Revolusi
Pancasila
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
|
KOMPAS,
16 Maret 2015
Orang
bilang, tanah kita tanah surga; kaya sumber daya, indah-permai bagai untaian
zamrud yang melilit khatulistiwa. Namun, di taman nirwana dunia timur ini,
kelimpahan mata air kehidupan mudah berubah menjadi air mata. Kekuasaan
datang-hilang, silih berganti membuai mimpi; tetapi nasib rakyatnya tetap
sama, kekal menderita.
Mimpi
indah kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju perikehidupan bangsa yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur lekas menjelma menjadi mimpi buruk:
tertindas, terpecah belah, terjajah, timpang, miskin.
Boleh
dikatakan, pemerintahan negara gagal menunaikan kewajibannya untuk
”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial”.
Neraka di tanah surga
Pada
basis material, perwujudan masyarakat adil dan makmur tercegat oleh
merajalelanya keserakahan kapitalisme predatoris. Usaha bersama berlandaskan
semangat tolong-menolong (koperasi) tertikam oleh usaha perseorangan yang
saling mematikan. Kemakmuran masyarakat disisihkan oleh kemakmuran orang
seorang. Kesenjangan sosial melebar, menjauh dari cita-cita keadilan sosial.
Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak, yang mestinya dikuasai oleh negara, jatuh ke tangan penguasaan orang
seorang dan modal asing, menjadikan rakyat banyak sebagai tindasan segelintir
orang kuat.
Begitu
pun bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok
kemakmuran rakyat, yang seharusnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan
bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, semakin dikuasai oleh orang seorang
bagi sebesar-besar kemakmuran segolongan kecil dan orang asing. Perampasan
dan perusakan sumber daya alam oleh pemodal kuat terjadi secara sistematis,
masif, dan terstruktur, menyisakan malapetaka ekologis, ketidakadilan, dan
keterancaman kesinambungan pembangunan.
Pada
langit mental, semangat ketuhanan yang mestinya menjadi bantalan etis, etos,
dan welas asih terdangkalkan oleh
formalisme dan egoisme keagamaan. Kemanusiaan yang mestinya mengarah pada
kederajatan dan persaudaraan manusia terlumpuhkan oleh individualisme,
konsumerisme dan hedonisme, keserakahan menimbun, serta cinta status dan
kekuasaan.
Keragaman
yang mestinya memberi wahana saling mengenal, saling belajar, saling
menyempurnakan untuk menguatkan persatuan justru menjadi wahana saling
menyangkal, saling mengucilkan, dan saling meniadakan yang mengarah pada
kelumpuhan dan kehancuran bersama.
Pada
ranah politik—sebagai agen perantara dalam perubahan sistem
sosial—konsentrasi kekuatan nasional bagi transformasi ranah material dan
mental menuju perwujudan masyarakat pancasilais yang berkekeluargaan dan
berkeadilan tercabik oleh pengadopsian model demokrasi yang tidak selaras
dengan dasar falsafah dan kepribadian bangsa.
Perwujudan
demokrasi permusyawaratan sebagai wahana penguatan negara persatuan (yang
mengatasi paham perseorangan dan golongan) dan negara kesejahteraan (yang
berorientasi keadilan sosial) tercegat oleh hambatan-hambatan kultural,
institusional, dan struktural.
Pada
tingkat kultural, politik sebagai teknik mengalami kemajuan, tetapi politik
sebagai etik mengalami kemunduran. Perangkat keras—prosedur
demokrasinya—terlihat relatif lebih demokratis; tetapi perangkat lunak—budaya
demokrasinya—masih tetap nepotis-feodalistis; pemerintahan demokratis tidak
diikuti oleh meritokrasi (pemerintahan orang-orang berprestasi), malahan
sebaliknya cenderung diikuti mediokrasi (pemerintahan orang sedang-sedang
saja); perluasan partisipasi politik beriringan dengan perluasan partisipasi
korupsi.
Pada
tingkat institusional, desain institusi demokrasi terlalu menekankan pada
kekuatan alokatif (sumber dana) ketimbang kekuatan otoritatif (kapasitas
manusia). Demokrasi padat modal melambungkan biaya kekuasaan, mengakibatkan
perekonomian biaya tinggi (high cost
economy), dan merebakkan korupsi.
Demokrasi
yang ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat segelintir orang;
demokrasi yang ingin memperkuat cita-cita republikanisme dan nasionalisme
kewargaan (civic nationalism)
justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme (putra daerahisme).
Demokrasi yang mestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan, dan daulat
rakyat justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan, dan ketakberdayaan rakyat.
Pada
tingkat struktural, kecenderungan untuk mengadopsi model-model demokrasi
”liberal” tanpa menyesuaikannya secara saksama dengan kondisi sosial-ekonomi
masyarakat Indonesia justru dapat melemahkan demokrasi.
Sementara
demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan kesejahteraan, pilihan desain
demokrasi kita justru sering kali memperlebar ketidaksetaraan dan
ketidakadilan. Situasi ini kian memburuk dengan menguatnya penetrasi
neoliberalisme yang memperkuat individualisme dan memaksakan relasi pasar
dalam segala bidang kehidupan. Kekuatan demokrasi perwakilan menjadi lumpuh
ketika kepentingan minoritas pemodal lebih aktif dan ampuh mengendalikan
politik daripada institusi-institusi publik.
Demokrasi
tidak lagi menjadi sarana efektif bagi kekuatan kolektif untuk mengendalikan
kepentingan perseorangan, malahan berbalik arah menjadi sarana efektif bagi
kepentingan perseorangan untuk mengontrol institusi dan kebijakan publik; res
publica (urusan umum) tunduk di bawah kendali res privata (urusan privat).
Dengan
demikian, yang kita dapati di seberang jembatan emas kemerdekaan adalah jalan
bercabang dua. Jalan yang satu adalah jalan mulus bagi segelintir orang yang
hidup berkelimpahan; sama dapat, sama bahagia; sedangkan jalan yang satu lagi
adalah jalan terjal bagi kebanyakan orang yang hidup berkekurangan; sama
ratap, sama sengsara.
Semangat
persaudaraan kebangsaan sejati hancur. Warga berlomba mengkhianati negara dan
sesamanya; rasa saling percaya pudar karena sumpah dan keimanan
disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam penyalahgunaan
kekuasaan; ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Semuanya
berujung pada kegelapan dan kebiadaban: kebaikan dimusuhi, kejahatan
diagungkan. Keadaan demikian akan mengantarkan negara ini ke tubir jurang perpecahan
dan kebinasaan. Pilihannya, apakah kita biarkan Indonesia hancur atau bangkit
bertempur.
Pengalaman
ketertindasan, diskriminasi, dan eksploitasi memang pantas disesali dan
dimusuhi. Namun, manusia tidaklah hidup sekadar untuk memerangi keburukan. Mereka
hidup dengan tujuan yang positif, untuk menghadirkan kebaikan.
Kebiasaan
kita untuk mengutuk masa lalu dengan mengulanginya, bukan dengan
melampauinya, membuat perilaku politik Indonesia tak pernah melampaui fase
kekanak-kanakannya (regressive politics).
Melampaui
masa lalu diperlukan konsepsi patriotisme yang lebih progresif. Patriotisme
yang tidak cuma bersandar pada apa yang bisa dilawan, tetapi juga pada apa
yang bisa ditawarkan. Proyek historisnya bukan hanya menjebol, melainkan juga
membangun, memperbaiki keadaan negeri. Itulah tugas historis generasi
pelanjut!
Apa yang harus dilakukan?
Akutnya
krisis yang melanda bangsa ini mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya kita
memerlukan lebih dari sekadar jawaban politik biasa (politics as usual) yang
bersifat tambal sulam. Bobot krisis yang begitu luas cakupannya dan dalam
penetrasinya ini hanya bisa dipecahkan melalui penjebolan dan penataan ulang
secara mendasar sistem bernegara.
Semuanya
ini memanggil para patriot bangsa untuk menghidupkan kembali api revolusi;
mengarungi dinamika, romantika, dan logika revolusi; yang sejalan dengan
falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri.
Keberhasilan
revolusi nasional yang dipimpin oleh para pendiri bangsa dalam mencapai
kemerdekaan Indonesia harus dilanjutkan dengan revolusi sosial untuk
mewujudkan perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur. Revolusi nasional berhasil berkat usaha para pejuang bangsa untuk
”mempancasilakan revolusi”.
Artinya,
revolusi kemerdekaan itu didarahi dengan semangat inklusif moral Pancasila
melalui pengikatan komitmen bersama dari seluruh elemen revolusioner lintas
etnis, agama, ideologi, dan kelas sosial.
Keberhasilan
revolusi sosial tidak cukup dengan cara ”mempancasilakan revolusi”; malah
yang lebih mendesak adalah cara ”merevolusikan Pancasila”. Artinya, Pancasila
tidak cukup sebagai alat persatuan, tetapi juga harus menjadi
praksis-ideologis yang memiliki kekuatan riil dalam melakukan perombakan
mendasar pada ranah material dan mental sebagai katalis bagi perwujudan
keadilan sosial.
Singkat
kata, apa yang harus kita lakukan adalah mengobarkan Revolusi Pancasila! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar