Sektor-Sektor
Kritis Penghambat Pembangunan
Agus Pambagio ; Pengamat Kebijakan Publik
|
DETIKNEWS,
16 Maret 2015
Pemerintahan
di bawah komando Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kala
(JK) yang baru berjalan nyaris 5 bulan terus didesak oleh publik untuk segera
merealisasikan semua janji-janji yang pernah disampaikan saat keduanya
berkampanye. Mulai dari kemandirian pangan hingga pembangunan berbagai
infrastruktur.
Publik
memang berharap besar pada pemerintahan Jokowi dan JK ini setelah publik
dikecewakan berat oleh Pemerintahn sebelumnya yang penuh pencitraan dan
curhatan. Kecepatan untuk memenuhi harapan publik di respon dengan
pembentukan Kabinet yang bernama Kabinet Kerja. Presiden berharap besar pada
Kabinet Kerja untuk segera menginjak gas dengan akselerasi tinggi.
Namun
ternyata tidak mudah untuk berakselerasi cepat ketika dukungan politisi di
Senayan tidak kuat. Kondisi inipun pernah saya bahas di kolom ini.
Pemerintahan yang kuat tidak bisa hanya mengandalkan seorang Presiden/Wakil
Presiden yang bersih, pintar dan tegas tetapi harus ada dukungan politik yang
kuat juga.
Memimpin
negara erat kaitannya dengan dukungan politik, suka atau tidak. Harapan
publik terganggu dengan isu kriminalisasi yang selama 3 bulan belakangan ini
terus menghantam kebijakan Presiden. Dimulai dengan isu Kapolri, KPK hingga
isu-isu lain yang semakin memupus harapan publik. Jika Presiden tidak piawai
untuk menghentikan berbagai kriminalisasi kebijakannya, maka sulit bagi
publik untuk percaya bahwa Jokowi akan memenuhi harapan rakyat secepatnya.
Persoalan Utama Selain
Politik
Indonesia
dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta memerlukan kepastian tentang
ketersediaan pangan, air dan energi yang berkelanjutan. Untuk itu kini
saatnya pemerintah bekerja sangat keras untuk mempersiapkan ketiga sektor
tersebut dengan baik demi masa depan bangsa ini.
Tanpa
kemandirian dan ketersediaan ketiganya, perang saudara akan berkecamuk di
muka bumi Nusantara ini. Untuk mencapai kemandirian tersebut, maka dalam lima (5) tahun ini minimal sudah
tersaji cetak biru yang baik dan bisa segera dikerjakan.
Sampai
hari ini kita masih berkelahi terkait dengan kebijakan impor berbagai
komoditi untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia. Saya belum pernah
dengar strategi dan aksi untuk Research & Development terkait dengan
rekayasa berbagai bibit tanaman pangan dan holtikultura. Bibit yang ada
sebagian sudah berusia sangat tua. Jadi jangan heran jika mahzab Pemerintah
selalu impor ketika terjadi defisit pangan
Sampai
hari ini saya juga belum mendengar tentang alokasi atau ketersediaan lahan
yang pasti untuk tanaman pangan, termasuk padi. Begitu pula dengan kebijakan
pupuk yang harus jelas keberpihakannya. Pupuk bersama bibit harus cocok untuk
menjadi pendorong peningkatan pangan
Di
sektor energi sampai hari ini pemerintah belum mempunyai cetak biru energi.
Para pemikir energi dan pengambil keputusan di pemerintahan masih terpaku
pada bagaimana memenuhi kebutuhan energi rakyat melalui penyediaan energi
fosil (migas). Lebih spesifik minyak bumi karena gas yang kita punyai dan
masih berlimpah belum digunakan secara masif sebagai pengganti bahan bakar
minyak (BBM).
Selain
persoalan hulu (eksplorasi dan pengolahan) yang tidak kunjung terselesaikan,
persoalan hilir (pemasaran, distribusi termasuk pipanisasi) pun amburadul di
sektor energi. Di sektor energi, pemerintah terlalu dikendalikan oleh
pedagang yang tidak peduli akan kemandirian energi di Indonesia. Yang penting
ketika kekurangan, Indonesia impor saja. Tidak perlu membuat kilang dan
bergiat mencari sumber minyak baru.
Dari
sisi energi baru terbarukan, sampai hari ini strategi pemerintah tetap belum
jelas. Sudah puluhan tahun persoalan energi baru terbarukan ini
diperbincangkan di berbagai seminar dan diskusi tanpa kejelasan kapan akan di
implementasikan.
Sementara
kebutuhan energi terus membengkak seiring dengan tidak padunya strategi
kebijakan energi di sektor trasnportasi, rumah tangga dan industri. Padahal
produksi minyak mentah Indonesia kurang dari 800 ribu barel/hari sementara
kebutuhan sudah sekitar 1,6 juta barel/hari
Sementara
itu defisit ketenagalistrikan di Indonesia sudah sangat membahayakan.
Percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW yag dicanangkan sekitar 10 tahun
lalu sampai hari ini tak kunjung tercapai. Sementara rencana Pemerintah untuk
membangun 35.000 MW listrik hingga tahun 2019 juga belum ada kejelasan
terkait dengan detail lokasi, biaya dan sumber energi yang akan digunakan.
Di
sisi kebutuhan airpun bukannya membaik tetapi memburuk dengan dibatalkannya
secara total UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (SDA) beserta
seluruh peraturan perundang undangannya hanya dengan alasan kemandirian air
untuk rakyat harus dikuasai negara. Sementara negara sampai hari ini tak
kunjung jelas arahnya dalam pengelolaan air permukaan dan air tanah.
Persoalan
air permukaan mendera banyak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) beserta mitra
kerja asingnya. Sementara itu persoalan air tanah yang banyak digunakan
sebagai salah satu bahan baku utama berbagai industri juga tidak diawasi
dengan baik penggunaannya bahkan sering dimanipulasi oleh Pemerintah Daerah
dan tentunya ini membahayakan keberlangsungan air tanah untuk bangsa ini dan
ketidakpastian investasi bagi investor.
Langkah yang Harus
Dilakukan Pemerintah
Untuk
ketersediaan dan kemandirian pangan pemerintah harus segera membuat cetak
biru pangan yang harus disepakati oleh semua pihak terkait termasuk investor,
ahli/industri bibit, industri pupuk dan Badan Pertanahan Nasional/Kementrian
Agraria secepatnya. Kemudian segera di implementasikan, jangan hanya berdebat
di seminar, DPR/D dan media. Rakyat perlu aksi cepat.
Begitu
pula dengan energi. Segera sahkan cetak biru dan implementasikan. Jangan
terus berdebat yang tidak ada ujungnya dan lupakan lobi dan desakan para
pedagang (traders), mafia dan
sebagainya. Cetak biru sudah harus berisi peningkatan produksi minyak mentah,
konversi BBM ke gas dan rencana pengembangan dan penggunaan energi baru
terbarukan dalam lima tahun kedepan.
Untuk
pemenuhan kebutuhan energi, Pemerintah harus juga memastikan pertumbuhan
infrastruktur listrik (pembangkit, transmisi dan distribusi) supaya jangan
ada gangguan yang berarti, khususnya di persoalan kepemilikan lahan. Itu
penting supaya ketersediaan listrik harus dapat mengiimbangi laju pertumbuhan
penduduk dan industri.
Untuk ketersedian dan kemandirian air
bersih, Pemerintah harus segera membuat UU SDA yang baru beserta aturan
perundang undangannya untuk mengganti UU No. 7 Tahun 2004 Tentang SDA yang
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pastikan operasional PDAM dan mitra
asingnya serta industri pengguna air tanah sebagai bahan baku bisa terus
berlanjut tanpa harus melanggar hukum.
Tanpa
kejelasan di sektor-sektor tersebut diatas, lupakan Indonesia akan menjadi
Negara yang kuat dan bisa mandiri tanpa ketergantungan yang besar pada pihak
lain. Selesaikan seluruh sektor kritis di atas secepatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar