Kacau,
Penegakan Hukum di Republik Ini!
Tjipta Lesmana ; Mantan
Anggota Komisi Konstitusi MPR
|
KORAN
SINDO, 04 Maret 2015
Kemarin, 2 Maret 2015, Ketua Pelaksana Tugas Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrahman Ruki menyatakan kepada pers bahwa
kasus Budi Gunawan akan dilimpahkan KPK ke Kejaksaan Agung untuk diselesaikan
secara hukum.
Pernyataan ini disampaikan setelah dia bertemu dan
berdiskusi tentang kasus BG dengan tiga petinggi institusi hukum lain, yakni
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Plt Kapolri Komjen Badrodin Haiti, dan
Jaksa Agung Prasetyo. Hadir juga dalam pertemuan itu Menteri Koordinator
Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno. Sebelumnya, Plt Ketua KPK, Plt Kapolri, dan
Jaksa Agung juga menemui Presiden Jokowi untuk membahas kasus yang sama.
Tidak
diketahui mengapa ketua Mahkamah Agung tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Mungkin para peserta pertemuan
menilai Mahkamah Agung tidak ada urusan dengan kasus BG, minimal pada tingkat
sekarang. Kenapa kasus BG dilimpahkan kepada kejaksaan? Ruki menjawab karena
KPK kalah di pengadilan. Sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan dengan hakim tunggal Sarpin Rizaldi memang menolak ketetapan
tersangka terhadap BG oleh KPK.
Penetapan itu dikatakan tidak sah. Dengan demikian,
gugatan BG dikabulkan (sebagian) oleh praperadilan. Karena KPK dikalahkan,
KPK tidak layak meneruskan penyidikan terhadap BG. Tapi untuk dilimpahkan
kepada Polri, Plt Kapolri Badrodin Haiti sudah menyatakan akan meng-SP3-kan
kasus BG kalau dilimpahkan kepada Polri. Maka seolah-olah hanya terbuka satu
alternatif, yaitu melimpahkan kasus tersebut kepada Kejaksaan.
Johan Budi yang sekarang juga menjabat plt wakil ketua
KPK, dengan wajah lesu, berkilah pelimpahan itu dilakukan karena KPK tidak
bisa mencari jalan lain setelah minta fatwa, atau kasasi, atau peninjauan
kembali (PK) “mentok”. Sekretaris Mahkamah Agung sebelumnya dengan tegas
mengatakan bahwa putusan praperadilan tidak bisa dimintakan kasasi, sedangkan
PK hanya bisa diajukan oleh terpidana atau kuasanya.
Pelimpahan kasus BG kepada Kejaksaan spontan menimbulkan
protes dari para staf KPK. Selasa kemarin, sekitar 300 staf KPK melancarkan
unjuk rasa memprotes keputusan Pak Ruki menyerahkan kasus BG kepada
kejaksaan. Aksi unjuk rasa para staf KPK bisa dimengerti. Menyerahkan
kasus BG kepada kejaksaan sama juga kapitulasi bagi KPK, suatu hal yang tidak
pernah terjadi dalam sejarah KPK.
Memang dalam waktu 5-10 jam setelah Sarpin Rizaldi
menjatuhkan putusannya yang kontroversial itu, sejumlah pakar hukum, bahkan
mantan ketua Mahkamah Agung, mengkritik dan mengecam putusan praperadilan
tersebut. Mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa, misalnya, mengatakan
pertimbangan putusan hakim Sarpin Rizaldi aneh dan mengada-ada. “Memperluas kewenangan praperadilan dengan
alasan tidak diatur, itu kan ngaco. Praperadilan sudah diatur dengan jelas
kewenangannya [dalam Pasal 77 KUHAP],” ujar Tumpa kepada wartawan sebuah
media di Jakarta.
Di Pasal 77 KUHAP, tambah Harifin, hanya ada lima
kewenangan praperadilan, yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penyidikan, penuntutan, dan permintaan ganti rugi. Mantan ketua Mahkamah
Agung itu yakin MA berwenang menguji putusan praperadilan yang diajukan
Komjen Budi Gunawan apabila terdapat penyimpangan kewenangan. Jika dalam
putusannya ada penyimpangan, hakim tunggal Sarpin Rizaldi pun dapat diberi
sanksi.
Mantan
Hakim Agung Djoko Sarwoko
mengkritisi pertimbangan hakim tentang “status” BG yang katanya bukan seorang
penyelenggara negara atau penegak hukum ketika kasusnya terjadi. Menurut
Djoko, Komisaris Jenderal Budi Gunawan merupakan penegak hukum berdasarkan
Undang-Undang Kepolisian. Tapi status tersangka Budi, menurut dia, adalah
materi yang seharusnya masuk di perkara pidana, bukan urusan praperadilan.
“Itu tak masuk lingkup praperadilan, harus diputus dalam
pokok perkara,” kata Djoko. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Jimly Assidiqie
secara implisit juga mengkritik putusan praperadilan. Menurut Jimly, KPK bisa
melanjutkan penyidikannya terhadap BG asal berkasnya diperbaiki. Pendek kata,
putusan
sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengundang pro dan
kontra di kalangan para pakar hukum.
Masyarakat menjadi bingung: yang benar yang mana? Yang
benar pendapat hukum hakim Sarpin Rizaldi atau ahli-ahli hukum “di
seberangnya”? Ditengah-tengah kontroversi itu yang sebetulnya berakibat “the game is not over“, pimpinan KPK
yang baru dengan tegas mengatakan KPK sudah kalah di praperadilan. Oleh sebab itu,
KPK tidak berhak lagi melanjutkan perkara Budi
Gunawan.
Mahkamah Agung mestinya turun tangan,
minimal mengeluarkan fatwa hukum tentang kontroversi putusan praperadilan atas
gugatan BG. Bukankah Mahkamah Agung itu lembaga peradilan tertinggi di negara
kita? Dan berdasarkan UU No 14 Tahun
1985, MA mempunyai kewenangan yang sangat luas. Perhatikan baik-baik bunyi
Pasal 32 U No 14 Tahun 1985: (1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan
tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan
dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan
para hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya. (3)
Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang
bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan. (4)
Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang
dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan.
(5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan
dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara.
Anehnya, pimpinan Mahkamah Agung sekarang tidak peka
melihat kontroversi yang begitu dahsyat atas putusan hakim Sarpin Rizaldi.
Memang seorang hakim itu punya otonomi mutlak dalam memutus perkara; siapa
pun tidak boleh campur tangan. Kita pun harus menghormati putusan
praperadilan tersebut. Namun ketika kontroversi atas putusan hakim “meledak” di
masyarakat, apalagi banyak pakar hukum termasuk ketua
Mahkamah Agung ikut bersuara keras, Mahkamah Agung tidak boleh diam.
Diam mengandung meta-meaning pelecehan terhadap pendapat hukum sesama rekan,
sesama hakim agung. Diam juga mengandung meta-meaning membenarkan putusan
praperadilan terkait kasus BG. Mahkamah Agung tidak boleh diam, sebab putusan
16 Februari itu membawa implikasi luas.
Pertama, mereka yang oleh KPK kini berstatus “tersangka”
akan berbondong-bondong membawa kasusnya ke praperadilan. Pengadilan pun
tidak boleh menolak gugatan para tersangka. Mantan Ketua Umum Partai
Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali dan anggota DPR Sutan Bhatoegana sudah
melayangkan surat gugatan kepada pengadilan. Lalu, bagaimana hakim
praperadilan harus bersikap? Yang lainnya pasti menyusul.
Kedua, jika banyak tersangka mengajukan gugatan di
praperadilan, legitimasi dan kehormatan KPK akan melorot. Apa ini yang memang
ditujukan kelompok-kelompok tertentu, untuk mematikan KPK?
Ketiga, bagaimana pula dengan pembelajaran hukum kepada
para mahasiswa hukum kita? Bagaimana para staf pengajar harus menjelaskan isi
Pasal 77 KUHAP kepada para mahasiswanya? Bukankah putusan hakim Sarpin
Rizaldi membuka kontroversi interpretasi atas Pasal 77 KUHAP?
Seolah-olah kini terdapat gap besar antara das sein dan des sollen, antara yang jadi
kenyataan dan yang seharusnya dalam Pasal 77 KUHAP. Ah, kacau dan
membingungkan memang penegakan hukum di Republik tercinta kita ini! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar