Kamis, 05 Maret 2015

Saat KPK Lempar Handuk

Saat KPK Lempar Handuk

Marwan Mas   ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
KORAN SINDO, 04 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Pelaksana tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Taufiequrachman Ruki menyatakan “KPK mengaku kalah” dalam kasus Budi Gunawan. Ini yang pertama kali KPK lempar handuk dalam tahap penyidikan, bahkan pertama kali pula menyerahkan penyidikan ke institusi penegak hukum lain. Memang dakwaan KPK pernah dinyatakan hakim pengadilan tindak pidana korupsi tingkat pertama tidak terbukti sehingga diputus bebas. Namun, KPK melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus pimpinan BUMN P.T. Merpati, dan ternyata MA menghukum terdakwa. (Moh Mahfud MD, KORAN SINDO, 28/2/2015).

KPK takluk tanpa melakukan upaya hukum terhadap putusan praperadilan yang menilai KPK tidak berwenang menangani tersangka dengan mengutip Pasal 11 UU Nomor 30/2002 tentang KPK (UU KPK). Banyak yang menyarankan agar KPK melakukan upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali, tetapi hal itu tidak dilakukan. KPK mengumumkan kasus BG dilimpahkan ke kejaksaan sesuai kesepakatan dengan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti dan Jaksa Agung HM Prasetyo.

Meskipun Plt Ketua KPK menyebut pelimpahan kasus bukan akhir dan dunia belum kiamat, tidak berarti masalah telah usai. Kesepakatan itu setidaknya menimbulkan dua persoalan baru. Pertama, kepercayaan publik terhadap ketegasan dan profesionalitas KPK akan tergerus seperti institusi penegak hukum lainnya.

Semua perjuangan KPK mengantar terdakwa korupsi meringkuk dalam terali besi akan pupus di mata publik, lantaran KPK tidak lagi gigih memperjuangkan keyakinan yang diperoleh dari penyelidikan dan penyidikan. Kedua, gelombang gugatan praperadilan akan menimpa KPK memberi indikasi bahwa penetapan tersangka di KPK mulai meragukan. Dua tersangka, Suryadharma Ali dan Sutan Bhatoegana, mengajukan praperadilan.

Begitu pula salah satu tersangka di kepolisian terkait kasus korupsi dana bansos di Banyumas, menjadi imbas dari sikap diam KPK yang terkesan dibungkus demi kesepakatan. Idealnya KPK melakukan upaya hukum luar biasa ke MA untuk mengoreksi dugaan kekhilafan atau kekeliruan putusan hakim praperadilan.

Koordinasi Efektif

Sebetulnya ada sinyal positif ditunjukkan pimpinan KPK dengan menemui pimpinan Polri dan Jaksa Agung sesaat setelah dilantik sebagai langkah awal komunikasi dan koordinasi yang efektif. Presiden Jokowi juga memanggil Plt Ketua KPK, Jaksa Agung, dan Wakapolri ke Istana Negara (25/2/2015).

Presiden meminta agar tidak ada lagi ego sektoral dan harus bersinergi dalam memberantas korupsi. Untuk menjaga sinergitas ke depan, KPK harus lebih aktif berkomunikasi dengan kepolisian dan kejaksaan. KPK lebih mengintensifkan tugas yang diberikan dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b UU KPK, yaitu melakukan koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan. Ada lima bentuk koordinasi yang perlu dilakukan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU KPK.

Pertama, mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Kedua, menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait.

Keempat, melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kelima, meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Sedangkan tugas supervisi diatur dalam Pasal 8 UU KPK, bahwa KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap kepolisian dan kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan.

Dalam supervisi, KPK berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Koordinasi dan supervisi ini harus dilakukan dengan baik, sebab salah satu tujuan pembentukan KPK adalah mendorong kepolisian dan kejaksaan agar berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi (Konsideran Menimbang huruf b UU KPK).

Bahkan, KPK memiliki fungsi “trigger mechanism“ yang mendorong institusi kepolisian dan kejaksaan berfungsi lebih efektif dan efisien dalam memberantas korupsi. Penyidikan dan penuntutan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan harus disupervisi KPK yang dalam hukum tata negara disebut sebagai implementasi dari “checks and balances“.

Seleksi Pimpinan KPK

Agar KPK tidak terus mendapat kendala dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, sebaiknya paling lambat enam bulan sebelum masa jabatan pimpinan KPK berakhir Desember 2015, presiden menetapkan panitia seleksi untuk menjaring dan memilih calon pimpinan KPK definitif (Pasal 30 ayat 2 UU KPK).

Proses seleksi dilakukan secara transparan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Salah satu syarat untuk diangkat sebagai pimpinan KPK ditegaskan dalam Pasal 29 angka-7 UU KPK, yaitu “cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik”. Maka itu, melihat persoalan yang menimpa Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, panitia seleksi harus mencari sosok calon komisioner KPK yang betul-betul bersih dan steril dari aspek moral dan persoalan hukum masa lalu, sebab realitasnya bisa diungkap kembali.

Tidak cukup hanya mengandalkan tanggapan berupa laporan masyarakat terkait masa lalu calon (Pasal 30 ayat 6 UU KPK), tetapi perlu semacam “pengakuan dosa” dari calon dengan mengungkap semua borok masa lalunya. Semua yang diungkap harus dirahasiakan dan disimpan oleh Penasihat KPK, tetapi panitia seleksi meneliti apakah pengakuan dosa itu berpotensi atau tidak berpotensi dibawa ke ranah hukum setelah terpilih.

Sekiranya ada pihak yang melaporkan masalah yang sudah disampaikan dalam pengakuan dosa harus dijamin tidak akan diproses hukum sebagai bentuk “imunitas” bagi pimpinan KPK. Ini salah satu cara mengantisipasi kemungkinan mencaricari kesalahan massal yang banyak dituding sebagai upaya “kriminalisasi” dengan tujuan hanya sekadar menjadikan pimpinan KPK sebagai tersangka agar diberhentikan sementara dari jabatannya.

Tidak boleh lagi jatuh pada lubang yang sama untuk ketiga kalinya, sebab sudah dua kali pimpinan KPK dilanda serangan semacam itu. Pimpinan KPK ke depan harus betul-betul bersih dari borok masa lalu yang bisa dipersoalkan, sebab melihat indeks persepsi korupsi Indonesia yang tetap di level tinggi, publik ingin noda kecil sekalipun yang bisa menghambat pelaksanaan tugas dan wewenang KPK harus dibersihkan.

Kita ingin kesinambungan KPK ke depan tetap terjaga, semoga publik tetap percaya pada KPK sebagai salah satu institusi pemberantas korupsi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar