Minggu, 15 Maret 2015

Kuda Troya dan Korupsi

Kuda Troya dan Korupsi

Mahmudi Asyari  ;  Peneliti
dari International Conference on Islamic Scholar (ICIS) Jakarta
SUARA MERDEKA, 14 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

SEJAK Presiden Joko Widodo mengeluarkan perppu terkait pengangkatan sejumlah pelaksana tugas (Plt) pimpinan Komisi Pemberantaran Korupsi (KPK), saya selalu memanjatkan doa. Saya berdoa supaya KPK —terlepas ada cacat di sana sini— yang selama ini diyakini sebagai kesatria antikorupsi bisa terus bahkan makin kuat. Paling tidak setelah Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW) ditersangkakan.

Namun optimisme yang dikuatkan lewat sandaran doa belum bisa  menghilangkan pesimisme di benak saya. Hal ini lantaran Taufiequrachman Ruki selama memimpin KPK, tbisa dikatakan tidak mempunyai rekam jejak prestasi yang membanggakan. Bahkan Prof Mahfud MD lewat sebuah tulisannya di media massa menyebut KPK pada waktu itu menghindari sejumlah lembaga, terutama Polri. Di samping itu, pada era kepemimpinan Ruki sebelumnya ada kasus yang melibatkan perwira Polri namun tidak jelas ujung akhirnya kendati seharusnya KPK memprosesnya. Dua hal itulah paling tidak membuat saya tidak menyisakan ruang untuk sebuah optimisme meski Ruki disebut-sebut berintegritas.

Pasalnya, dalam konteks pemberantasan korupsi tidak ada rekam jejak yang membuatnya patut jadi Plt ketua. Begitu juga dua Plt lainnya, saya ragu mengingat pada awal keterpilihan AS sebagai ketua KPK, Johan Budi SP misalnya melontarkan pesimismenya terkait tekad sang bos menangkap siapa saja, termasuk presiden, andai ada indikasi korupsi.

Mengenai Indriyanto Seno Adji, setahu saya selain guru besar di UKI, dia pernah menjadi pengacara presiden kedua kita. Alhasil, terkait tiga Plt, saya tidak punya optimisme, malah sebaliknya muncul pesimisme yang makin kuat. Terlebih ketika komisioner KPK pada era Antasari Azhar, yakni Tumpak Hatorangan Panggabean, dan kini anggota Tim 9 melontarkan pernyataan bahwa KPK tak akan hancur, kecuali ada orang dalam menghancurkan.

Pernyataan itu bermakna dalam karena bisa jadi dia mencium upaya pembunuhan terhadap KPK. Terlebih waktu ia mengatakan hal itu pimpinan KPK, terutama dari kelompok Plt, sibuk ’’bersilaturahmi’’ ke Kejaksaan dan Polri. Kunjungan itu sama sekali tidak menguntungkan karena tak mungkin hanya membicarakan komunikasi. Saya meyakini ada skenario berkait kasus Komjen Budi Gunawan (BG). Meskipun praperadilan memenangkannya, selama masih ada KPK, tidak bisa membuat BG tenang.

Sebab meski pimpinan (Plt) KPK dengan ’’enggan’’ mengajukan PK, dengan yurisprudensi penolakan praperadilan pedagang sapi di Purwokerto (SM, 11/3/15), BG masih mungkin diproses dengan sprindik baru. Maka, ketika para komisioner itu sibuk ’’bersilaturahmi’’, saya khawatir dan itu terjawab tatkala komisioner KPK yang berstatus Plt melempar handuk dengan menyerahkan kasus BG ke Kejaksaan.

Kuda Troya

Tindakan Ruki yang sehari kemudian ikut berdemo bersama pegawai KPK menentang penyerahan kasus tersebut jelas sesuai dengan isyarat mantan komisioner Tumpak Hatorangan Panggabean, dan berarti secara langsung dan tidak langsung Presiden Jokowi telah memasukkan kuda troya ke dalam benteng KPK.

Apabila memang bukan itu maksud Presiden, tiga Plt itu bisa dibilang mengkudatroyakan diri mereka untuk melemahkan KPK, yang akibat serbuan para pihak yang tidak suka sepak terjang KPK sejak menetapkan BG sebagai tersangka, memang sudah lumpuh berat.

Tindakan Ruki dan dua temannya bersilaturahmi ke Gedung Bundar Kejagung selain makin melemahkan KPK, juga melanggar undang-undang. Bila semua pihak taat asas hukum, tentu tak ada yang mau menerima pelimpahan itu, terlebih hakim Sarpin Rizaldi telah berakrobat dengan baik. Mengingat ancaman pidana terhadap BG masih terbuka, tentu ia tak ingin bernasib seperti Irjen Djoko Susilo sehingga akrobat lanjutan pun diupayakan lewat penyerahan kasus tersebut.

Berdasarkan hukum hanya KPK yang bisa menyerahkan atau mengambil alih kasus dari Kejaksaan dan Polri.  Lantas kenapa Ruki menjilat ludahnya ketika mengikuti acara Indonesia Lawyer Club (ILC)? Berkait hal itu, tindakan Plt KPK jelas menjadi kuda troya pelemahan KPK. Penyerahan kasus itu sama saja dengan menyuruh Kejaksaan meng-SP3-kan kasus BG. Ironisnya kasus AS dan BW masih terus jalan.

Melihat Presiden Jokowi yang makin membisu di tengah kicauan Wapres JK, tidak salah bila banyak netizen merindukan Susilo Bambang Yudhoyono. Meski kadang dianggap lamban bertindak, SBY tidak pernah memasukkan kuda troya ke dalam KPK. Sebaliknya, dalam beberapa kasus, SBY malah mengukuhkan peran komisi antikorupsi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar