Konflik
Partai dan Mandeknya Demokrasi Kita
Muhammadun ; Analis pada
Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 13 Maret 2015
Konflik yang mendera Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
Partai Golkar menyisakan problem serius dalam proses demokratisasi bangsa
ini. Gugat-menggugat dalam mahkamah partai dan pengadilan bukanlah tradisi
para negarawan.
Gugat-menggugat itu justru mengindikasikan lahirnya generasi
kerdil yang masih terbelenggu ambisi kekuasaan, bukan generasi bermartabat
yang rela berkorban dan berjuang. Kalau gugat-menggugat ini terus dijalankan,
selain merugikan partai tersebut, juga merugikan anak bangsa yang “rusak
nalarnya” karena mendapatkan asupan konflik yang tidak bervisi negarawan.
Publik mesti menyadari bahwa konflik partai ini merupakan
konflik psikologis kaum elite. Ini harus didudukkan semestinya, sehingga
konflik partai tidak merusak tatanan sosial masyarakat bawah.
Konflik kaum elite jangan sampai menyeret di bawah karena bisa
mengganggu proses demokrasi masyarakat bawah. Konflik partai juga
mencerminkan sistem multipartai yang masih kusut, sehingga elite partai
politik mudah pecah untuk menelurkan partai baru. Sistem multipartai tanpa
dibarengi kedewasaan berpolitik bisa merusak internal partai itu sendiri.
Konflik PPP dan Golkar juga mencerminkan problem regenerasi
partai politik di Indonesia masih mandek. Tokoh lama masih mendominasi,
sementara kader muda sedikit mendapatkan ruang untuk berkarya.
Dalam politik, status quo memang tidak mudah digeser.
Mempertahankan kekuasaan adalah kenikmatan tersendiri. Namun, kader muda yang
tidak mendapatkan ruang berkarya akan menjadikan nalar politik bangsa ini
jumud, mandek, tidak berkembang, dan sulit menjawab tantangan zaman.
Regenerasi semestinya berjalan baik walaupun ketegangan bisa saja terjadi.
Melawan Lupa
Konflik apa pun semestinya hadir sebagai epos melawan lupa:
bahwa kekuasaan yang diraih jangan sampai digunakan untuk
kesewenang-wenangan, melainkan untuk memulihkan dan menegakkan martabat
bangsa. Lihat saja yang dilakukan Bung Karno untuk menggerakkan perlawanan
melawan agresi militer Belanda pascakemerdekaan, Bung Karno konflik dengan
Jenderal Sudirman, tetapi sang jenderal terus bergerak melawan penjajah tanpa
“menghiraukan” konfliknya. Bung Karno dengan gayanya mengajak kaum
intelektual berdiplomasi sekuat tenaga. Semua itu untuk melawan lupa.
Kiai Hasyim Asy’ari dalam Resolusi Jihad 22 Oktober,
menggelorakan perjuangan masyarakat Jawa Timur melawan Inggris dan sekutunya.
Gelora perjuangan ini menyebar sangat luas. Banyak rakyat dari
pesisir utara Jawa bergerak melawan kolonial di daerah masing-masing.
Pergerakan surat resolusi jihad menyebar mulai Surabaya, Gresik,
Tuban, Rembang, Pati, sampai Semarang. Gemuruh ini kemudian mengobarkan
semangat rakyat Bandung. Pecahlah kemudian “Bandung Lautan Api” pada 25 Maret
1946.
Semangat yang sama digelorakan Natsir melalui suratnya bertajuk
“Mosi Integral Natsir”. Pada 5 April 1950, Natsir mengajukan mosi integral.
Dengan mosi integralnya, ia mampu menyatukan kembali Indonesia
yang terpecah belah dalam pemerintahan negara-negara bagian atau federal
buatan Van Mook, menjadi NKRI yang kita kenal sekarang ini.
Mosi integral berawal dari kekecewaan terhadap hasil Konferensi
Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-2
November 1949. Perdana Menteri (PM) RIS Mohammad Hatta menugaskan Natsir dan
Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan lobi untuk menyelesaikan berbagai
krisis di daerah.
Lobi Natsir ke pemimpin fraksi di Parlemen Sementara RIS dan
pendekatannya ke daerah-daerah lalu ia formulasikan dalam dua kata, “Mosi
Integral” dan disampaikan ke parlemen pada 3 April 1950. Mosi diterima baik
oleh parlemen dan pemerintah, sehingga PM RIS Mohammad Hatta menegaskan akan
menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.
Mosi integral Natsir saat Indonesia terbagi-bagi dalam beberapa
negara bagian, terbukti menjadikan Indonesia kembali bersatu dalam pangkuan
NKRI. Mosi integral Natsir sangat mengejutkan kalangan politikus saat itu,
bahwa ia mampu melihat jauh ke depan tentang kepentingan yang lebih besar.
Demokrasi yang
Berkeadaban
Teladan para pendiri bangsa ini bukanlah teladan dalam kertas.
Keteladanan mereka terbukti membawa bangsa ini tegak sampai sekarang.
Generasi politik hari ini jangan sampai merusak tatanan kebangsaan, sementara
tenun kebangsaan sudah dijalin sedemikian rupa. Partai politik jangan terjebak
dalam konflik yang mengerdilkan, melainkan harus bergerak membangun generasi
berjiwa besar untuk mengisi peradaban Indonesia masa depan.
Tentu saja manajemen konflik harus diperbaiki, bersamaan dengan
sistem politik bangsa dan sistem internal partai itu sendiri. Konflik partai
sejatinya adalah pencarian ilmu politik yang ditekuni kaum elite, untuk
menemukan kebenaran dalam berpolitik.
Ini sejalan dengan yang disampaikan Bung Hatta, “Pencarian atas
ilmu pengetahuan adalah pencarian kebenaran dan keberanian membela kebenaran
yang diyakini.”
Bagi Bung Hatta, demokrasi bisa tegak berdiri ketika pendidikan
bukan sekadar proses mendapatkan ijazah formal, melainkan proses lahirnya
kebenaran dan lahirnya manusia baru yang berani lantang membela kebenaran yang
diyakini. Di sanalah demokrasi yang berkeadaban akan lahir.
Kini, dunia digital-teknologis menjadikan konflik politik hadir
dengan wajahnya yang mengerikan: merusak nalar generasi bangsa. Untuk itu,
kaum elite harus tampil dengan jiwa kenegarawanan.
Generasi hari ini mungkin berbeda skema dan dimensinya, tetapi
secara filosofis dan etos perjuangan, apa yang dilakukan para pendiri bangsa
ini selalu aktual untuk diaplikasikan sekarang dan masa depan. Kalau gajah
mati meninggalkan gading, konflik partai harus meninggalkan jejak politik
yang menggugah untuk kemajuan bangsa ini di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar