Kamis, 05 Maret 2015

Kedaulatan para Siluman

Kedaulatan para Siluman

Siti Marwiyah  ;  Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya
MEDIA INDONESIA, 04 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

AM Rahman, penulis buku berjudul Badai Serigala (2009) menulis “belalah koruptor, negeri pasti terkapar, belalah koruptor, negeri pasti telantar, belalah koruptor, negeri pasti terbakar, belalah koruptor, negeri pasti terkubur, belalah koruptor, negeri ini pasti hancur, belalah koruptor, rakyat pasti lebur“.

Tulisan itu dapat ditangkap sebagai kritik keras yang mengingatkan para penyelenggara negara bahwa seharusnya koruptor wajib dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy) dan terbesar negara yang diperangi secara maksimal dan konsisten serta bukan sebagai `teman' yang dibela. Di negeri ini, koruptor memang jenis perampok elitis atau `begal berdasi'. Pasalnya, apa yang diperbuat bukan hanya telah mengakibatkan kerugian besar pada bangsa dan negara ini, melainkan juga sepak terjangnya yang serbalicin dan tidak gampang diendus.

`Para siluman' di Pemprov DKI yang sedang digasak oleh Gubernur Ahok karena diduga kuat menitipkan dana siluman ke dalam APBD, merupakan kekuatan berjaringan yang sudah lama menancapkan akar-akarnya. Dengan kekuatannya ini, mereka tidak mudah diberantas. Sangat pantas kalau Ahok geram dan membawa kasus itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, dana yang dititipkan sebagai siluman dalam APBD DKI tidak kurang dari Rp12 triliun.

Koruptor merupakan jenis perampok elitis yang telah mengakibatkan kerugian besar. Korupsi telah `biasa' dilakukan dari tingkat aparat paling rendah, Ketua RT, hingga pejabat tinggi negara. Pada 2011, terdapat 436 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1.053 orang. Potensi kerugian negara akibat korupsi ini ialah Rp2,169 triliun. Yang menarik ialah kebanyakan pelaku korupsi itu memiliki latar belakang pegawai negeri sipil (PNS). Tersangka berlatar belakang PNS menempati urutan teratas dengan jumlah 239 orang, kemudian diikuti oleh direktur atau pimpinan perusahaan swasta dengan 190 orang, serta anggota DPR/DPRD berjumlah 99 orang.

Para oknum PNS itu diajak atau dijadikan sebagai tangan-tangan gaib oleh para elite politik (DPRD). Para elite ini tidak akan bisa mencairkan uang atau dana silumannya tanpa adanya dukungan dari para PNS atau setidak-tidaknya modus operandinya melibatkan pegawai atau pimpinan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). Itu artinya ‘berkat’ anggaran yang dititipkan oleh para ‘siluman’, akhirnya koruptor merajalela. Mereka saling bahu-membahu atau berjemaah untuk mengakali dan mengadali uang negara. Banyak sektor strategis seperti pendidikan yang memerlukan dana tidak sedikit untuk mengembangkannya, akhirnya menjadi sektor yang tetap sulit diajak maju akibat dijangkiti ‘para siluman’.

Semestinya setiap pimpinan minimal mengadopsi gaya Ahok. Artinya koruptor tak perlu ditempatkan sebagai ‘kawan’ atau mitra kekuasaan dalam membangun kekuatan politik. Pasalnya, mereka telah membuat wajah negeri ini semakin sengkarut dan menjadikan rakyat terpuruk dalam kompilasi penderitaan. Ironisnya, banyak elemen struktural dan tokoh-tokoh di masyarakat dan bangsa ini yang lebih suka berkawan atau menjalin ‘persaudaraan’ dekat dengan koruptor. Mereka mau saja disuruh tanda tangan atau mengamini proyek-proyek yang tidak riil yang dilakukan ‘para siluman’.

Akibat diamini itu, ‘para siluman’ semakin berdaulat. Mereka sukses mengemas dirinya menjadi raja-raja kecil sambil pergi ke mana-mana menabur apologi kalau otonomi daerah itu identik bisa berbuat apa saja terhadap APBD. Mereka didukung oleh beberapa elemen politik, sosial, ekonomi, dan bahkan agama untuk menyukseskan proyek proyek aspal.

‘Para siluman’ itu akhirnya berhasil mencengkeram berbagai kekuatan di tengah masyarakat. Bahkan, aparat penegak hukum yang semula berujar mau membersihkan penyakit yang mengkleptokrasi APBD atau berjanji akan membersihkan Bumi Pertiwi dari ‘para siluman’, ternyata begitu sudah berkawan, mereka kehilangan nyali dan mental militansinya.

Setelah mereka itu berdekatan dan dimanjakan oleh ‘para siluman’, mereka lantas kehilangan jiwa independensi dan ‘suara sucinya’, bahkan berparadigma politik terbalik dalam memberikan ruang pada koruptor atau kandidat koruptor untuk merumuskan dan menerapkan jurus-jurus yang bisa menghabisi atau minimal melemahkan sakralitas norma yuridis.

Siapa pun elemen bangsa ini, khususnya pilar utamanya yang masih berpikiran jernih atau cerdas tentulah mengakui kalau perilaku ‘para siluman’ atas APBD merupakan kejahatan yang terbilang sangat serius atau sebagai penyakit kanker yang potensial menghancurkanleburkan negeri ini. Siapa yang menganggap ‘para siluman’ itu penyakit remeh, berarti menyerahkan nasib rakyat negeri ini ke tiang gantungan kematiannya. Pasalnya, kekuatan APBD yang notabene sebagai kekuatan fundamental rakyat digerogoti sehingga APBD yang semestinya secara proporsional dan objektif mampu menyukseskan pembangunan, akhirterganjal akibat sebagian kekuatan (uangnya) telah berpindah ke kantong-kantong ‘para siluman’.

Memang ada beberapa ‘siluman’ yang dapat dijerat dan dikenai hukuman beberapa tahun penjara, tetapi layaknya pepatah ‘mati satu tumbuh seribu’, maka ‘para siluman’ ini pun tetap berjalan jemawa dalam keberdayaan atau kedigdayaannya akibat berlakunya politik pemanjaan yang diberikan tempat melindungi dan bahkan membenarkannya.

Aparat penegak hukum, khususnya melalui KPK memang sudah berhasil mengantarkan sebagian ‘para siluman’ menghuni sel hotel prodeo, tetapi beberapa orang yang jumlahnya lebih banyak terus bermunculan menunjukkan aksinya akibat nihilitas konsistensi dalam menjaga atau membumikan khitah moral perlawanan terhadap ‘para siluman’.

Segmen elite white collar crime itu secara tidak langsung kita berikan kelonggaran tampil lebih progresif, berani, lihai, terorganisasi, atau mengabsolut dalam menyebarkan dan menyuburkan penyakitnya di mana-mana. Itulah yang pernah diingatkan oleh Albert Einstein, bahwa dunia ini menjadi semakin tidak aman untuk dihuni, bukan semata disebabkan oleh ulah para penjahat, melainkan akibat sikap kita yang membiarkannya.

Pendapat itu menunjukkan bahwa ‘para siluman’ sampai demikian kuat dan berkelanjutan menggerogoti APBD, tidak semata-mata karena mereka berkekuatan hebat dalam menjalankan aksi-aksinya, tetapi akibat sikap kita yang menoleransi, bahkan memberikan ruang liberal dan absolut untuk melakukannya. Kita tidak boleh membiarkan kebejatan itu berlanjut. Ulah ‘para siluman’ wajib kita hentikan. Caranya, kita wajib bersikap kritis dan bahkan kalau perlu radikal terhadap setiap tawaran pengesahan atau pembenaran proyek-proyek ilegal atau proyek-proyek yang tidak sesuai kebenarannya. Kita berani tidak mengamini siapa pun yang bermaksud menawarkan proyek-proyek salah alamat.

Masih tetap bersemainya kasus korupsi APBD atau mencengkeramnya kekuatan sindikasi koruptor di negeri ini mengindikasikan bahwa kita masih kalah bertarung dengan ‘para siluman’ atau belum menempatkan khitah moral perlawanan terhadapnya. Kondisi inilah yang wajib kita benahi bersama manakala kita memang menginginkan negeri ini terbebas dari hegemoni ‘para siluman’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar