Senin, 16 November 2015

Berkicau

Berkicau

Samuel Mulia ;  Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 15 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setiap pagi saya membaca sejuta kicauan yang dibuat sejuta manusia di media sosial. Ritual ini sudah mirip ritual makan pagi. Bahkan kalau makan pagi berhenti setelah pukul tujuh, membaca kicauan yang sejuta banyaknya itu sering kali berlanjut pada siang, sore, dan malam hari menjelang istirahat malam.

Cermin

Senangnya membaca kicauan-kicauan itu karena banyak macamnya, dan lama-lama mengenal manusianya hanya dari kicauan yang dituliskan. Ada yang bawelnya setengah mati karena semua masalah dikomentari, ada yang supernegatif, yang sok positif, yang provokatif dengan menuliskan kalimat bak belati yang dihunjamkan pembunuh kepada korbannya, sampai sering kali saya terkaget-kaget membacanya.

Ada yang kicauannya mengundang gelak tawa, tanpa melupakan yang memberi semangat serta yang superrajin memberi informasi, baik soal keuangan, politik, dunia selebritas, maupun pengetahuan umum lain. Selain itu, ada yang hanya minta pendapat sederhana, lebih tampan pakai berewok atau tanpa berewok.

Menariknya dari semua kicauan itu, saya mendapatkan banyak informasi tanpa harus membaca koran atau buku-buku setebal bantal. Tetapi, dalam waktu yang bersamaan, kicauan di media sosial tersebut juga seperti cermin. Saya seperti melihat diri saya sendiri.
Saya ini juga menyindir karena tersakiti. Sindiran yang saya buat itu karena saya tak kuasa melawan yang menyakiti saya. Saya juga berkicau bak seorang motivator andal yang memberi nasihat, petuah, atau apa pun itu yang menyemangati orang lain meski dalam hidup keseharian ketika masalah datang, yang saya tuliskan untuk menyemangati orang lain gagal saya praktikkan kepada diri sendiri.

Saya bisa begitu kesalnya dengan yang saya hadapi pada sebuah hari atau momen sehingga acap kali beberapa orang membalas kicauan saya, dengan kicauan mereka yang prihatin dan kemudian memberikan penghiburan untuk menyemangati.

Kadang saya juga bawelnya setengah mati, semua hal dikomentari seperti orang kurang kerjaan. Meski nurani saya berkomentar, ”Itu bukan kurang kerjaan, emang itu kerjaan elo.” Kadang saya juga ingin orang lain mengetahui betapa pandainya saya tentang sebuah pengetahuan.

Jadi, ritual membaca kicauan itu tepatnya sebuah ritual becermin, seperti setiap pagi saya selalu becermin saat berdandan sebelum berangkat kerja.

Nasi rames

Kicauan yang bak cermin itu belakangan membuat saya berpikir, mungkin manusia itu disebut sempurna bukan karena ia senantiasa tak melakukan yang negatif, tetapi yang seperti nasi rames. Di dalam nasi rames, ada macam-macam lauk, antara lain telor dadar yang diiris, ayam suwir, dan bihun. Rasanya bisa asin, manis, dan bisa jadi pedas.

Maka manusia itu juga ada bawelnya, ada sok pamernya, tetapi bisa juga memberi semangat dan mengundang gelak tawa. Kadang bisa blakblakan, tetapi bisa tersinggung juga dan menjadi seperti belati. Kemudian otak saya mengajukan sebuah pertanyaan.

Bagaimana kalau ada manusia yang berpredikat pemimpin? Apakah mereka ini tidak boleh seperti nasi rames? Karena ada ungkapan bahwa pemimpin itu harus bisa menjadi panutan bawahan. Harus bisa gini, bisa gitu, tidak boleh gini, tidak boleh gitu, harus gini, harus gitu.

Nah, kalau pada suatu hari ada manusia yang biasanya berpredikat bukan pemimpin dan perjalanan kehidupannya mengantarnya menjadi seorang pemimpin, apakah karena perbedaan predikat mereka harus mengubah kemanusiaannya? Kalau iya, bagaimana caranya mengubah kemanusiaan itu? Apakah menihilkan kenegatifan sehingga mereka tak bisa seperti nasi rames lagi?

Kalau pemimpin harus menjadi panutan, berarti ada aturan main yang dibuat agar bisa menjadi panutan. Dan saya yakin aturan menjadi panutan dibuat oleh manusia. Bagaimana caranya sekarang agar aturan main itu yang dibuat oleh manusia yang kadang lemah, kadang kuat, dan kadang juga suka kebablasan itu bisa dieksekusi oleh seorang pemimpin yang berstatus manusia yang juga kadang lemah, kadang kuat, dan bisa kebablasan?

Ternyata otak saya mengajukan satu pertanyaan lagi. Apa artinya sesama manusia? Karena otak saya yang bertanya, otak saya yang menjawab. Otak saya cuma punya IQ jongkok, jadi jawabannya sesama manusia itu yaa... sama-sama manusia.

Sesama manusia itu mengandung arti manusia yang memiliki kemampuan melihat kemanusiaan dalam sesamanya dan bukan melihat predikatnya semata. Sesama manusia itu sama-sama bisa mengerti manusia itu, ya... kayak gitu. Kayak nasi rames, maksudnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar