Ahok
dan Kepemimpinan Antikorupsi
Fajar Kurnianto ; Peneliti
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina Jakarta; Tinggal di Depok
|
SINAR
HARAPAN, 07 Maret 2015
Hubungan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) dan DPRD DKI Jakarta masih terus “memanas”. Mediasi yang digelar
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Kamis (5/3), untuk mengurai polemik
Ahok dengan DPRD DKI, berakhir deadlock.
Dugaan anggaran siluman Rp 12,1 triliun di APBD menjadi
penyebab memanasnya hubungan Ahok dan DPRD DKI Jakarta. Ahok menemukan
anggaran yang diduga siluman itu setelah draf APBD yang disahkan dikirimkan
ke Kemendagri. Setelah disahkan pada 27 Januari 2015 lalu oleh DPRD DKI
Jakarta, ternyata DPRD melakukan pembahasan kembali draf APBD yang disahkan
itu sehingga bisa muncul anggaran siluman sejumlah tersebut.
Usulan anggaran siluman senilai Rp 12,1 triliun itu salah
satunya bakal dialokasikan untuk pengadaan perangkat uninterruptible power
supply (UPS) di sekolah dan kantor kelurahan serta kecamatan. Menurutnya,
anggaran Rp 12,1 triliun itu lebih baik dialokasikan untuk program unggulan
dibanding anggaran yang tidak prioritas. Usulan tersebut merupakan potongan
dari anggaran program unggulan DKI lainnya.
Atas pernyataan Ahok, DPRD kemudian mengajukan hak angket.
Menurut Pasal 322 Ayat 3 UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
juncto Pasal 106 Ayat 3 UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda),
disebutkan hak angket merupakan hak DPRD untuk melakukan penyelidikan
terhadap suatu kebijakan pemerintah, yang penting dan strategis serta
berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat, yang diduga bertentangan dengan
peraturan UU.
Landasan hukum hak angket antara lain UU 17/2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD terdapat pada Pasal 322, Pasal 331, sampai Pasal 335;
UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 106, Pasal 115 sampai
119; Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16/2010 tentang Pedoman Penyusunan DPRD
tentang Tatib, diletakkan di Pasal 9, dan Pasal 14 hingga 19; Peraturan DPRD
Provinsi DKI Nomor 1/2014 dalam Pasal 11, dan Pasal 15-20.
Berdasarkan paripurna DPRD DKI Jakarta pada 26 Februari,
106 anggota DPRD secara bulat mendukung penuh pengajuan hak angket terhadap
Ahok. Belakangan, satu per satu fraksi di DPRD mulai gamang apakah akan
melanjutkan sikap tersebut atau memilih menariknya.
Sebelumnya, mantan Bupati Belitung Timur itu dianggap
melanggar UU 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; UU 17/2003 tentang Keuangan Negara; UU
23/2014 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU 17/2014 tentang MPR/DPR/DPD/DPRD.
Ahok juga dinilai melanggar PP Nomor 58/2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah; PP Nomor 79/2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah; PP Nomor 16/2010 tentang
Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD; Peraturan Menteri
Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah; Permendagri Nomor 37/2014 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun
Anggaran 2015; dan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor
46/PMK.02/2006 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah.
Apakah hak angket DPRD DKI, jika benar dilanjutkan, bisa
memakzulkan Ahok? Perlu dicermati bahwa Indonesia menganut sistem
pemerintahan presidensial, bukan parlementer. Dalam sistem presidensial,
legislatif memiliki kedudukan yang sama dengan eksekutif, sehingga tak bisa
saling melengserkan satu sama lain. Dalam sistem pemerintahan presidensial,
yang dapat memecat kepala daerah hanya presiden.
Substansi persoalan sebenarnya adalah potensi korupsi yang
coba dihindari Ahok. Persoalan seperti ini biasa muncul di lingkaran
kekuasaan, ketika eksekutif “berselingkuh” dengan legislatif atau parlemen
dalam masalah rancangan anggaran belanja, baik itu di pusat maupun di daerah.
Di sini rentan sekali terjadi penyelewengan dan mark-up anggaran.
Biasanya, eksekutif yang “takut” terhadap parlemen akan
mengikuti apa saja yang dimaui parlemen tanpa koreksi. Eksekutif yang seperti
ini biasanya takut untuk dimakzulkan. Ahok dalam konteks ini barangkali salah
satu contoh pemimpin yang “berbeda”.
Di tengah defisit pemimpin yang antikorupsi, Ahok seperti
oase di padang yang kering kerontang. Ahok seperti menjalankan model
kepemimpinan profetik yang layak diteladani para pemimpin daerah lainnya.
Keshavan Nair dalam A Higher Standard of Leadership
(1997), mengajukan model kepemimpinan profetik sebagai jalan keluar mengatasi
merosotnya integritas pemimpin publik. Pemimpin profetik berbasis pada
kekuatan kebenaran, keadilan, dan komitmen untuk melayani manusia (service
for humanity). Pemimpin berwawasan profetik dibutuhkan sebagai ujung ekstrem
dari kepemimpinan otoriter-koruptif yang menjunjung nilai-nilai asketisme,
yakni hidup sederhana dan bermental pengorbanan diri (altruistik).
Pemerintahan yang bersih dari korupsi haruslah dimulai
dari pemimpin yang bersih dan antikorupsi. Korupsi itu tidak lagi dipahami
sebagai kejahatan konvensional biasa, bahkan disebut sebagai kejahatan luar
biasa dan memiliki watak jahat menuju hiperkriminalitas.
Mengutip Baudrillard dalam The Perfect Crime (1992),
kejahatan menjadi hiper ketika ia melampaui realitas (hukum, moralitas, akal
sehat, dan budaya), serta terdapat watak jahat yang berkembang sedemikian
rupa menuju tingkatan yang sempurna.
Seperti dikatakan Lord Acton dalam suratnya kepada Uskup
Mandell Creighton pada 3 April 1887, korupsi berkaitan dengan kekuasaan.
Karena itu, kekuasaan penting dipegang pemimpin antikorupsi yang berani
mengambil risiko apa pun agar tidak terjadi korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar