeharto. Dalam pidatonya di pembukaan Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1965, dengan tegas Soeharto mengatakan bahwa Soekarno tidak terlibat apalagi menjadi dalang G 30 S!

Pasca G 30 S/PKI

Soeharto selaku pejabat presiden RI memerintah AD, khususnya RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) pimpinan Kolonel Sarwo Edhie, untuk melancarkan operasi militer besar-besaran membasmi PKI, terutama di Pulau Jawa. Dalam operasi militer selama tiga tahun itu, ekses-ekses memang tidak bisa dihindarkan. Yang dibunuh, tampaknya, bukan hanya anggota PKI atau orang komunis, tapi siapa saja yang dicurigai ’’merah’’ atau pendukung Soekarno. Operasi militer itu sampai ke Bali dan NTB. Tidak ada angka resmi berapa korban yang tewas. Ada yang menyebut 500 ribu, bahkan versi Barat hingga jutaan korban jiwa.

Para aktivis HAM dan LSM, setelah rezim Soeharto jatuh, menuntut pengusutan tuntas terhadap aksi bersenjata militer yang dikualifikasikan ’’pelanggaran berat HAM’’ itu. Namun, banyak pihak yang lupa bahwa sebelum G 30 S/PKI pecah, konflik antara PKI dan ormas Islam, termasuk NU, sudah meruncing. Banyak catatan dan bukti bahwa kaum muslim, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dibantai orang-orang komunis. Jika kita bicara tentang pelanggaran berat HAM, mengapa fokusnya hanya pada peristiwa pasca G 30 S/PKI? Mengapa tidak ada yang mengungkit-ungkit peristiwa serupa sebelum G 30 S/PKI?

Catatan Akhir

Tragedi G 30 S/PKI sangat kompleks. Tragedi itu harus dilihat dari perspektif perang dingin antara Blok Barat dengan AS sebagai pemimpinnya dan Blok Timur dengan Uni Soviet sebagai pemimpinnya. Indonesia terseret dalam konflik antara dua gajah itu. Bahkan, Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno cenderung berpihak ke blok komunis karena sikap anti-Nekolim Soekarno yang sangat kuat sejak dia berusia muda.

Karena itulah, kekuatan PKI makin lama makin besar, bahkan menjadi partai komunis terbesar di luar Soviet dan RRT. Karena itu pula, Washington sangat benci kepada Soekarno dan berusaha terus menjatuhkan rezim Soekarno. Soekarno lolos dari 10 kali lebih upaya pembunuhan atas dirinya.

Situasi dalam negeri semakin panas. Konflik antara AD dan PKI pun semakin sengit setelah pada 1964 dokter-dokter ahli RRT mengabarkan bahwa Soekarno menderita sakit keras, bahkan mungkin tidak bisa disembuhkan. AD khawatir PKI akan merebut kekuasaan jika Soekarno meninggal.

Kekhawatiran serupa terjadi di kalangan pimpinan PKI: AD pasti akan mengambil alih kekuasaan jika Soekarno wafat. Di antara kekhawatiran yang kian memuncak itu, bermain pula agen-agen intelijen dari berbagai negara –mulai CIA, KGB, serta intel RRT, Inggris, Australia, Ceko, dll– untuk memperkeruh situasi. PKI terjebak dalam intrik-intrik intelijen internasional yang kompleks tersebut, lalu melancarkan kudeta pada 1 Oktober 1965!

Maka tesis yang menyatakan bahwa Soeharto otak G 30 S/PKI adalah tidak benar. Keterlibatan Soekarno pun tidak dapat dibuktikan. Soeharto jenderal yang cerdik. Dia memanfaatkan G 30 S/PKI untuk ambisi kekuasaannya, sebuah momentum emas yang dapat mengantarnya ke kursi presiden RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar