Saat
KPK Lempar Handuk
Marwan Mas ; Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
|
KORAN
SINDO, 04 Maret 2015
Pelaksana tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Taufiequrachman Ruki menyatakan “KPK mengaku kalah” dalam kasus Budi
Gunawan. Ini yang pertama kali KPK lempar handuk dalam tahap penyidikan,
bahkan pertama kali pula menyerahkan penyidikan ke institusi penegak hukum
lain. Memang dakwaan KPK pernah dinyatakan hakim pengadilan tindak pidana
korupsi tingkat pertama tidak terbukti sehingga diputus bebas. Namun, KPK
melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus pimpinan BUMN P.T. Merpati,
dan ternyata MA menghukum terdakwa. (Moh
Mahfud MD, KORAN SINDO, 28/2/2015).
KPK takluk tanpa melakukan upaya hukum terhadap putusan
praperadilan yang menilai KPK tidak berwenang menangani tersangka dengan
mengutip Pasal 11 UU Nomor 30/2002 tentang KPK (UU KPK). Banyak yang
menyarankan agar KPK melakukan upaya hukum luar biasa atau peninjauan
kembali, tetapi hal itu tidak dilakukan. KPK mengumumkan kasus BG dilimpahkan
ke kejaksaan sesuai kesepakatan dengan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti dan
Jaksa Agung HM Prasetyo.
Meskipun Plt Ketua KPK menyebut pelimpahan kasus bukan
akhir dan dunia belum kiamat, tidak berarti masalah telah usai. Kesepakatan
itu setidaknya menimbulkan dua persoalan baru. Pertama, kepercayaan publik
terhadap ketegasan dan profesionalitas KPK akan tergerus seperti institusi
penegak hukum lainnya.
Semua perjuangan KPK mengantar terdakwa korupsi meringkuk
dalam terali besi akan pupus di mata publik, lantaran KPK tidak lagi gigih
memperjuangkan keyakinan yang diperoleh dari penyelidikan dan penyidikan.
Kedua, gelombang gugatan praperadilan akan menimpa KPK memberi indikasi bahwa
penetapan tersangka di KPK mulai meragukan. Dua tersangka, Suryadharma Ali
dan Sutan Bhatoegana, mengajukan praperadilan.
Begitu pula salah satu tersangka di kepolisian terkait
kasus korupsi dana bansos di Banyumas, menjadi imbas dari sikap diam KPK yang
terkesan dibungkus demi kesepakatan. Idealnya KPK melakukan upaya hukum luar
biasa ke MA untuk mengoreksi dugaan kekhilafan atau kekeliruan putusan hakim
praperadilan.
Koordinasi Efektif
Sebetulnya ada sinyal positif ditunjukkan pimpinan KPK
dengan menemui pimpinan Polri dan Jaksa Agung sesaat setelah dilantik sebagai
langkah awal komunikasi dan koordinasi yang efektif. Presiden Jokowi juga
memanggil Plt Ketua KPK, Jaksa Agung, dan Wakapolri ke Istana Negara
(25/2/2015).
Presiden meminta agar tidak ada lagi ego sektoral dan
harus bersinergi dalam memberantas korupsi. Untuk menjaga sinergitas ke
depan, KPK harus lebih aktif berkomunikasi dengan kepolisian dan kejaksaan.
KPK lebih mengintensifkan tugas yang diberikan dalam Pasal 6 huruf a dan
huruf b UU KPK, yaitu melakukan koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian
dan kejaksaan. Ada lima bentuk koordinasi yang perlu dilakukan KPK sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 UU KPK.
Pertama, mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi. Kedua, menetapkan sistem pelaporan dalam
kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, meminta informasi
tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang
terkait.
Keempat, melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kelima, meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi. Sedangkan tugas supervisi diatur dalam Pasal 8 UU KPK, bahwa KPK
berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap
kepolisian dan kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan.
Dalam supervisi, KPK berwenang mengambil alih penyidikan
atau penuntutan terhadap pelaku korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan. Koordinasi dan supervisi ini harus dilakukan dengan baik,
sebab salah satu tujuan pembentukan KPK adalah mendorong kepolisian dan
kejaksaan agar berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi
(Konsideran Menimbang huruf b UU KPK).
Bahkan, KPK memiliki fungsi “trigger mechanism“ yang
mendorong institusi kepolisian dan kejaksaan berfungsi lebih efektif dan
efisien dalam memberantas korupsi. Penyidikan dan penuntutan yang dilakukan
kepolisian dan kejaksaan harus disupervisi KPK yang dalam hukum tata negara
disebut sebagai implementasi dari “checks and balances“.
Seleksi Pimpinan KPK
Agar KPK tidak terus mendapat kendala dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, sebaiknya paling lambat enam bulan sebelum masa
jabatan pimpinan KPK berakhir Desember 2015, presiden menetapkan panitia
seleksi untuk menjaring dan memilih calon pimpinan KPK definitif (Pasal 30
ayat 2 UU KPK).
Proses seleksi dilakukan secara transparan dengan
melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Salah satu syarat untuk diangkat
sebagai pimpinan KPK ditegaskan dalam Pasal 29 angka-7 UU KPK, yaitu “cakap,
jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang
baik”. Maka itu, melihat persoalan yang menimpa Abraham Samad dan Bambang
Widjojanto, panitia seleksi harus mencari sosok calon komisioner KPK yang
betul-betul bersih dan steril dari aspek moral dan persoalan hukum masa lalu,
sebab realitasnya bisa diungkap kembali.
Tidak cukup hanya mengandalkan tanggapan berupa laporan
masyarakat terkait masa lalu calon (Pasal 30 ayat 6 UU KPK), tetapi perlu
semacam “pengakuan dosa” dari calon dengan mengungkap semua borok masa
lalunya. Semua yang diungkap harus dirahasiakan dan disimpan oleh Penasihat
KPK, tetapi panitia seleksi meneliti apakah pengakuan dosa itu berpotensi
atau tidak berpotensi dibawa ke ranah hukum setelah terpilih.
Sekiranya ada pihak yang melaporkan masalah yang sudah
disampaikan dalam pengakuan dosa harus dijamin tidak akan diproses hukum
sebagai bentuk “imunitas” bagi pimpinan KPK. Ini salah satu cara
mengantisipasi kemungkinan mencaricari kesalahan massal yang banyak dituding
sebagai upaya “kriminalisasi” dengan tujuan hanya sekadar menjadikan pimpinan
KPK sebagai tersangka agar diberhentikan sementara dari jabatannya.
Tidak boleh lagi jatuh pada lubang yang sama untuk ketiga
kalinya, sebab sudah dua kali pimpinan KPK dilanda serangan semacam itu.
Pimpinan KPK ke depan harus betul-betul bersih dari borok masa lalu yang bisa
dipersoalkan, sebab melihat indeks persepsi korupsi Indonesia yang tetap di
level tinggi, publik ingin noda kecil sekalipun yang bisa menghambat
pelaksanaan tugas dan wewenang KPK harus dibersihkan.
Kita ingin kesinambungan KPK ke depan tetap terjaga,
semoga publik tetap percaya pada KPK sebagai salah satu institusi pemberantas
korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar