Menyelamatkan
Penegakan Hukum Indonesia
Pangki T Hidayat ; Direktur Eksekutif Research Center for
Democratic Education; Pegiat Forum Kolumnis Muda Jogja
|
KOMPAS,
16 Maret 2015
Vis
a vis ”terselubung” yang terjadi di antara dua institusi penting penegak
hukum negara ini, yaitu antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, melahirkan sebuah resistensi di masyarakat yang
justru berpotensi meluluhlantakkan marwah penegak dan penegakan hukum itu
sendiri.
Resistensi
tersebut secara nyata terlihat dari realitas terbelahnya dukungan masyarakat
terhadap dua institusi penegak hukum itu. Sebagian masyarakat secara
terang-terangan mendukung KPK dengan argumentasi pelemahan KPK akan berdampak
pada terhambatnya pemberantasan korupsi.
Itu
sebabnya kemudian muncul wacana dari aktivis dan relawan anti korupsi untuk
mendorong Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) Imunitas bagi KPK. Dengan begitu, upaya
”kriminalisasi” terhadap KPK yang terjadi secara masif, terstruktur, dan
sistematis seperti belakangan ini dapat dihindarkan.
Sementara
sebagian masyarakat berada di sisi yang lain. Meskipun dari segi jumlah
secara kasatmata lebih sedikit daripada masyarakat pendukung KPK, arus
dukungan yang diberikan tetap kuat dan konsisten. Konsistensi itu terlihat
dari hadirnya pendukung Polri dalam beberapa momen penting tertentu, salah
satunya pada saat sidang perdana praperadilan Budi Gunawan digelar
(2/2/2015).
Argumentasi
yang diberikan masyarakat pendukung Polri jika ditelaah secara mendalam
sebenarnya juga sangat relevan bagi KPK, yaitu tidak boleh ada ”mafia hukum”
yang bersembunyi di balik KPK. Ini penting mengingat KPK dianggap institusi
yang bersih sehingga komisioner dan penyidiknya harus bersih pula, utamanya
dari kasus-kasus pelanggaran hukum.
Tak
heran mereka pun menentang keras atas adanya wacana untuk mengeluarkan Perppu
Imunitas bagi KPK. Maka, jika ada anggota KPK, termasuk jajaran pimpinan KPK,
yang terindikasi melakukan tindakan melanggar hukum harus segera diproses
secara hukum. Tidak boleh ada tebang pilih dan pembedaan perlakuan di depan
hukum sebagaimana ketentuan Pasal 28D Ayat (1) yang berbunyi, ”Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Meluruskan opini publik
Alih-alih
menunjukkan ketegasannya dalam menyikapi vis a vis antara KPK dan Polri,
Presiden Jokowi yang dikenal dengan ”anti logika-nya” ketika menyelesaikan
sebuah persoalan justru bersikap normatif dan pragmatis. Hal itu tergambar
jelas dari isi pidato Presiden Jokowi di Istana Negara (25/1/2015) yang pada
intinya menyatakan bahwa tidak boleh ada kriminalisasi dan intervensi atas
proses hukum yang tengah dilakukan KPK dan Polri.
Perspektif
senada juga diungkapkan Zainal Arifin Mochtar. Dosen Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada yang sekaligus merupakan Direktur Pusat Kajian
Antikorupsi (Pukat) UGM ini menyebut substansi pidato Presiden Jokowi terkait
polemik KPK vs Polri normatif, layaknya hanya seperti mengajak ”ayo kita berbuat baik”.
Namun,
terlepas dari itu semua, sesungguhnya yang terpenting bagi Presiden Jokowi
saat ini adalah mampu meluruskan opini yang terbentuk di mata publik, yaitu
dukungan masyarakat tidak semestinya hanya diarahkan pada KPK atau Polri
sebagai institusi. Akan tetapi, substansi vital yang lebih penting dari hal
itu, yakni dukungan masyarakat secara mutlak seharusnya diarahkan pada upaya
menyelamatkan marwah penegakan hukum itu sendiri.
Dalam
konteks konfrontasi ”terselubung” antara KPK dan Polri, upaya untuk
menyelamatkan marwah penegak dan penegakan—hukum sekaligus upaya
menyelamatkan KPK dan Polri secara institusi dapat dilakukan oleh Presiden
Jokowi dengan mendorong dihidupkannya kembali Forum Previlegiatum, yaitu peradilan khusus bagi pejabat negara
yang terindikasi melakukan pelanggaran hukum.
Legalitas hukum
Mengingat
peradilan ini bersifat khusus, batasan-batasan terkait kasus hukum yang bisa
dibawa ke forum ini juga harus dijabarkan secara jelas dan tegas. Semisal,
tindakan pelanggaran hukum pejabat negara yang menimbulkan kerugian keuangan
negara di atas Rp 1 miliar. Dengan demikian, tidak sembarangan kasus hukum,
terlebih lagi hanya kasus hukum ecek-ecek, yang kemudian dibawa ke peradilan
khusus tersebut.
Secara
lebih spesifik, anggota Forum
Previlegiatum nantinya bisa berasal dari Mahkamah Agung (MA). Sesuai
konstitusi, kewenangan ini dimungkinkan sebagaimana bunyi Pasal 24A Ayat (3)
UUD 1945, ”MA berwenang mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang”. Ini berarti, Presiden bisa memberikan tambahan kewenangan
kepada MA, utamanya terkait pembentukan Forum
Previlegiatum, dengan terlebih dahulu menggunakan hak prerogatifnya dalam
hal mengeluarkan perppu.
Merujuk
Pasal 22 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945, perppu kemudian bisa menjadi
undang-undang jika mendapatkan persetujuan dari DPR di persidangan
berikutnya. Pada titik inilah, Presiden Jokowi mesti menjalin konsolidasi dan
komunikasi politik intensif dengan elite-elite politik DPR. Dengan begitu,
dapat tercipta dukungan kuat terhadap pengesahan perppu penambahan kewenangan
MA terkait pembentukan Forum Previlegiatum menjadi undang-undang.
Mengakhiri
uraian ini, seyogianya Presiden Jokowi dapat lebih proaktif dalam upaya
menyelamatkan marwah penegak dan penegakan hukum negeri ini. Maka,
menghidupkan kembali Forum Previlegiatum bisa menjadi pilihan yang tepat bagi
Presiden Jokowi.
Hadirnya
Forum Previlegiatum akan dapat menghindarkan terjadinya conflict of interest,
baik yang terjadi antara individu sebagai penegak hukum maupun antarinstitusi
penegak hukum itu sendiri. Demikian juga dari perspektif waktu pembuktian
hukumnya, akan dapat berjalan lebih cepat.
Keberadaan
forum ini secara tidak langsung juga dapat memberikan keuntungan bagi
masyarakat. Sebab, kekosongan jabatan publik dalam waktu relatif lama yang
tentunya berimplikasi negatif pada pelayanan publik dapat dihindarkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar