Revolusi
Institusional, Bukan Revolusi Mental
Abdul Malik Gismar ; Associate Director Paramadina Graduate
School
|
KOMPAS,
16 Maret 2015
Ketika
Joko Widodo mencanangkan revolusi mental, ia sebenarnya terlambat lebih dari
15 tahun. Sebaliknya, majalah Far
Eastern Economic Review edisi 28 Mei 1998 terlalu dini mendeklarasikan Indonesia’s May Revolution. Jokowi
terlambat karena revolusi mental di Indonesia sudah terjadi pada Mei 1998;
FEER terlalu dini karena apa yang terjadi pada Mei 1998 bukanlah revolusi
total yang mereka bayangkan.
Setiap
momen revolusi ”mentransformasi hati dan pikiran orang-orang yang terlibat di
dalamnya”, kata jurnalis-petualang Ryszard Kapuscinski. Reformasi Mei 1998
adalah suatu momen revolusi. Bukan revolusi politik, melainkan suatu revolusi
psikis, revolusi mental. Ia mengentak bangsa Indonesia dari kematirasaan
psikis (psychic numbing)—suatu
kecenderungan untuk menghindar, tidak mau terlibat, tidak peduli, dan apatis
terhadap segala penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan,
penindasan, dan sebagainya.
Kematirasaan
psikis membuat manusia menerima dan membiarkan segala macam kejahatan
berlangsung di hadapannya tanpa munculnya rasa marah, sedih, atau benci
seolah-olah dunia batinnya tertidur lelap. Kondisi itu merupakan akibat dari
atmosfer represif yang begitu lama mewarnai kehidupan sehari-hari selama masa
Orde Baru yang mengajarkan ”tidak usah macam-macam” demi keselamatan diri.
Gaung
reformasi yang terdengar di segala penjuru negeri menyadarkan bangsa
Indonesia bahwa kejahatan (kriminalitas, tipu-tipu politik, korupsi, dan
semacamnya) akan berjaya apabila mereka tidak turut menyeru pada kebaikan dan
mencegah kemungkaran; bangsa ini telah sadar bahwa, meminjam ungkapan
negarawan Inggris abad ke-18 Edmund Burke, the only thing necessary for the triumph of evil is for good men (and
women) to do nothing.
Sudah
terbukti bahwa sikap peduli ini dapat melahirkan gelombang besar volunterisme
semua lapisan masyarakat sebagaimana kita lihat dalam dukungan dan aktivisme
sukarelawan (bukan bayaran) yang memastikan terpilihnya Jokowi sebagai
presiden dan dukungan kuat yang spontan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) selama ini. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa kepedulian ini
telah menjadi arus bawah kesadaran kolektif bangsa yang riak-riak kecilnya
kita temui setiap hari dalam partisipasi politik (demo, protes, dan
sebagainya) dari desa di kabupaten terpencil sampai di depan Istana Negara.
Mental bangsa Indonesia hari ini sudah berbeda daripada sebelum Mei 1998.
Revolusi politik dan
institusional
Namun,
revolusi mental di atas tidak dibarengi dengan revolusi politik dan
institusional. Memang menjadi pilihan politik ketika itu untuk tidak memutus
segala keterkaitan dengan Orde Baru. Bahkan, partai pendukung Orde Baru pun
diakomodasi di dalam rezim politik yang baru. Pilihan politik ini di satu
sisi memastikan adanya transisi yang mulus, tetapi di sisi yang lain membuka
peluang munculnya kooptasi dan bias-bias terhadap reformasi. Tidak
mengherankan apabila kemudian di tataran politik dan institusi muncul
kecenderungan counter reform
(reformasi tandingan) yang mengupayakan reformasi semu untuk mempertahankan status quo.
Reformasi
tandingan ini ada di relung-relung tiga cabang kekuasaan negara dengan
protagonis yang fasih menggunakan bahasa reformasi, mengerti betul hukum dan
prosedur-prosedurnya, serta terlibat dalam pembuatan kebijakan. Akibatnya, di
tengah hiruk-pikuk politik selama ini, tidak ada perubahan fundamental yang
terjadi. Realitas inilah yang oleh John McBeth, penulis laporan utama Far
Eastern Economic Review edisi Juni 2003, disimpulkan dan dijadikan judul
sampul majalah itu sebagai The Betrayal of Indonesia; elite Indonesia telah
mengkhianati bangsa dan negara demi kepentingan mereka sendiri.
Tak
bisa dibantah bahwa trias politika Indonesia praktis terkorupsi ketiga cabang
kekuasaan ini sampai hari ini masih sarat dengan praktik-praktik korupsi.
Demikian pula hasil Indeks Demokrasi Indonesia yang dikeluarkan BPS,
Bappenas, dan Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan selama lima tahun
terakhir menggambarkan kondisi demokrasi di Indonesia yang ditandai adanya
ruang dan gairah kebebasan sipil yang tinggi, tetapi tidak disertai kinerja
lembaga-lembaga demokrasi yang memadai untuk menjawab tuntutan-tuntutan
demokratik yang muncul dari kebebasan tadi.
Akibatnya,
tuntutan-tuntutan demokratik yang sah tadi sering mengambil ekspresi yang
justru anti demokratik, seperti kekerasan. Parahnya, lembaga legislatif
justru merupakan lembaga dengan capaian kinerja yang paling buruk (lihat
laporan IDI 2013). Sementara itu, penelitian lain menunjukkan, kinerja
lembaga-lembaga penegakan hukum masih dinilai sangat buruk. Konflik KPK
dengan Polri yang terjadi berulang kali adalah simtom dari kapasitas dan
integritas institusi penegak hukum yang masih belum memadai. Di sinilah
revolusi diperlukan.
Presiden
Jokowi berada di posisi yang sangat krusial untuk melengkapi revolusi mental
rakyat yang sudah terjadi pada Mei 1998 dengan revolusi institusional dan
mengoreksi bias-bias reformasi yang telah terjadi. Wewenang dan wibawa kantor
kepresidenan yang besar dapat menjadi ujung tombak perubahan yang mendasar di
ketiga cabang kekuasaan negara kita. Peluang untuk itu ada dan rakyat pasti
mendukung. Sila Presiden Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar