Uji
Nyali Menteri Jokowi
Khudori ; Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
|
REPUBLIKA,
06 Maret 2015
Harga beras melambung tinggi di pasaran. Seperti
layang-layang putus, harga beras lepas tak terkendali. Pelbagai upaya yang
dilakukan pemerintah, seperti menggelar operasi pasar, belum membuahkan
hasil.
Jika semula kenaikan harga beras hanya terjadi di Jakarta
dan sekitarnya, kini merembet ke sejumlah daerah. Biasanya, saat musim
paceklik terjadi kenaikan harga sebesar 10 persen. Namun, kenaikan kali ini
sudah mencapai 30 persen. Pemerintahan baru tengah diuji: apakah bisa
mengendalikan harga beras atau tidak?
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menuding ada mafia beras
yang bermain untuk mengeruk keuntungan dari situasi ini. Tudingan semacam ini
bukan hal baru. Pada pemerintahan lalu, tudingan ada mafia beras berkali-kali
dilemparkan. Namun, sampai saat ini tak ada seorang pun yang bisa
membuktikan. Juga tak ada yang diseret ke meja hijau. Bahkan, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) belum bisa membuktikan adanya kartel beras, mafia,
atau sejenisnya. Pertanyaannya, apa penyebab kenaikan harga beras kali ini?
Setidaknya ada tiga hal yang membuat harga beras
melambung. Pertama, panen terlambat. Dalam kondisi normal, irama tanam dan
panen padi berlangsung ajeg: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65
persen dari total produksi), panen gadu (Juni-September dengan 25-30 persen
dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari). Karena hujan
datang terlambat 1-1,5 bulan, tanam dan panen pun mundur. Akibatnya, dalam
kondisi normal Februari mestinya panen raya, justru terjadi paceklik. Supply
tidak mampu mengimbangi demand. Sesuai hukum besi supply-demand, harga
melambung.
Hujan yang datang terlambat yang ujung-ujungnya membuat
tanam dan panen mundur bukan fenomena yang tak kasat mata. Lalu, mengapa
tidak diantisipasi? Dari pengalaman berpuluh-puluh tahun, kita mengetahui
titik kritis cadangan beras akan terjadi tiap akhir Desember. Cadangan beras
setidaknya harus cukup untuk memenuhi tiga bulan musim paceklik. Pemerintahan
baru sepertinya masih gagap mengantisipasi soal ini.
Kedua, beras untuk rakyat miskin atau raskin terlambat
dibagikan. Raskin baru bisa dibagikan pada 28 Januari dari seharusnya pada
awal bulan. Sejumlah pemerintah daerah terlambat mengeluarkan surat
permintaan alokasi akibat wacana penggantian raskin dengan voucher atau
e-money. Bahkan, muncul wacana penghapusan raskin. Sebanyak 15,5 juta rumah
tangga sasaran yang tidak menerima raskin akhirnya berburu beras di pasar.
Perburuan ini menambah eskalasi harga beras di pasaran.
Jika ditarik agak ke belakang, kekisruhan harga beras kali
ini merupakan efek dari kekeliruan pemerintah yang tidak membagikan raskin
pada November-Desember 2014. Warga yang biasa menerima raskin diberi subsidi
BLSM sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Apa yang terjadi?
Harga eceran beras naik sekitar Rp 1.000 per kg dalam dua
bulan. Ujung-ujungnya inflasi melonjak tinggi. Pada November dan Desember
2014 inflasi masing-masing mencapai 1,5 persen dan 2,46 persen sehingga
inflasi tahunan 8,36 persen. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada
November dan Desember beras jadi penyumbang inflasi nomor tiga dan satu.
Ketiga, operasi beras tidak efektif. Ini terbukti dari
sidak Menteri Perdagangan Rachmat Gobel: beras operasi pasar dioplos pedagang
dengan beras lain dan dijual dengan kemasan sendiri. Beras operasi pasar
ditebus dari gudang Bulog Rp 6.600 per kg yang mestinya dijual Rp 7.400 per
kg ternyata dilego pedagang Rp 8.200-Rp 8.300 per kg. Artinya, harga beras
operasi pasar dijual dengan harga pasar. Dari oplos-mengoplos ini pedagang
untung besar. Tidak heran bila harga beras di pasaran tidak kunjung menurun.
Sepanjang sejarah perberasan, operasi beras adalah
instrumen jangka pendek. Operasi pasar fungsinya tak lebih sebagai tukang
pemadam kebakaran. Tujuannya untuk memengaruhi harga. Namun, efektivitas
operasi pasar dalam memengaruhi harga beras tergantung banyak faktor: stok
pemerintah, besarnya beras yang digerojok di pasar, stok yang dikuasai
pedagang/spekulan, dan psikologi publik. Oleh karena itu, operasi pasar
sebenarnya bukanlah instrumen ampuh untuk mengatasi instabilitas harga dalam
negeri.
Berbeda dengan di era Orde Baru yang instrumen dan
kelembagaannya komplet, sekarang instrumen dan aransemen stabilisasi harga
beras domestik amat terbatas. Revisi harga pembelian pemerintah (HPP) beras
dari Rp 6.600 per kg menjadi Rp 7.250 per kg, Januari 2015 lalu, bukanlah
bentuk perlindungan harga, baik harga langit-langit (ceiling price) buat konsumen maupun harga dasar (floor price) bagi produsen. Batu pijak
konsep HPP adalah kuantitas, yaitu membeli sejumlah tertentu beras/gabah
(untuk kebutuhan stok nasional dan raskin) pada harga yang ditentukan. Karena
sifatnya target kuantum, pengaruh pembelian terhadap tingkat harga di pasar
menjadi residual.
Apa yang bisa dilakukan agar harga tak terus melambung?
Ada dua. Pertama, jika jatah raskin bulan Februari belum dibagikan,
pemerintah mesti segera membagikannya. Bila harga beras di pasaran masih ada
tren naik, pemerintah bisa memperbesar volume raskin. Jatah raskin
bulan-bulan berikutnya bisa dibagikan pada Februari ini.
Musim paceklik merupakan saat tepat membagikan raskin.
Ketika panen raya, raskin bisa ditahan karena harga beras cenderung rendah.
Volume raskin sebesar 10 persen dari kebutuhan beras nasional besar
pengaruhnya terhadap naik-turunnya harga beras di pasar.
Kedua, mengefektifkan operasi pasar. Caranya ada dua:
menggandeng pedagang dan menjual langsung di lokasi-lokasi sasaran. Pedagang
perlu digandeng agar pasokan beras di pasar tetap terjaga. Agar tidak dioplos
dan dijual sesuai ketentuan, pedagang perlu diikat dengan perjanjian dan
diawasi ketat. Selain itu, Bulog bisa menggelar operasi pasar langsung di
kantong-kantong kemiskinan, seperti pabrik dan permukiman kumuh. Dengan harga
yang menarik, bisa dipastikan operasi pasar akan menarik mereka membeli.
Kisruh harga beras kali ini merupakan “uji nyali”
pemerintahan baru. Pedagang tahu, saat November-Desember 2014 tak ada raskin
cadangan beras pemerintah di Bulog tergerus untuk operasi pasar khusus. Jika
cadangan beras pemerintah menipis, pasar dipastikan mudah sekali memanas.
Di sisi lain, pedagang juga memiliki stok. Pedagang pasti
menunggu: seberapa kuat pemerintah membanjiri pasar beras dengan operasi
pasar? Jika “uji nyali” ini lolos, besar kemungkinan pedagang tak akan berani
“main-main” lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar