Akademisi
dan Persoalan Bangsa
Purbayu Budi Santosa ; Guru Besar
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Diponegoro, Pengampu Mata Kuliah Filsafat Ilmu
|
SUARA
MERDEKA, 14 Maret 2015
“Akademisi
tidak boleh menutup mata atas penyakit korupsi yang begitu menggerogoti
sendi-sendi kehidupan”
TAJUK Rencana Suara Merdeka, 7 Maret 2015, berjudul
ìMengingatkan Suara Akademisiî cukup menantang. Topik ini sesuai dengan
pernyataan peneliti Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum UGM,
Hifdzil Alim, dan relevan dengan tuntutan kondisi kekinian Indonesia.
Kepedulian akademisi terhadap persoalan bangsa dan negara, menurutnya, masih
harus ditingkatkan, terlebih dalam persoalan korupsi.
Akar ilmu adalah filsafat. Socrates sebagai filsuf terkenal memberi
pelajaran kepada kita bagaimana mempertahankan kebenaran. Pada musim semi 339
SM, Socrates divonis mati oleh penguasa Athena. Mereka menuduhnya ingkar
kepada dewa-dewa, memperkenalkan agama baru, dan merusak jiwa kaum muda.
Sebenarnya, kalau saja dia mau mengikuti keinginan pihak
penguasa, akan diampuni kesalahannya. Tetapi dia beralasan, kalau mengikuti
kehendak para penguasa, nanti akan ditiru oleh mereka yang menyukai
kebenaran. Dia lebih memilih mati demi masa depan yang gemilang.
Pengorbanan ilmuwan lainnya yang sangat terkenal adalah dari
Galileo Galilei, yang juga menentang pandangan umum waktu itu. Galileo
membenarkan pandangan Copernicus tentang peredaran bumi mengelilingi
matahari, sementara agamawan berpendapat matahari yang mengelilingi bumi.
Akibat dari pendapatnya yang menentang arus utama itu, Galileo dikenakan
hukuman berat.
Pendirian Socrates dan Galileo sering dijadikan contoh ideal
bagi akademisi untuk membela apa yang diyakininya benar. Kebenaran ini
tentunya berkaitan erat dengan sifat kejujuran, yang sangat berharga dimiliki
oleh akademisi (ilmuwan). Tanpa kejujuran ilmuwan, perilaku negatif
masyarakat akan makin merebak, termasuk korupsi yang begitu mengakar di
Indonesia.
Michel Foucault (1980) mengemukakan relasi antara kekuasaan dan
pengetahuan. Menurutnya, kekuasaan dan pengetahuan bagaikan dua sisi
mata uang. Setiap kekuasaan membutuhkan penerimaan dan legitimasi. Karena
itu, setiap bentuk kekuasaan politik ataupun ekonomi akan berusaha
menghasilkan pengetahuan dan kebenarannya sendiri guna menjelaskannya kepada
publik.
Sebaliknya, setiap bentuk pengetahuan secara intrinsik
senantiasa mengandung dimensi kekuasaan. Dengan demikian, pengetahuan dapat
sebagai modal simbolik untuk menuju lingkar kekuasaan atau untuk meraih keuntungan
dari beroperasinya sebuah kekuasaan.
Pandangan Foucault yang lebih menekankan relasi antara penguasa
dan ilmuwan yang saling menguntungkan dalam keburukan, tentunya berseberangan
dengan kejujuran ilmuwan semacam Socrates dan Galileo. Dalam kaitan ini,
Julien Benda mengemukakan adanya pengkhianatan kaum ilmuwan (cendekiawan)
dengan memanfaatkan posisinya dalam pemerintahan yang tidak sesuai dengan
kehendak publik.
Pengkhianatan kaum ilmuwan, menurut Benda (1976), muncul dalam
peristiwa yang menggemparkan masyarakat Prancis pada 1894. Waktu itu, perwira
Prancis, Dreyfus, diadili atas tuduhan menjual rahasia militer kepada dinas
rahasia Jerman. Dreyfus dinyatakan bersalah dan dibuang selama 10 tahun.
Sebagai reaksi atas putusan tidak adil yang didukung kalangan
ilmuwan itu, sejumlah cendekiawan bangkit dan mengumumkan Manifes Para Intelektual. Semenjak
peristiwa itu, para cendekiawan mengokohkan diri sebagai golongan masyarakat
tersendiri.
Mencontoh
Pendahulu
Peristiwa itu pulalah yang mendorong Benda untuk memikirkan
hubungan kaum cendekiawan itu dengan negara, dengan kaum militer, dan dengan
dunia politik. Pada akhirnya, menurutnya, kehidupan cendekiawan mesti
terpisah dari kefanaan kehidupan ekonomi dan politik dan sepenuhnya mengabdi
kepada nilai-nilai kecendekiawanan. Nilai-nilai kecendekiawanan itu adalah
keadilan, kebenaran, dan rasionalitas akal.
Pandangan Benda dalam kategori Gramsci (Agus Sudibyo; 2015) termasuk intelektual tradisional. Menurut
Gramsci, kelemahan intelektual tradisional terletak pada keyakinan bahwa
masalah-masalah sosial dapat diketahui tanpa pemahaman, perasaan, dan hasrat
(passion). Keyakinan bahwa
seseorang dapat menjadi intelektual jika ia berbeda dari yang lain dan
melepaskan diri dari masalah-masalah kemasyarakatan tanpa perlu meresapi
problem-problemnya yang mendasar.
Berdasarkan uraian tersebut, para akademisi baik yang berkiprah
di perguruan tinggi maupun yang
bergabung dalam pemerintahan, perlu menunjukkan prestasinya untuk kemajuan
masyarakat. Selain itu, mereka tidak boleh menutup mata atas penyakit korupsi
yang begitu menggerogoti sendi-sendi kehidupan bernegara dan berbangsa.
Pelemahan KPK yang akhir-akhir ini terasa begitu kuatnya harus
menjadi perhatian kaum akademisi. Mereka bisa mencontoh para pendahulu kita
yang sudah mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan kebenaran. Kebenaran yang
muncul secara aksiologis akan membawa kemajuan masyarakat, karena relasi
antara ilmu dan kemajuan merupakan suatu keniscayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar