Selasa, 17 Maret 2015

Sektor-Sektor Kritis Penghambat Pembangunan

Sektor-Sektor Kritis Penghambat Pembangunan

Agus Pambagio  ;  Pengamat Kebijakan Publik
DETIKNEWS, 16 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Pemerintahan di bawah komando Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kala (JK) yang baru berjalan nyaris 5 bulan terus didesak oleh publik untuk segera merealisasikan semua janji-janji yang pernah disampaikan saat keduanya berkampanye. Mulai dari kemandirian pangan hingga pembangunan berbagai infrastruktur.

Publik memang berharap besar pada pemerintahan Jokowi dan JK ini setelah publik dikecewakan berat oleh Pemerintahn sebelumnya yang penuh pencitraan dan curhatan. Kecepatan untuk memenuhi harapan publik di respon dengan pembentukan Kabinet yang bernama Kabinet Kerja. Presiden berharap besar pada Kabinet Kerja untuk segera menginjak gas dengan akselerasi tinggi.

Namun ternyata tidak mudah untuk berakselerasi cepat ketika dukungan politisi di Senayan tidak kuat. Kondisi inipun pernah saya bahas di kolom ini. Pemerintahan yang kuat tidak bisa hanya mengandalkan seorang Presiden/Wakil Presiden yang bersih, pintar dan tegas tetapi harus ada dukungan politik yang kuat juga.

Memimpin negara erat kaitannya dengan dukungan politik, suka atau tidak. Harapan publik terganggu dengan isu kriminalisasi yang selama 3 bulan belakangan ini terus menghantam kebijakan Presiden. Dimulai dengan isu Kapolri, KPK hingga isu-isu lain yang semakin memupus harapan publik. Jika Presiden tidak piawai untuk menghentikan berbagai kriminalisasi kebijakannya, maka sulit bagi publik untuk percaya bahwa Jokowi akan memenuhi harapan rakyat secepatnya.

Persoalan Utama Selain Politik

Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta memerlukan kepastian tentang ketersediaan pangan, air dan energi yang berkelanjutan. Untuk itu kini saatnya pemerintah bekerja sangat keras untuk mempersiapkan ketiga sektor tersebut dengan baik demi masa depan bangsa ini.

Tanpa kemandirian dan ketersediaan ketiganya, perang saudara akan berkecamuk di muka bumi Nusantara ini. Untuk mencapai kemandirian tersebut,  maka dalam lima (5) tahun ini minimal sudah tersaji cetak biru yang baik dan bisa segera dikerjakan.

Sampai hari ini kita masih berkelahi terkait dengan kebijakan impor berbagai komoditi untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia. Saya belum pernah dengar strategi dan aksi untuk Research & Development terkait dengan rekayasa berbagai bibit tanaman pangan dan holtikultura. Bibit yang ada sebagian sudah berusia sangat tua. Jadi jangan heran jika mahzab Pemerintah selalu impor ketika terjadi defisit pangan

Sampai hari ini saya juga belum mendengar tentang alokasi atau ketersediaan lahan yang pasti untuk tanaman pangan, termasuk padi. Begitu pula dengan kebijakan pupuk yang harus jelas keberpihakannya. Pupuk bersama bibit harus cocok untuk menjadi pendorong peningkatan pangan

Di sektor energi sampai hari ini pemerintah belum mempunyai cetak biru energi. Para pemikir energi dan pengambil keputusan di pemerintahan masih terpaku pada bagaimana memenuhi kebutuhan energi rakyat melalui penyediaan energi fosil (migas). Lebih spesifik minyak bumi karena gas yang kita punyai dan masih berlimpah belum digunakan secara masif sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM).

Selain persoalan hulu (eksplorasi dan pengolahan) yang tidak kunjung terselesaikan, persoalan hilir (pemasaran, distribusi termasuk pipanisasi) pun amburadul di sektor energi. Di sektor energi, pemerintah terlalu dikendalikan oleh pedagang yang tidak peduli akan kemandirian energi di Indonesia. Yang penting ketika kekurangan, Indonesia impor saja. Tidak perlu membuat kilang dan bergiat mencari sumber minyak baru.

Dari sisi energi baru terbarukan, sampai hari ini strategi pemerintah tetap belum jelas. Sudah puluhan tahun persoalan energi baru terbarukan ini diperbincangkan di berbagai seminar dan diskusi tanpa kejelasan kapan akan di implementasikan.

Sementara kebutuhan energi terus membengkak seiring dengan tidak padunya strategi kebijakan energi di sektor trasnportasi, rumah tangga dan industri. Padahal produksi minyak mentah Indonesia kurang dari 800 ribu barel/hari sementara kebutuhan sudah sekitar 1,6 juta barel/hari

Sementara itu defisit ketenagalistrikan di Indonesia sudah sangat membahayakan. Percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW yag dicanangkan sekitar 10 tahun lalu sampai hari ini tak kunjung tercapai. Sementara rencana Pemerintah untuk membangun 35.000 MW listrik hingga tahun 2019 juga belum ada kejelasan terkait dengan detail lokasi, biaya dan sumber energi yang akan digunakan.

Di sisi kebutuhan airpun bukannya membaik tetapi memburuk dengan dibatalkannya secara total UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (SDA) beserta seluruh peraturan perundang undangannya hanya dengan alasan kemandirian air untuk rakyat harus dikuasai negara. Sementara negara sampai hari ini tak kunjung jelas arahnya dalam pengelolaan air permukaan dan air tanah.

Persoalan air permukaan mendera banyak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) beserta mitra kerja asingnya. Sementara itu persoalan air tanah yang banyak digunakan sebagai salah satu bahan baku utama berbagai industri juga tidak diawasi dengan baik penggunaannya bahkan sering dimanipulasi oleh Pemerintah Daerah dan tentunya ini membahayakan keberlangsungan air tanah untuk bangsa ini dan ketidakpastian investasi bagi investor.

Langkah yang Harus Dilakukan Pemerintah

Untuk ketersediaan dan kemandirian pangan pemerintah harus segera membuat cetak biru pangan yang harus disepakati oleh semua pihak terkait termasuk investor, ahli/industri bibit, industri pupuk dan Badan Pertanahan Nasional/Kementrian Agraria secepatnya. Kemudian segera di implementasikan, jangan hanya berdebat di seminar, DPR/D dan media. Rakyat perlu aksi cepat.

Begitu pula dengan energi. Segera sahkan cetak biru dan implementasikan. Jangan terus berdebat yang tidak ada ujungnya dan lupakan lobi dan desakan para pedagang (traders), mafia dan sebagainya. Cetak biru sudah harus berisi peningkatan produksi minyak mentah, konversi BBM ke gas dan rencana pengembangan dan penggunaan energi baru terbarukan dalam lima tahun kedepan.

Untuk pemenuhan kebutuhan energi, Pemerintah harus juga memastikan pertumbuhan infrastruktur listrik (pembangkit, transmisi dan distribusi) supaya jangan ada gangguan yang berarti, khususnya di persoalan kepemilikan lahan. Itu penting supaya ketersediaan listrik harus dapat mengiimbangi laju pertumbuhan penduduk dan industri.

 Untuk ketersedian dan kemandirian air bersih, Pemerintah harus segera membuat UU SDA yang baru beserta aturan perundang undangannya untuk mengganti UU No. 7 Tahun 2004 Tentang SDA yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pastikan operasional PDAM dan mitra asingnya serta industri pengguna air tanah sebagai bahan baku bisa terus berlanjut tanpa harus melanggar hukum.

Tanpa kejelasan di sektor-sektor tersebut diatas, lupakan Indonesia akan menjadi Negara yang kuat dan bisa mandiri tanpa ketergantungan yang besar pada pihak lain. Selesaikan seluruh sektor kritis di atas secepatnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar