Senin, 09 Maret 2015

Kalah dan Menyerah

Kalah dan Menyerah

Alex Karci Kurniawan  ;  Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (Pusako)
Fakultas Hukum Universitas Andalas
REPUBLIKA, 07 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Perang melawan korupsi di negeri ini memang bukan hal mudah. Sepanjang sejarahnya, lembaga antikorupsi selalu mendapatkan perlawanan (koruptor).

Pada 1970, Soeharto pernah membentuk Komisi Empat dan itu hanya berumur empat bulan. Pada era Habibie lahirlah dua undang-undang yang menjadi landasan pembentukan KPK, yakni UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN serta UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Era Gusdur dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dipimpin Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto. Namun, tim ini hanya berumur satu tahun. Selanjutnya, Gus Dur juga membentuk Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang berumur empat tahun. Pada 2002, di eranya Megawati, KPK dibentuk.

Eksistensi KPK yang mendapat serangan dari berbagai kalangan bisa bertahan sampai pada periode sepuluh tahun kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga kini. SBY menunjukkan keberpihakannya kepada KPK, meski sejumlah menterinya pernah diperiksa dan ditahan oleh KPK.

Namun, saat ini, era Presiden Jokowi, KPK benar-benar telah berada pada titik terlemah sejak dilahirkan masa Reformasi. Kondisi tersebut terjadi setelah dua pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian dan pada akhirnya dinonaktifkan dari KPK. Mereka adalah Ketua KPK Abraham Samad (AS) dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW).

Penetapan keduanya sebagai tersangka erat kaitannya dengan penetapan calon Kapolri yang batal dilantik presiden: Komjen Budi Gunawan (BG)
sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dan rekening gendut. AS tersangka dalam kasus pemalsuan data identitas Feriyani Lim di Sulawesi Selatan yang terjadi jauh sebelum dia menjabat sebagai ketua KPK. Anehnya, kenapa kasus ini tidak dipersoalkan saat penyeleksian AS di DPR sebelum menjadi Komisioner KPK.

Sedangkan, BW ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus meminta seseorang memberikan kesaksian palsu dalam sidang Mahkamah Konstitusi, terkait dengan sengketa Pilkada Kotawaringin, Kalimantan Tengah. Yang absurdnya, saksi telah mengaku tidak pernah disuruh terkait hal tersebut.

Begitu BG ditetapkan sebagai tersangka, Bareskrim Polri pun langsung bereaksi dan menangkap BW, dengan tuduhan meminta orang lain memberikan kesaksian palsu dalam sidang perkara Pilkada Kotawaringin di KPK.

Dan jadilah penangkapan ini di luar kelaziman; tanpa surat panggilan yang semestinya diberikan secara prosedur. Laksana penangkapan BW seperti penangkapan teroris atau begal motor yang tertangkap tangan.

Selanjutnya, gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang diputus oleh hakim Sarpin Rizaldi, menyatakan bahwa penetapan BG sebagai tersangka oleh KPK tidak sah secara hukum sehingga penyidikan kasusnya di KPK harus dihentikan.

KPK kalah telak. Lebih jauh lagi, hakim Sarpin berpendapat, Budi Gunawan bukan penyelenggara negara atau penegak hukum sehingga KPK tidak berwenang memeriksanya. Namun, alih- alih menempuh segala upaya hukum yang ada, pimpinan KPK malah bersepakat melimpahkan kasus BG kepada Kejaksaan Agung.

Memudarlah latar belakang bahwa posisi plt pimpinan KPK adalah karena kondisi darurat kriminalisasi terhadap pimpinan KPK sebelumnya. Langkah yang seharusnya dijadikan prioritas adalah bagaimana menghentikan serangan kriminalisasi dan penyelesaian kasus korupsi tetap berlanjut. Bukan malah menghentikan atau melimpahkan penanganan kasus-kasus tertentu kepada institusi lain.

Refleks, perlawanan atas keputusan itu timbul dari para pegiat antikorupsi dan bahkan dari intern KPK sendiri. Para pegawai di KPK dengan lantang menolak pelimpahan kasus tersebut. Pelimpahan kasus mengindikasikan bahwa KPK benar-benar tak berdaya di bawah tekanan koruptor dan menorehkan preseden buruk dalam pemberantasan korupsi.

Hal yang paling mengkhawatirkan banyak pihak, pelimpahan kasus tersebut bisa menyebabkan kasus itu terhenti atau dimasukkan dalam "peti es" karena Kejagung dan Polri memiliki wewenang mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Meski Kejagung selama ini mendukung langkah-langkah KPK dalam pemberantasan korupsi, banyak orang meragukan bahwa Kejagung sanggup menuntaskan kasus BG.

Sebenarnya masih ada upaya hukum seperti kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung untuk menguji putusan Sarpin. Namun, KPK terlalu cepat menyerah dengan melimpahkan kasus Budi kekejaksaan. Inilah pengakuan kalah pertama kali KPK dalam memberantas korupsi. Kalah dalam praperadilan dan menyerah dalam perjuangan memberantas korupsi. Di situ rakyat sangat merasa sedih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar