Kontroversi
Denny, Pro-Kontra Indrayana
Refly Harun ; Ahli Hukum Tatanegara
|
DETIKNEWS,
16 Maret 2015
Menulis
soal Denny adalah menulis kontroversi. Menulis Indrayana adalah menulis pro
dan kontra. Saya ingin memulai tulisan ini dengan rima
seperti itu. Sudah beberapa hari ini saya ingin menulis tentang Profesor
Denny Indrayana. Guru Besar Fakultas Hukum UGM itu sedang dibidik atas kasus payment gateway di Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Niat
itu selalu tertunda-tunda. Selain rasa malas yang secara manusiawi sering
menghinggapi seorang penulis, hal lain yang menerpa saya adalah ketidaksiapan
menerima 'risiko' diumpat banyak pihak. Terutama, tentu saja, mereka yang
tidak suka dengan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Wamenkumham) itu. Hal lain lagi, Denny, toh, belum tersangka. Baru sekadar
diperiksa. Belum jadi tersangka, juga belum ditahan. Jadi, ya, nggak seru.
Cuma
kalau jadi tersangka dulu baru menulis, saya merasa berdosa juga. Soalnya
tidak main-main, kasus yang bakal menjerat Denny itu adalah kasus korupsi.
Akan menjadi paradoks luar biasa bila sosok yang selama ini sangat vokal dan
berada di garda terdepan dalam barisan antikorupsi itu menjadi tersangka
korupsi. Nalar saya jelas sangat tidak bisa menerima. Bagaimana mungkin?
Isu Antikorupsi
Saya
mengenal Denny – begitu saya menyapanya – sudah sejak lama. Sejak di Kampus
UGM. Denny, yang angkatan 91, dua tahun di bawah saya yang angkatan 89. Saya
'ikut' mengenalkan Denny pada dunia aktivitas kampus dan dunia hukum
tatanegara. Tidak heran hingga saat ini Denny tetap memanggil saya 'Abang'.
Saldi
Isra, Guru Besar Hukum Tatanegara dari Universitas Andalas, Padang, yang juga
akrab dengan kami berdua, kerap protes soal legacy itu. Kepada Saldi, Denny memanggil nama saja. Padahal, di
antara kami bertiga, Saldi yang paling tua. Denny kelahiran 1972, saya 1970,
dan Saldi 1968. (Soal kelahiran, dasar 'anak kampung', Saldi menyatakan
kemungkinan ia lahir pada tahun 1969. Namun, karena lahir di desa, orang
tuanya tidak tahu persis tahun kelahirannya).
Selain
dunia hukum tatanegara, soal yang menggerus perhatian Denny adalah isu-isu
antikorupsi. Sudah dua lembaga yang didirikan Denny yang terkait dengan isu
tersebut di Yogyakarta. Pertama, ICM (Indonesian
Court Monitoring), lembaga yang dimaksudkan untuk memantau proses
peradilan. Kedua, Pukat Korupsi UGM (Pusat Kajian Antikorupsi Universitas
Gadjah Mada). Denny menjadi Ketua Pukat Korupsi pertama sebelum digantikan
Zainal Arifin Mochtar. Jabatan itu ditanggalkan karena Denny melangkahkan
kakinya ke istana.
Baik
sebagai Ketua Pukat Korupsi UGM maupun 'orang istana SBY', Denny sesungguhnya
tidak pernah berubah, tetap antikorupsi. Aktivis-aktivis antikorupsi, dari
ICW (Indonesian Corruption Watch) misalnya, sangat merasakan betul fungsi
Denny sebagai bridging (jembatan)
antara negara (state) dan
masyarakat sipil (civil society)
dalam isu-isu antikorupsi. Termasuk antara istana dan lembaga-lembaga negara
independen semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Untuk
isu antikorupsi, Denny seperti tak mengenal jabatan. Sebagai staf khusus
Presiden SBY yang juga Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Antimafia Hukum,
sepak terjang Denny sering membuat banyak pihak gerah dan marah. Pernah ia
menangkap basah Artalyta Suryani alias Ayin di 'penjara mewah'. Pernah pula
ia 'menangkap' Gayus Tambunan, yang timbunan uang hasil kutipan dari pembayar
pajaknya memang sangat tambun.
Dalam soal sel mewah Ayin, seorang menteri kabarnya
tersinggung, karena akhirnya terkena reshufle. Soal timbunan pajak Gayus
Tambunan yang
tambun, salah seorang ketua umum partai besar negeri ini juga
marah. Bahkan, seperti yang pernah dikatakan Denny kepada saya, pembesar itu
menyatakan "kamu akan berhadapan dengan saya" ketika Denny
berpapasan dengannya dalam suatu acara.
Ketika
menjejak sebagai Wamenkumham, Denny membuat banyak gebrakan. Yang sering
dilakukan adalah menginspeksi penjara, yang konon membuat sipir-sipir
tersinggung dan tentu saja ketar-ketir. Di lingkungan internal Kemenkumham
pun Denny banyak menerjang sana-sini untuk memotong rantai korupsi birokrasi.
Ketika
tidak lagi menjadi Wamenkumham, Denny termasuk yang paling galak membela KPK
dari pelemahan segala jurusan. Maka ketika Denny diutak-atik kelemahannya
sampai berbuah dengan kasus payment
gateway, hal itu tidak karena sekadar aktivitasnya membela KPK. Tidak.
Banyak pihak yang menginginkan Denny jatuh.
Beberapa Pihak
Analisis
saya, setidaknya ada enam pihak yang berkepentingan untuk mengkriminalkan
Denny atau paling tidak bergembira bila sosok ini jatuh. Pertama, bisa jadi,
lingkungan internal Kemenkumham sendiri. Mereka adalah orang-orang atau
pejabat-pejabat yang terimbas sepak terjang Denny ketika beres-beres di
kementerian tersebut.
Kedua,
elemen-elemen yang berseteru dengan SBY. Sudah jamak diketahui, Denny sangat
'memuja' SBY – hal yang juga saya risaukan, karena tak ada pemimpin yang
sempurna. Soal SBY, Denny tak hanya menjadi orang istana, tetapi bersedia
menjadi 'bumper' untuk menjelaskan sikap istana terhadap serangan-serangan
yang dilancarkan pihak luar. Saya sempat membaca pertama kali soal kasus
Denny ini justru dari tweet yang disebarkan orang dekat Anas Urbaningrum.
Ketiga,
orang kuat yang pernah menyatakan, "kamu akan berhadapan dengan
saya". Selama menjadi anggota Satgas Antimafia Hukum, Denny beberapa
kali menyinggung soal indikasi pengemplangan pajak oleh perusahaan milik
orang kuat tersebut.
Keempat,
kelompok
yang pernah berseteru dengan Denny dalam isu Sisminbakum (sistem administrasi
badan hukum), yang kebetulan menguasai beberapa media – tidak heran pula bila
media tersebut termasuk yang getol memberitakan kasus Denny. Dalam kasus
Sisminbakum, Denny sering berseteru dengan salah seorang guru besar hukum
tatanegara.
Kelima,
kelompok pengacara yang merasa tersinggung dengan tweet Denny soal pembela
koruptor (yang membela dengan segala cara dan membabi buta) adalah koruptor
itu sendiri. Gara-gara tweet ini, Denny diadukan oleh sejumlah pengacara
dengan isu klasik “pencemaran nama baik”. Keenam, elemen-elemen dalam tubuh
kepolisian yang selama ini mungkin jengkel dengan sepak terjang Denny dalam
kasus Cicak-Buaya 1 (2009), Cicak-Buaya 2 (2012), dan terakhir Cicak-Buaya 3
(2015).
Banyak
pihak, memang, yang memusuhi Denny. Sebagian pembaca kolom ini saya yakin
juga bersikap pro dan kontra terhadap sosok Denny. Mereka yang tidak mengenal
dekat Denny memang dengan mudah akan mencap kalau dia sombong, atau bahasa
gaulnya songong. Gestur Denny
memang sering dinilai seperti itu. Denny juga rupanya sadar soal penilaian
itu. Beberapa kali ia mengatakan kalau dirinya dianggap songong. (Ah, kalau gestur, bentuk tubuh, dan hal-hal yang
anugerah Ilahi [gifted] lainnya
dipersoalkan, melalui twitter, seseorang pernah menyatakan saya licik karena
melihat bentuk muka saya yang kebetulan panjang dan tirus).
Saya
selalu yakin Tuhan tidak akan melarikan kebenaran terlalu jauh dan untuk
waktu yang lama. Siapa pun yang akan menzalimi akan menerima pembalasannya.
Cepat atau lambat. Bagi saya, satu yang harus saya pegang, Denny tidak pernah
menerima kickback atau suap atas
kasus payment gateway tersebut.
Kalau menerima dan bisa dibuktikan secara genuine,
perbuatan itu tak bisa dimaafkan.
Tapi
kalau tak ada sepeserpun uang mengalir ke kantong Denny dari jasa payment gateway tersebut, saya terus
akan mengabarkan kebenaran seorang Denny Indrayana. Mungkin banyak orang yang
tidak suka dengan gestur Denny yang dianggap orang sombong atau songong, tapi
bagi saya, gaya tidak terlalu penting. Kalau kesempurnaan tak bisa
didapatkan, saya lebih membenci orang sopan yang korupsi ketimbang orang
sombong yang antikorupsi.
Den,
seperti yang sering Anda tulis dalam banyak kesempatan, keep on fighting for the better Indonesia. Salam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar