Kuda
Troya dan Korupsi
Mahmudi Asyari ; Peneliti
dari International Conference on Islamic Scholar (ICIS) Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 14 Maret 2015
SEJAK Presiden Joko Widodo mengeluarkan perppu terkait
pengangkatan sejumlah pelaksana tugas (Plt) pimpinan Komisi Pemberantaran
Korupsi (KPK), saya selalu memanjatkan doa. Saya berdoa supaya KPK —terlepas
ada cacat di sana sini— yang selama ini diyakini sebagai kesatria antikorupsi
bisa terus bahkan makin kuat. Paling tidak setelah Abraham Samad (AS) dan
Bambang Widjojanto (BW) ditersangkakan.
Namun optimisme yang dikuatkan lewat sandaran doa belum
bisa menghilangkan pesimisme di benak
saya. Hal ini lantaran Taufiequrachman Ruki selama memimpin KPK, tbisa
dikatakan tidak mempunyai rekam jejak prestasi yang membanggakan. Bahkan Prof
Mahfud MD lewat sebuah tulisannya di media massa menyebut KPK pada waktu itu
menghindari sejumlah lembaga, terutama Polri. Di samping itu, pada era
kepemimpinan Ruki sebelumnya ada kasus yang melibatkan perwira Polri namun tidak
jelas ujung akhirnya kendati seharusnya KPK memprosesnya. Dua hal itulah
paling tidak membuat saya tidak menyisakan ruang untuk sebuah optimisme meski
Ruki disebut-sebut berintegritas.
Pasalnya, dalam konteks pemberantasan korupsi tidak ada rekam
jejak yang membuatnya patut jadi Plt ketua. Begitu juga dua Plt lainnya, saya
ragu mengingat pada awal keterpilihan AS sebagai ketua KPK, Johan Budi SP
misalnya melontarkan pesimismenya terkait tekad sang bos menangkap siapa
saja, termasuk presiden, andai ada indikasi korupsi.
Mengenai Indriyanto Seno Adji, setahu saya selain guru besar di
UKI, dia pernah menjadi pengacara presiden kedua kita. Alhasil, terkait tiga
Plt, saya tidak punya optimisme, malah sebaliknya muncul pesimisme yang makin
kuat. Terlebih ketika komisioner KPK pada era Antasari Azhar, yakni Tumpak
Hatorangan Panggabean, dan kini anggota Tim 9 melontarkan pernyataan bahwa
KPK tak akan hancur, kecuali ada orang dalam menghancurkan.
Pernyataan itu bermakna dalam karena bisa jadi dia mencium upaya
pembunuhan terhadap KPK. Terlebih waktu ia mengatakan hal itu pimpinan KPK,
terutama dari kelompok Plt, sibuk ’’bersilaturahmi’’ ke Kejaksaan dan Polri.
Kunjungan itu sama sekali tidak menguntungkan karena tak mungkin hanya
membicarakan komunikasi. Saya meyakini ada skenario berkait kasus Komjen Budi
Gunawan (BG). Meskipun praperadilan memenangkannya, selama masih ada KPK,
tidak bisa membuat BG tenang.
Sebab meski pimpinan (Plt) KPK dengan ’’enggan’’ mengajukan PK,
dengan yurisprudensi penolakan praperadilan pedagang sapi di Purwokerto (SM,
11/3/15), BG masih mungkin diproses dengan sprindik baru. Maka, ketika para
komisioner itu sibuk ’’bersilaturahmi’’, saya khawatir dan itu terjawab
tatkala komisioner KPK yang berstatus Plt melempar handuk dengan menyerahkan
kasus BG ke Kejaksaan.
Kuda Troya
Tindakan Ruki yang sehari kemudian ikut berdemo bersama pegawai
KPK menentang penyerahan kasus tersebut jelas sesuai dengan isyarat mantan
komisioner Tumpak Hatorangan Panggabean, dan berarti secara langsung dan tidak
langsung Presiden Jokowi telah memasukkan kuda troya ke dalam benteng KPK.
Apabila memang bukan itu maksud Presiden, tiga Plt itu bisa
dibilang mengkudatroyakan diri mereka untuk melemahkan KPK, yang akibat
serbuan para pihak yang tidak suka sepak terjang KPK sejak menetapkan BG
sebagai tersangka, memang sudah lumpuh berat.
Tindakan Ruki dan dua temannya bersilaturahmi ke Gedung Bundar
Kejagung selain makin melemahkan KPK, juga melanggar undang-undang. Bila
semua pihak taat asas hukum, tentu tak ada yang mau menerima pelimpahan itu,
terlebih hakim Sarpin Rizaldi telah berakrobat dengan baik. Mengingat ancaman
pidana terhadap BG masih terbuka, tentu ia tak ingin bernasib seperti Irjen
Djoko Susilo sehingga akrobat lanjutan pun diupayakan lewat penyerahan kasus
tersebut.
Berdasarkan hukum hanya KPK yang bisa menyerahkan atau mengambil
alih kasus dari Kejaksaan dan Polri.
Lantas kenapa Ruki menjilat ludahnya ketika mengikuti acara Indonesia
Lawyer Club (ILC)? Berkait hal itu, tindakan Plt KPK jelas menjadi kuda troya
pelemahan KPK. Penyerahan kasus itu sama saja dengan menyuruh Kejaksaan
meng-SP3-kan kasus BG. Ironisnya kasus AS dan BW masih terus jalan.
Melihat Presiden Jokowi yang makin membisu di tengah kicauan
Wapres JK, tidak salah bila banyak netizen merindukan Susilo Bambang
Yudhoyono. Meski kadang dianggap lamban bertindak, SBY tidak pernah
memasukkan kuda troya ke dalam KPK. Sebaliknya, dalam beberapa kasus, SBY
malah mengukuhkan peran komisi antikorupsi itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar