Lintasan
Sejarah Supersemar
Mursalin Dahlan ; Mantan
Ketua KAPPI/Angkatan 66 Jawa Barat;
Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat
|
REPUBLIKA,
06 Maret 2015
Sejarah itu mengandung pengajaran dan pelajaran,
sebagaimana difirmankan dalam Alquran, Surah Yusuf ayat 111. Nah, bagaimana
halnya dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 yang disingkat Supersemar, sebagai
Surat Perintah Presiden Sukarno kepada Letnan Jenderal Soeharto, menteri
panglima Angkatan Darat?
Seperti sudah hilang ditelan masa, tidak lagi dibicarakan
orang dan media massa tentang apa manfaatnya bagi kehidupan bangsa dan
negara. Padahal, Supersemar itu berperan sangat besar dalam kehidupan bangsa
dan negara kita, setelah terjadinya pemberontakan Gerakan 30 September 1965
yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).
Hal itu dapat kita ketahui dari isi Supersemar yang
memerintahkan Letnan Jenderal Soeharto untuk atas nama Presiden/Panglima
Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi, “Mengambil
segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan
serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin
keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Pangglima
Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa
dan negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran
Pemimpin Besar Revolusi.” (Sumber buku Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia,
diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta 1994).
Pada 12 Maret 1966, keluarlah keputusan
Supersemar yang membubarkan PKI, maka terjadilah pawai besar-besaran
satuan Kostrad dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan
Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) mendukung keputusan Supersemar yang
membubarkan PKI dan dinyatakan sebagai partai terlarang di seluruh Indonesia.
Jenderal Dr HA Haris Nasution dalam bukunya, Dari KUP 1
Oktober 1965 ke Sidang Istimewa MPRS 1967, mengungkapkan lahirnya Supersemar.
"Mayjen M Yusuf yang ketika itu menjadi menteri, mengajak Mayjen Basuki
Rachmat, panglima Brawijaya, yang kebetulan berada di Jakarta dan Mayjen Amir
Machmud pergi ke Istana Bogor menemui Presiden Sukarno agar ia tidak merasa
disisihkan atau diasingkan oleh Angkatan Darat."
Ajakan itu disetujui oleh kedua Panglima tersebut. Sebelum
pergi, Amir Machmud menyarankan agar melapor dulu kepada Letjen Soeharto yang
ketika itu menjabat panglima pemulihan ketertiban dan keamanan. Letjen
Soeharto yang ketika itu sedang sakit tenggorokan di rumahnya menyetujui niat
baik ketiga perwira tinggi itu serta menugaskan kepada mereka untuk
menyampaikan kepada Presiden Sukarno bahwa kita pun dapat menyelamatkan
Pancasila dan UUD 1945 bila diberi kepercayaan penuh oleh Presiden.
Ketiga jenderal itu tiba di Istana Bogor yang dikawal
ketat oleh Batalion Khusus, Cakrabirawa, itu pada pukul 15.30. Presiden
Sukarno ketika itu sedang istirihat, mengenakan celana pendek hingga lutut
dan baju kaus oblong.
Dengan muka masam ia menyambut ketiga perwira tinggi
tersebut. “Kamu mau apa kemari?” tanyanya yang dijawab oleh Basuki Rachmat,
"Kami datang agar Bapak tidak merasa disisihkan atau disingkirkan."
Oleh ketiga Jenderal itu, Presiden Sukarno diyakinkan akan
iktikad baik mereka datang menjumpainya sehingga Presiden Sukarno menjadi
tenang. Setelah mandi dan shalat Maghrib, maka berkumpullah Presiden Sukarno
yang didampingi oleh istrinya, Hartini, dengan waperdam-waperdamnya dan
ketiga perwira tinggi dari Jakarta itu.
Presiden Sukarno membuka pembicaraan dengan menanyakan
bagaimana sebaiknya. Oleh Amir Machmud yang katanya tanpa disadari itu keluar
kata-kata. “Gampang Pak, serahkan saja pada Pak Harto. Bapak tahu beres.”
Saran Amir Machmud rupanya termakan di hati Presiden
Sukarno dan pembantu-pembantunya sehingga ketika itu juga dibentuk panitia
perumus konsep surat perintah kepada Letjen Soeharto dengan sekretarisnya,
Sabur. Oleh Sabur, surat tersebut diketik sendiri untuk kemudian diserahkan
kepada Presiden Sukarno untuk dibaca dan disetujui.
Ketiga Jenderal Angkatan Darat itu pulang malam itu juga
dengan membawa surat perintah itu. Setelah dibaca kata demi kata oleh Amir
Machmud, dia berkata, “Lho Pak! Ini kan
penyerahan kekuasaan kepada Pak Harto. “O, ya, ya, penyerahan kekuuasaan,”
kata jenderal-jenderal itu.
Dari lintasan sejarah di atas, sangatlah
pentingnya Supersemar itu untuk selalu diperingati. Hal ini karena, pertama,
telah membubarkan PKI dan menyatakan PKI sebagai partai terlarang di seluruh
pelosok Tanah Air Indonesia. Kedua, telah melarang segala macam bentuk paham,
ideologi, marxisme, dan komunisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam sistem dan percaturan politik yang dianut pemerintah
pascareformasi yang sangat liberal sekarang ini. Demikian pula dengan ekonomi
liberal dan akan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang tiada
batas, baik arus manusia maupun barang, haruslah diwaspadai jangan sampai
diboncengi oleh anasir-anasir komunisme dan marxisme, sebagai kekuatan
subversif yang mengancam stabilitas NKRI.
Bila nanti terjadi konspirasi liberalisme dan komunisme,
muncullah kapitalisme-ateisme yang dapat melumpuhkan dan menyirnakan
ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan, dan keamanan negara
kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar