Misfit
vs Problem Solver
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 19 Maret 2015
”Jika Anda mengambil 20
karyawan terbaik Microsoft, saya pastikan Microsoft (dengan sisa karyawannya)
akan menjadi perusahaan yang sama sekali tidak penting.”
Kalimat
tersebut sejatinya keluar dari mulut Bill Gates, pendiri yang juga pemilik
Microsoft, tetapi kini pantas diucapkan oleh hampir semua taipan papan atas
Indonesia. Nasib mereka ada di tangan orang-orang penting yang loyal, gesit,
dan berdedikasi. Bagi sebagian kita, ucapan Bill Gates tadi mungkin terdengar
mengejutkan.
Bagaimana
mungkin perusahaan sebesar Microsoft, yang pada tahun 2014 mampu membukukan
pendapatan USD77,85 miliar, profit USD21,86 miliar, dan memiliki 122.935
karyawan yang tersebar di seluruh dunia, hanya bergantung kepada segelintir
orang? Nyatanya begitu. Setidak-tidaknya jika kita percaya pada pengakuan
Bill Gates. Namun sejatinya fenomena semacam itu tak hanya terjadi di
Microsoft, tetapi juga pada hampir semua perusahaan.
Baik
perusahaan multinasional sekelas Microsoft maupun yang hanya berskala
nasional. Lalu, siapakah kelompok 20 orang terbaik tersebut? Kita pakai saja
formula Jack Welch. Menurut mantan CEO General Electric tersebut, dari
seluruh karyawan perusahaan, sebanyak 20% merupakan top performer (bahkan dalam banyak hal, hukum Pareto ini dapat
difokuskan lagi menjadi hanya 0,1%), lalu 70% akan menjadi middle performer,
dan 10% sisanya adalah low performer.
Agak
mirip dengan ucapan George Barnard Shaw yang menyebutkan hanya 2% manusia
yang benar-benar mau berpikir dalam hidup ini. Nah mereka yang berpikir
itulah yang mencari jalan, memimpin perubahan, mengambil inisiatif dan
risiko, serta menemukan masa depan. Banyak perusahaan menyebut kelompok top performer dengan istilah yang
berbeda-beda. Ada yang menyebutnya winning
team, key persons, champion team, atau superkeepers.
Adapun
saya menyebutnya sebagai great drivers
(lihat buku Self Driving, 2014). Apa
pun sebutannya dan berapa pun persentasenya (yang jelas mereka adalah bagian
yang amat kecil), orang-orang pilihan itu adalah harta tak kelihatan yang
menjadi kekayaan perusahaan. Mereka mempunyai kinerja prima dan mampu
menginspirasi koleganya. Inilah sosok- sosok yang dinilai mampu membangun
kompetensi utama perusahaan.
Dalam
kasus Microsoft, mereka adalah orang-orang yang tahu betul software yang
kelak menjadi kebutuhan masyarakat. Lalu, tahu bagaimana menciptakan
kebutuhan, kapan mesti diluncurkan, perusahaan mana yang mesti diakuisisi
untuk mewujudkan gagasan tersebut, dan memastikan bahwa software tersebut tak
memiliki pesaing. Jadi, mereka bukan sekadar sekelompok orang yang
mengantisipasi datangnya masa depan, melainkan menciptakan masa depan itu
sendiri.
Mereka
bukan mengantisipasi permintaan, tetapi justru menciptakan permintaan. Bagi
banyak perusahaan, ternyata gampang-gampang susah mengenali orang-orang
unggulan yang seperti ini. Sebab selain jumlahnya tidak banyak, mereka
biasanya kurang suka menonjolkan diri. Mereka kurang suka banyak bicara
karena terlalu asyik bekerja. Jadi bekerja adalah passion mereka.
Mereka
biasanya juga memiliki mindset sebagai problem
solvers. Kalau ada masalah, orientasinya bukan mencari siapa yang salah,
tetapi apa yang salah dan yang lebih penting lagi bagaimana memperbaikinya.
Apa yang mereka lakukan ini mirip dengan ungkapan Betty Williams, pemenang
hadiah Nobel Perdamaian tahun 1976, ”There’s
no use talking about the problem unless you talk about the solution.”
Suka Mencari Kesalahan
Di
dunia ini kita hidup berpasang-pasangan. Jika ada siang, tentu ada malam.
Jika ada putih, ada pula warna hitam. Ada pro, ada pula yang kontra. Begitu pula
untuk the winning team atau para great driver, mereka juga memiliki
pasangannya. Oleh sebagian perusahaan pasangannya itu disebut sebagai the fatalist, the losser, trouble maker atau
kalau Lance Berger & Dorothy Berger biasa mengistilahkan mereka dengan
sebutan misfit.
Saya
menyebutnya sebagai bad passengers dan bad drivers. Ada yang bermental driver, tetapi perilakunya merusak,
hanya menggosok orang lain agar menentang atau melakukan tindakan tak
produktif, banyak mengeluh dan mengambil energi orang lain. Adapun bad passengers, sudah cuma menumpang,
merusak yang lain pula. Sama seperti tipe top
performer, agak gampang-gampang susah mengidentifikasi tipe-tipe orang
yang termasuk dalam kelompok misfit atau bad
passengers (dan bad drivers)
itu.
Kita
butuh waktu yang cukup untuk membaca mereka. Di Rumah Perubahan kami perlu waktu tiga hari untuk mengajak mereka
membuka diri dan merestorasi kembali mental itu. Itu pun sebaiknya diikat
dengan program recoding DNA yang
menjadi tugas para atasan begitu mereka kembali. Para misfit ini biasanya
lebih suka mencari siapa yang salah dan sibuk membesar-besarkan masalah.
Mereka
gampang mengeluh, selalu tidak puas. Komplain melulu. Mereka juga lebih suka
melihat kelemahan orang lain ketimbang kelebihannya dan tak suka melihat
orang sukses. Mereka ini biasanya juga kritikus ulung. Setelah kami pelajari,
ternyata mereka sejatinya terdiri atas orang-orang yang butuh kasih sayang
kita dengan segudang masalah batiniah.
Adapun
perilaku buruknya yang diungkapkan secara terbuka ternyata hanyalah sebuah
bentuk pengalihan saja dari rasa ”sakit”-nya yang tak terperikan. Bagi yang
mengikuti ributribut antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan
DPRD, yang benar-benar tak ikut-ikutan secara ideologis atau bisnis, tentu
kita bisa dengan mudah menemukan siapa misfit-nya.
Bagi
Anda yang pernah menonton film In Good
Company, mungkin bisa menemukannya dalam sosok Dan Foreman, seorang head of executive sales & advertising
berusia 51 tahun. Itu dimulai ketika perusahaan Foreman diakuisisi dan dia
dimutasi. Foreman ditempatkan sebagai bawahan dari seorang eksekutif bau
kencur yang baru lulus sekolah yang usianya baru 26 tahun.
Coba
bayangkan kalau Anda ditempatkan pada posisi Foreman: dulunya eksekutif
andal, karena suasana berubah, segala kenikmatannya diambil orang lain,
heroismenya pun beralih, membuatnya ia berbalik menjadi pembuat ulah.
Menghadapi orang-orang yang seperti Foreman kini menjadi pengalaman yang
biasa bagi saya. Itulah sebabnya mudah bagi saya mengidentifikasinya,
seberapa pun mereka memasang topeng atau tipu muslihat.
Dalam
membantu proses transformasi, hal seperti ini pun bisa kita atasi asalkan
pemimpinnya teguh, tak buru-buru diganti, dan tentu saja bukan kompromi yang
diambil. Bukannya apaapa, banyak orang yang membacanya seakan-akan ini adalah
konflik besar yang butuh juru damai. Padahal solusinya bukan kompromi, tetapi
sebuah perubahan mendasar.
70-20-10
Sebetulnya
tidak sulit-sulit amat menghadapi para misfit. Dalam beberapa segi, beberapa
di antara mereka dapat kita ubah menjadi sumber daya. Para misfit ini tidak
terbentuk dengan sendirinya. Juga tidak terbentuk seketika. Membutuhkan
proses yang panjang dan waktu yang lama sampai akhirnya mereka terbentuk
menjadi seperti itu.
Menurut
Dave Ulrich & Norm Smallwood (2004), sekitar 70% proses pembelajaran
sebenarnya terjadi dalam aktivitas sehari-hari, dalam pekerjaan sehari-hari.
Lalu, 20%-nya diperoleh lewat sharing
pengalaman dan observasi, belajar dari para role model atau melalui proses mentoring.
Sementara
yang 10% sisanya belajar dalam kelas-kelas formal, training, workshop atau seminar. Melihat besarnya porsi
pembelajaran dari pekerjaan sehari-hari, penting bagi kita untuk sesegera
mungkin mengoreksi kekeliruan. Membiarkan kekeliruan berlarut-larut akan
membuat kita terbiasa, lalu membudaya dan akhirnya tertanam menjadi mindset. Kalau sudah begini, susah
mengubahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar