Kamis, 05 Oktober 2017

Buya Ahmad Syafii Maarif dan PKI

Buya Ahmad Syafii Maarif dan PKI
Ahmad Najib Burhani  ;   Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah;  Peneliti LIPI
                                                KORAN SINDO, 04 Oktober 2017



                                                           
Beberapa hari lalu penulis sebagai admin dari facebook -fanpage Muhammadiyah Studies mengunggah kutipan pernyataan Buya Ahmad Syafii Maarif yang berbunyi, ”PKI yang sudah masuk kuburan sejarah jangan dibongkar lagi untuk tujuan politik kekuasaan.

Sungguh tidak elok, sungguh tidak mendidik. Generasi baru Indonesia jangan lagi diracuni oleh cara-cara berpolitik yang tidak beradab.” Kutipan itu berasal dari tulisan Buya sendiri di sebuah media cetak nasional pada 18 Ju li 2017. Unggah itu dibaca oleh lebih dari 124.000 pengguna face book dan di-share oleh lebih dari 650 orang. Follower dari fan page ini sebetulnya tak terlalu banyak, sekitar 23.000, tapi status itu mendapat respons beberapa kali lipat dari jumlah pengikut fan page itu sendiri. Sebelumnya, meme yang sama telah dibagi lewat twitter oleh akun @biografly dan juga viral atau menjadi trend ing topic.

Kutipan itu sebetulnya adalah sebuah nasihat dari orang tua dan guru bangsa yang pernah hidup di zaman penjajah, Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Sebagai simpatisan berat Masyumi, Buya adalah orang pernah mengalami hidup dalam sengitnya pertarungan politik dan sosial antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai-partai Islam. Karena itu, ia juga pernah menjadi penentang keras PKI dan bahkan menyebut masa lalunya sebagai ”fun damentalis” dan bagian dari kelompok ”garis keras” (Ma arif 2009).

Hal sangat mengejutkan dari unggahan tersebut adalah berbagai komentar dan respons yang muncul. Ada yang mengecam Buya dengan beragam istilah sangat kasar, ada yang mengutuk dan melaknat, dan ada juga menuntut kepada Muhammadiyah untuk bersikap terhadap Buya.

Beberapa di antaranya perlu di sebutkan di sini untuk melihat seperti apa ekspresi orang terhadap tokoh sekaliber Buya yang memberikan nasihat tentang sejarah Indonesia mulai dari sebutan ”orang tua gila”, ”pembela penista”, ”si tua”, ”sudah bau tanah”, ”kecebong”, ”koplaxx”, ”antek”, ”tai kucing”, ”semakin tua semakin sesat”, ”si pikun utek liberal”, ”kerak neraka”, ”cari makan”, ”dasar orang tua... tobat orang tua”, ”semakin tua semakin kehilangan akal”, ”agen PKI kedok ulama”, ”intelek kok guoblok”, ”ulama syuí”, ”berbicaranya lantang, tapi telinganya tuli, pandangannya buta”, dan juga sebutan yang sudah sering dialamatkan kepadanya, yakni ”liberal”.

Sementara mereka yang menuntut agar Muhammadiyah menghukum Buya menyebutkan bahwa Buya adalah ”tokoh Muhammadiyah paling mengecewakan”, ”memalukan Muhammadiyah”, dan orang tidak bisa menjaga diri, terutama terkait dengan ”mulutnya tidak beradab”. Permintaan kepada pimpinan Muhammadiyah juga berupa peninjauan ”keberadaan Syafii Maarif di lingkaran para tokoh Muhammadiyah” dengan alasan bahwa opininya ”lebih sering menyesatkan umat”. Tuntutan pribadi yang agak ringan adalah meminta agar Buya bertobat atau meminta orang lain tak lagi memanggilnya Buya karena tak pantas lagi dengan sebutan itu atau meminta Buya sekolah lagi agar pintar.

Ada juga yang berdoa agar Buya mendapat hidayah dan dijauhkan dari virus pluralisme atau berdoa agar Buya khusnul khatimah. Tentu ada yang mencoba mendudukkan persoalan dengan melihat dan membaca secara seksama kalimat-kalimat yang disampaikan Buya itu dan meminta jangan saling kecam serta menjaga tata krama terhadap orang tua. Dukungan, pembelaan, pujian, dan doa agar Buya diberi kesehatan dan panjang umur juga bisa ditemukan dalam berbagai komentar. Berkaitan dengan fanpage itu sendiri, ada sejumlah follower (sekitar 30 orang) yang lantas keluar atau memblokir fanpage tersebut.

Ada yang mengancam admin agar tidak bertindak macam-macam. Ada yang menuduhnya liberal, bagian dari JIMM, corong Buya atau ”antek Syafii”, dan bahkan ada menganggap fanpage itu sebagai infiltrasi dari NU (Nahdlatul Ulama) untuk memecah Muhammadiyah. Namun, tampaknya jumlah yang keluar dan memblokir itu sebetulnya jauh lebih kecil daripada jumlah yang menjadi follower baru. Ini bisa dilihat dari jumlah follower yang mengalami kenaikan banyak dibandingkan dengan sebelum adanya posting itu.

Mengambil si kap atau keberpihakan dalam kasus-kasus yang membelah masyarakat itu memang bisa menaikkan jumlah followers atau likers.Ini yang membuat sebagian aktivis sosial media menikmati sikapnya yang sektarian. Kasus seperti ini sudah ke sekian kali terjadi. Sebelumnya kontroversi yang heboh terjadi ketika memasang foto Joko Widodo mengimami salat warga Muhammadiyah. Kemudian kontroversi kembali ramai ketika unggahan ”Muhammadiyah garis lucu” keluar. Bagi Buya sendiri, ini tentu bukan pertama kalinya mendapat bully sedemikian rupa.

Ketika Buya menulis beberapa artikel terkait Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), ia juga mendapat bully dari banyak orang, Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah. Apa yang bisa dipelajari dari fenomena ini? Pertama, mereka yang berkomentar jahat terhadap Buya itu kemungkinan besar tidak membaca secara utuh tiga tulisan pendeknya tentang PKI di salah satu media nasional berjudul ”Isu kebangkitan PKI jadi ritual tahunan” (26/9), ”PKI dan kuburan sejarah (1)” (11/7), dan ”PKI dan kuburan sejarah (2)” (18/7). Jika mereka membaca dan mencoba memahami, maka akan didapati kesimpulan yang sama sekali berbalik dari tuduhan bahwa Buya sedang membela PKI.

Di beberapa bagian dari artikel itu, Buya dengan jelas menunjukkan kekejaman PKI dan watak komunisme yang antidemokrasi dan antikemanusiaan. Buya menegaskan bahwa ”rezim komunis tidak pernah ramah kepada kemanusiaan.” Kedua, mereka yang membully Buya itu hanya melihat kalimat atau kutipan yang dipakai sebagai meme. Kalimat yang merupakan pesan akhir Buya di artikel ”PKI dan kuburan sejarah (2)” itu sebetulnya juga memberi keterangan tentang penggunaan isu PKI untuk ”tujuan politik kekuasaan”.

Sayangnya, kata-kata itu juga tidak diperhatikan. Seandainya yang dikutip dan dibuat meme adalah kalimat ”komunisme itu antidemokrasi dan an ti kemanusiaan” dan ”rezim komunis tidak pernah ramah kepada kemanusiaan”, maka bisa saja ini di pakai sebagi dukungan bagi kelompok yang saat ini mengungkit-ungkit isu PKI untuk tujuan politik. Namun, mereka yang sudah benci dan antipati terhadap Buya, bisa jadi tak mau melihat itu juga. Mereka sudah benci dan memandang negatif terhadap Buya, apapun yang ia katakan.

Ini terlihat dari komentar yang selalu mengaitkan Bu ya dengan sikapnya terhadap isu Ahok beberapa waktu lalu. Ketiga, seperti ditulis Merlyna Lim (2017), apa yang dialami Buya adalah contoh dari post-truth politics, di mana kebenaran itu bukan sesuatu yang pertama dan utama. Meski PKI itu sudah tidak ada, tapi ketika ia dijual lagi dengan kemasan baru untuk menakut-nakuti rakyat dan dipromosikan sedemikian rupa, maka ia akan terjual juga. Branding baru tentang bahaya PKI dibuat dan di-viral-kan. Orang jujur seperti Buya yang dengan baik-baik memberi nasihat lantas di-bully.

Sosial media yang pada awalnya di sanjung sebagai arena freedom of expression ternyata memiliki efek negatif seperti menurunnya kualitas informasi dan naiknya ke bencian terhadap mereka yang berbeda. Upaya tabayyun (merefleksikan dan konfirmasi) terhadap perbedaan dan pertentangan juga sering hilang. Karena di dunia, orang lebih sering bergerombol dengan yang seide (algorithmic enclaves) dan mematikan atau memutus hubungan dengan mereka yang berbeda pandangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar