Selasa, 17 Maret 2015

Proyek Topeng Buka Topeng

Proyek Topeng Buka Topeng

Dedi Haryadi  ;  Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
KOMPAS, 17 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Estafet kepemimpinan dalam kerja sama multilateral  Kemitraan Pemerintahan Terbuka dari Inggris  ke Indonesia pada Oktober 2013 ditandai dengan pidato politik PM Inggris David Cameroon  yang mewajibkan setiap perusahaan  mendaftarkan dan mengungkapkan secara terbuka siapa sesungguhnya penikmat atau pemanfaat untung suatu entitas bisnis, beneficial of ownership.

Ada praktik tak terpuji: identitas orang atau kelompok eneficial of ownership (BO) disembunyikan untuk menghindari pajak dan  menyamarkan sumber harta tak sah ( hasil korupsi atau hasil kejahatan keuangan lain). Terpidana koruptor AU dan DS, misalnya, menyembunyikan aset mereka dengan memakai nama mertua, istri, istri kedua, kerabat, dan lain-lain.

Pidato itu disambut positif kalangan aktivis anti korupsi sekaligus jadi artefak penting yang ditinggalkan  Inggris selama memimpin  kelompok kerja sama ini. Sama juga dengan di sini, keputusan politik itu selalu berjarak dengan implementasi. Jarak itu melebar apabila dikaitkan dengan realitas yang mau diwujudkan. Setahun lebih  setelah  pidato politik itu diucapkan, sampai kini tak ada kemajuan berarti. Katanya, itu akan/masih digodok di parlemen. 

Kampanye global

Langkah Inggris itu semacam amunisi dan momentum capaian bagi kalangan aktivis anti korupsi mengakselerasi dan mengagregasi lebih jauh  kampanye global mereka bertajuk "Unmask the Corrupt": Hei,  koruptor, buka topengmu. Dalam pertemuan puncak  G-20 di Brisbane, Australia, 15-16 November 2014, mereka mendesak supaya para pemimpin G-20 mengadopsi dan menerapkan prinsip perlunya registrasi dan keterbukaan BO. Sedemikian muliakah akhlak Pemerintah Inggris sehingga mengambil peran kepeloporan dalam  mewajibkan registrasi dan keterbukaan BO?

Tidak juga. Dibandingkan dengan pemerintah dan negara lain, rasanya tangan Pemerintah Inggris yang paling berdarah menyediakan jasa penghindaran pajak dan pengemasan aneka hasil kejahatan keuangan. Mereka punya lima kawasan sekretif:  Cayman Islands,   Bermuda, Jersey, Guernsey, dan Virgin Islands. Skandal HSBC baru-baru ini sekadar mengonfirmasi curiga publik selama ini tentang bisnis dan industri sekretif yang dikembangkan bank dan lembaga keuangan  Inggris.

International Consortium Investigative Journalism (ICIJ) merilis laporan terbaru, Februari 2015, Swiss Leaks: Murky Cash Sheltered by Bank Secrecy. Intinya, ICIJ menemukan HSBC cabang Swiss memberi layanan  bisnis  penghindaran pajak dan pencucian uang  bagi 100.000 nasabah perorangan dan 20.000 perusahaan  dalam lima bulan saja, November 2006-Maret 2007.  Magnitudo nilai uang yang disa- lurkan melalui semua akun itu sekitar 180,6 miliar euro. Publikasi hasil investigasi  ini dinilai monumental dan bersejarah karena inilah  kebocoran informasi terbesar dalam sejarah  perbankan di Swiss.

Ada tiga momen penting pengantar pengungkapan skandal itu. Pertama,  pembocoran data dan informasi 130.000 akun nasabah perorangan dan lembaga oleh  Herve Daniel Marcel Falciani.  Ia ahli perangkat lunak komputer yang bekerja di Bank HSBC Swiss (2001-2008). Tindakan dan motif pembocoran data rahasia ini mirip dengan yang dilakukan Edward Snowden. Keduanya melakukan itu, sepanjang yang tertangkap dari pernyataan mereka,  demi tegaknya kebebasan sipil, khususnya pemenuhan hak warga atas informasi. Falciani membocorkan informasi keuangan, Snowden membocorkan informasi keamanan.

Kedua,  munculnya Lagarde List yang berisi daftar 130 identitas orang dan lembaga yang menghindar pajak dan mencuci uang dari sejumlah negara.  Lagarde diambil  dari nama mantan Menteri Keuangan Perancis Christine Lagarde yang sekarang jadi Direktur IMF.  Rupanya Falcia- ni mengirim data ke-130 nasabah itu kepada Lagarde, lalu menyurati pemerintah yang identitas warganya ada di daftar.

Ketiga, ICIJ melakukan investigasi luas oleh lebih dari 130 jurnalis dari 49 negara, antara lain Perancis, Swiss, dan AS.  Pembocoran data oleh Falciani kemudian dikemas menjadi Lagarde List yang merupakan sumber data dan informasi penting bagi ICIJ mendesain investigasi ini.

Pelajaran dan hikmah yang bisa kita petik  dari kasus skandal HSBC adalah pentingnya peran peniup peluit. Kalau hendak memberantas korupsi pada sektor atau institusi yang kuyup rahasia, kita harus serius mengembangkan sistem peniup peluit dan perlindungan saksi yang kuat dan efektif.

Di sini kita dituntut bisa  memberi topangan politik,  keamanan, dan ekonomi yang efektif  bagi para peniup peluit dan saksi sehingga mereka mau dan berani ambil risiko membuka berbagai modus dan praktik kecurangan yang merugikan kepentingan negara/publik. Sistem peniup peluit, dukungan politik, keamanan, dan ekonomi yang efektif merupakan faktor lingkungan yang bisa memperbesar peluang  munculnya orang seperti Falciani, Snowden, dan Julian Assange (pendiri Wikileaks).

Topeng buka topeng

Di Brisbane, November 2014,   para pemimpin G-20 menyepakati 10 prinsip implementasi kebijakan registrasi dan keterbukaan BO. Dengan implementasi semua prinsip itu, perusahaan rahasia  yang jadi topeng penutup identitas para koruptor atau penjahat keuangan lain potensial terbuka dan diketahui publik. Ini bisa mengurangi korupsi, penghindaran pajak, pencucian uang, dan kejahatan finansial lain. Membuka topeng koruptor dan penjahat keuangan lain dengan registrasi dan disklosur BO penting. Yang tak kalah penting, membuka topeng negara besar yang selama ini merawat dan membangun kawasan sekretif.

Upaya meregistrasi dan membuka BO akan berkurang makna kalau eksistensi kawasan sekretif dipertahankan. Terkesan mereka hipokrit: seolah-olah mengembangkan transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga memelihara dan mengembangkan bisnis dan industri kerahasiaan di berbagai kawasan sekretif. Memang tak semua  pemimpin anggota G-20  punya kawasan sekretif.  Dari 19 negara plus Uni Eropa yang jadi anggota G-20, Inggris, Jerman, AS,  Jepang, sebagian negara anggota Uni Eropa (Swiss, Luksemburg), punya kawasan sekretif.

Secara  politik dan hukum, posisi mereka atas kawasan sekretif sangat kuat  sebagai pemilik dan pengontrol kawasan sekretif. London jelas masih punya wewe- nang yang cukup memutuskan apa yang boleh dan tak boleh ada/terjadi di Cayman Islands, Bermuda, Jersey, dan kawasan sekretif lain yang dikuasainya. Dengan posisi ini, mereka sebenarnya bisa melakukan lebih banyak, lebih kuat daripada sekadar mewajibkan registrasi dan  disklosur BO.  Administrasi pemerintahan Obama, misalnya, bisa berbuat lebih banyak mena- ngani dan mengatasi  Delaware sebagai kawasan sekretif. Di Delaware itu ada satu gedung yang bisa menampung dan mengelola 285.000 perusahaan rahasia. Perusahaan ini berwujud fisik, tak berproses produksi dan perdagangan, tak berproses kerja.

Kalau bukan sebuah tindakan altruisme, lalu apa motif Inggris memprakarsai kebijakan registrasi dan disklosur BO?  Mungkin sekadar pencitraan. Melakukan perubahan dan mendorong orang lain ikut berubah, tetapi perubahan itu tak mengganggu kepentingan mereka atas kawasan sekretif. Jadi, ketika Cameroon berpidato tentang pentingnya registrasi dan diskosur BO, sebenarnya ia tahu dan sadar betul: Inggris bagian dari problem. Mengapa Cameron  tak menutup lokalisasi kawasan sekretif Cayman Islands atau Obama menutup Delaware, seperti Tri Rismaharini, wali kota Surabaya, menutup Dolly?

Arah advokasinya kian jelas. Tidak cukup hany dengan kampanye registrasi dan disklosur BO, tetapi juga menutup atau mengakhiri keberadaan kawasan sekretif. Implikasinya: selektif menerima  bantuan hibah dari Inggris dan negara lain yang membangun dan merawat kawasan sekretif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar