Selasa, 19 Januari 2016

Menanti Gebrakan Hilmar Farid

Menanti Gebrakan Hilmar Farid

Aris Setiawan  ;   Etnomusikolog; Pengajar Institut Seni Indonesia Surakarta
                                                 KORAN TEMPO, 15 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di ujung 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melantik Direktur Jenderal Kebudayaan baru, Hilmar Farid. Pengangkatan Hilmar mengubah tradisi yang selama ini dipegang oleh Kementerian, karena Hilmar adalah pejabat eselon satu pertama yang berlatar belakang non-pegawai negeri.

Hilmar dikenal sebagai sejarawan dan Ketua Perkumpulan Praxis sejak 2012. Dia adalah sejarawan yang meraih gelar doktor bidang studi kebudayaan dari National University of Singapore. Keterlibatannya dalam bidang kebudayaan tak diragukan lagi.

Meskipun dia dipilih sebagai Dirjen Kebudayaan melalui proses lelang jabatan, kita ingat bahwa Hilmar punya sumbangan besar bagi pemenangan Joko Widodo sebagai presiden. Pada masa pemilihan presiden, dia adalah Ketua Panitia Simposium Sekretariat Nasional Jokowi. Jauh sebelumnya, saat Jokowi maju menjadi calon Gubernur DKI Jakarta, Hilmar juga mendirikan Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB) untuk pemenangan Jokowi.

Tapi proses lelang jabatan itu terkesan bertele-tele. Posisi ini lowong sejak Mei 2015. Banyak peserta yang mendaftar, namun berbulan-bulan tak ada kepastian siapa yang terpilih. Lamanya proses seleksi ini menimbulkan asumsi publik bahwa jabatan tersebut dianggap tidak penting. Di saat lembaga di bawah kementerian lain sedang sibuk mengaplikasikan visi-misi Presiden Jokowi dengan semboyan "kerja-kerja-kerja", kinerja kementerian di bidang kebudayaan justru tak berjalan maksimal karena lamanya proses lelang.

Kini Hilmar menjadi sosok yang terpilih dan diharapkan memecah kebuntuan. Di balik gunjingan balas jasa dari penguasa, kita sepatutnya berharap banyak dari gebrakan-gebrakan yang dapat ditorehkannya. Hal ini menjadi penting, mengingat selama ini kita belum sepenuhnya melihat hasil kerja nyata dari Dirjen Kebudayaan yang langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Padahal, hingga detik ini masih banyak konflik horizontal berbau suku, ras, agama, dan golongan terjadi di negeri ini. Idealnya, dalam konteks tersebut, lembaga negara yang bekerja di wilayah kebudayaan dapat menunjukkan posisi tawar dan sumbangsihnya.

Perilaku, karakter, dan cara berpikir positif manusia Indonesia adalah cerminan kebudayaan itu sendiri. Di Jawa, misalnya, kita dikenalkan dengan istilah tepa selira, mad sinamadan, andap ansor, adi luhung, tut wuri handayani, yang merupakan ciri manifestasi kebudayaan yang kini telah luntur atau bahkan hilang. Kita tidak lagi menjumpai etika dalam berbicara, sopan-santun, toleransi, memahami, dan menghargai sesama.

Lembaga kebudayaan idealnya dapat bekerja di wilayah itu: memantik obor kebudayaan yang selama ini beranjak padam. Dia tidak melulu melakukan upaya konservasi kesenian dengan menggelar pentas-pentas seni, pameran atau mendata kekayaan budaya berbentuk fisik dengan mengirim para pamong budaya ke daerah-daerah.

Dalam konteks musik, misalnya, pada akhir 2015 kita dihadapkan bahwa toko kaset musik (compact disk) terbesar dan satu-satunya di Indonesia, Disc Tarra, menutup 40 gerainya. Kini hanya tinggal enam gerai, dan ironisnya semua berlokasi di Ibu Kota. Sementara toko kaset musik lain, sebutlah Aquarius, telah terlebih dulu gulung tikar.

Maka, untuk mencari kaset musik resmi atau legal saja kini semakin sulit. Hal ini justru akan mendorong pembajakan musik berlangsung secara besar-besaran. Dirjen Kebudayaan dapat berperan besar dalam mengatasi persoalan tersebut. Meniru kinerja Apple yang memunculkan iTunes dan Google dengan Google Play, pemerintah dapat menyediakan portal resmi, semacam etalase musik Indonesia dengan kapasitas gigantik, untuk diunduh secara legal dengan harga terjangkau dan kualitas unggul. Royalti dibayarkan kepada musikus dan pemerintah bisa menarik pajak berdasar kalkulasi keuntungan hasil penjualan. Apakah Hilmar dapat melakukan gebrakan?  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar