Minggu, 15 Maret 2015

Akademisi dan Persoalan Bangsa

Akademisi dan Persoalan Bangsa

Purbayu Budi Santosa  ;  Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Diponegoro, Pengampu Mata Kuliah Filsafat Ilmu
SUARA MERDEKA, 14 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

“Akademisi tidak boleh menutup mata atas penyakit korupsi yang begitu menggerogoti sendi-sendi kehidupan”

TAJUK Rencana Suara Merdeka, 7 Maret 2015, berjudul ìMengingatkan Suara Akademisiî cukup menantang. Topik ini sesuai dengan pernyataan peneliti Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum UGM, Hifdzil Alim, dan relevan dengan tuntutan kondisi kekinian Indonesia. Kepedulian akademisi terhadap persoalan bangsa dan negara, menurutnya, masih harus ditingkatkan, terlebih dalam persoalan korupsi.

Akar ilmu adalah filsafat. Socrates sebagai filsuf terkenal memberi pelajaran kepada kita bagaimana mempertahankan kebenaran. Pada musim semi 339 SM, Socrates divonis mati oleh penguasa Athena. Mereka menuduhnya ingkar kepada dewa-dewa, memperkenalkan agama baru, dan merusak jiwa kaum muda.

Sebenarnya, kalau saja dia mau mengikuti keinginan pihak penguasa, akan diampuni kesalahannya. Tetapi dia beralasan, kalau mengikuti kehendak para penguasa, nanti akan ditiru oleh mereka yang menyukai kebenaran. Dia lebih memilih mati demi masa depan yang gemilang.

Pengorbanan ilmuwan lainnya yang sangat terkenal adalah dari Galileo Galilei, yang juga menentang pandangan umum waktu itu. Galileo membenarkan pandangan Copernicus tentang peredaran bumi mengelilingi matahari, sementara agamawan berpendapat matahari yang mengelilingi bumi. Akibat dari pendapatnya yang menentang arus utama itu, Galileo dikenakan hukuman berat.

Pendirian Socrates dan Galileo sering dijadikan contoh ideal bagi akademisi untuk membela apa yang diyakininya benar. Kebenaran ini tentunya berkaitan erat dengan sifat kejujuran, yang sangat berharga dimiliki oleh akademisi (ilmuwan). Tanpa kejujuran ilmuwan, perilaku negatif masyarakat akan makin merebak, termasuk korupsi yang begitu mengakar di Indonesia.

Michel Foucault (1980) mengemukakan relasi antara kekuasaan dan pengetahuan.  Menurutnya,  kekuasaan dan pengetahuan bagaikan dua sisi mata uang. Setiap kekuasaan membutuhkan penerimaan dan legitimasi. Karena itu, setiap bentuk kekuasaan politik ataupun ekonomi akan berusaha menghasilkan pengetahuan dan kebenarannya sendiri guna menjelaskannya kepada publik.

Sebaliknya, setiap bentuk pengetahuan secara intrinsik senantiasa mengandung dimensi kekuasaan. Dengan demikian, pengetahuan dapat sebagai modal simbolik untuk menuju lingkar kekuasaan atau untuk meraih keuntungan dari beroperasinya sebuah kekuasaan.

Pandangan Foucault yang lebih menekankan relasi antara penguasa dan ilmuwan yang saling menguntungkan dalam keburukan, tentunya berseberangan dengan kejujuran ilmuwan semacam Socrates dan Galileo. Dalam kaitan ini, Julien Benda mengemukakan adanya pengkhianatan kaum ilmuwan (cendekiawan) dengan memanfaatkan posisinya dalam pemerintahan yang tidak sesuai dengan kehendak publik.

Pengkhianatan kaum ilmuwan, menurut Benda (1976), muncul dalam peristiwa yang menggemparkan masyarakat Prancis pada 1894. Waktu itu, perwira Prancis, Dreyfus, diadili atas tuduhan menjual rahasia militer kepada dinas rahasia Jerman. Dreyfus dinyatakan bersalah dan dibuang selama 10 tahun.

Sebagai reaksi atas putusan tidak adil yang didukung kalangan ilmuwan itu, sejumlah cendekiawan bangkit dan mengumumkan Manifes Para Intelektual. Semenjak peristiwa itu, para cendekiawan mengokohkan diri sebagai golongan masyarakat tersendiri.

Mencontoh Pendahulu

Peristiwa itu pulalah yang mendorong Benda untuk memikirkan hubungan kaum cendekiawan itu dengan negara, dengan kaum militer, dan dengan dunia politik. Pada akhirnya, menurutnya, kehidupan cendekiawan mesti terpisah dari kefanaan kehidupan ekonomi dan politik dan sepenuhnya mengabdi kepada nilai-nilai kecendekiawanan. Nilai-nilai kecendekiawanan itu adalah keadilan, kebenaran, dan rasionalitas akal.

Pandangan Benda dalam kategori Gramsci (Agus Sudibyo; 2015) termasuk intelektual tradisional. Menurut Gramsci, kelemahan intelektual tradisional terletak pada keyakinan bahwa masalah-masalah sosial dapat diketahui tanpa pemahaman, perasaan, dan hasrat (passion). Keyakinan bahwa seseorang dapat menjadi intelektual jika ia berbeda dari yang lain dan melepaskan diri dari masalah-masalah kemasyarakatan tanpa perlu meresapi problem-problemnya yang mendasar.

Berdasarkan uraian tersebut, para akademisi baik yang berkiprah di perguruan tinggi  maupun yang bergabung dalam pemerintahan, perlu menunjukkan prestasinya untuk kemajuan masyarakat. Selain itu, mereka tidak boleh menutup mata atas penyakit korupsi yang begitu menggerogoti sendi-sendi kehidupan bernegara dan berbangsa.

Pelemahan KPK yang akhir-akhir ini terasa begitu kuatnya harus menjadi perhatian kaum akademisi. Mereka bisa mencontoh para pendahulu kita yang sudah mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan kebenaran. Kebenaran yang muncul secara aksiologis akan membawa kemajuan masyarakat, karena relasi antara ilmu dan kemajuan merupakan suatu keniscayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar