Do
No Harm
Dicky Pelupessy ; Dosen
Psikologi Sosial di Fakultas Psikologi UI;
Kandidat Doktor di Victoria University, Melbourne
|
KORAN
SINDO, 07 Maret 2015
Bencana menimbulkan kerusakan dan penderitaan. Dan,
kerusakan dan penderitaan itulah yang mengundang bantuan dari luar wilayah
terjadinya bencana.
Makin besar skala bencana yang terjadi, biasanya makin
besar bantuan yang datang. Ambil contoh, tsunami tahun 2004 di Aceh membuat
datangnya bantuan yang luar biasa besar dari dalam negeri dan terlebih lagi
dari luar negeri. Bantuan yang datang ke wilayah bencana bertujuan atau
ditujukan untuk mengatasi kerusakan dan mengurangi penderitaan.
Namun, ada kalanya bantuan yang datang tidak efektif atau
tidak benar-benar bisa mengatasi kerusakan dan mengurangi penderitaan.
Bahkan, bantuan itu bisa pula berdampak negatif atau merusak di kemudian
hari. Bantuan yang tidak membantu misalnya adalah bantuan yang menimbulkan
konflik di antara penerima bantuan atau antara yang menerima bantuan dan
tidak menerima bantuan. Contoh lainnya, bantuan yang menimbulkan
kebergantungan terhadap bantuan.
Pada intinya, bantuan-bantuan yang diberikan bukannya
memberikan hasil yang positif, tetapi malah memberikan hasil yang negatif.
Mengacu pada kemungkinan timbulnya hasil yang justru negatif, dalam dunia
pemberian bantuan dikenal prinsip ”do no harm”. Prinsip ini untuk
mengantisipasi dan sekaligus mencegah sesuatu–dalam hal ini adalah hasil–yang
tidak diinginkan.
Prinsip ini menggarisbawahi bahwa seyogianya apa yang
dimaksudkan untuk mengatasi kerusakan dan mengurangi penderitaan jangan
sampai menimbulkan kerusakan lebih lanjut atau di kemudian hari. Prinsip ini
amat penting karena seperti yang dinyatakan oleh Anderson (1999) bahwa
bantuan bisa menimbulkan kerusakan yang tidak diperkirakan (unintentional harm).
Dasar dari prinsip ”do no harm” adalah empati terhadap
mereka yang mengalami bencana dan kepekaan terhadap konteks, baik sosiobudaya
maupun sosiopolitik, yang melingkupi mereka yang mengalami bencana. Empati
membantu untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh mereka yang
mengalami bencana.
Sedangkan kepekaan terhadap konteks membantu untuk menilai
secara jernih apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin terjadi. Seperti
yang telah dijelaskan di atas, prinsip ini berujung pada tujuan untuk tidak
menimbulkan kerusakan atau kerusakan lebih lanjut pada mereka yang mengalami
bencana.
Bencana di KPK
Bermula dari pengajuan Budi Gunawan sebagai calon tunggal
kapolri oleh Jokowi dan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK,
yang terjadi kemudian adalah KPK bak mengalami bencana. Akibat
ketidaktegasan– terutama terhadap Polri– dan ketidaksegeraan Jokowi mengambil
keputusan, alih-alih mengalami penguatan, KPK mengalami pelemahan.
Kriminalisasi pimpinan KPK oleh Polri, pemberhentian
sementara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dan penunjukan Plt pimpinan
KPK telah membuat KPK tak berdaya. KPK sekarang tak bisa lagi bekerja
memberantas korupsi seperti sedia kala. KPK, sebagai lembaga yang dinilai publik
memiliki rekam jejak paling baik dalam pemberantasan korupsi, telah lumpuh.
KPK memang masih ada, namun KPK sedang mengalami kesulitan luar biasa saat
ini.
Bahkan, sekarang KPK seolah sedang menunggu datangnya
terpaan bencana lain, yaitu gelombang praperadilan dari para koruptor yang
telah ditersangkakan oleh KPK yang akan menggerus tenaga dan konsentrasi KPK.
Di tengah bencana yang telah terjadi dan menunggu bencana berikutnya, para
pegawai KPK berusaha menunjukkan semangat bertahan menghadapi bencana yang
terjadi.
Para pegawai KPK, yang notabene hasil perekrutan secara
profesional–bukan perekrutan secara politik, menunjukkannya dengan melakukan
aksi (3 Maret 2015) untuk menyatakan sikap mereka, yang di antaranya menolak
rencana pelimpahan kasus Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung. Namun sungguh
ironis, aksi tersebut ditanggapi oleh Wapres Jusuf Kalla dengan meminta
pegawai KPK mengoreksi diri dan Menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi menilai aksi
pegawai KPK tersebut sebagai pembangkangan dan mengancam akan memberikan
sanksi.
Baik JK maupun Yuddy sewajarnya paham bahwa KPK sedang
mengalami bencana. Sewajarnya mereka mengerti bahwa KPK sedang mengalami
kelumpuhan dan ketidakmampuan untuk menjalankan tugas utamanya memberantas
korupsi.
Sudah seharusnya JK dan Yuddy tahu bahwa bukan hanya
pimpinan tetap KPK sudah tidak ada karena diberhentikan sementara, tetapi
juga para pegawai KPK bekerja di dalam suasana yang amat tidak kondusif
karena konsentrasi dan fokus mereka tersita sejak terjadinya kriminalisasi
terhadap pimpinan KPK.
Tanggapan yang diberikan JK dan Yuddy jelas menunjukkan
betapa tidak berempatinya mereka, baik terhadap KPK sebagai institusi yang
sedang mengalami pelemahan luar biasa maupun terhadap para pegawai KPK yang
bisa jadi sedang mengalami demotivasi dan demoralisasi. Aksi para pegawai KPK
tersebut di satu sisi menampilkan keresahan mereka, namun di sisi lain
menampilkan semangat dan daya tahan mereka dalam mengemban tugas besar
melakukan pemberantasan korupsi.
Tanggapan JK dan Yuddy mencerminkan ketidakmauan dan,
boleh jadi, ketidakmampuan mereka memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan
para pegawai KPK. Tanggapan mereka itu menggambarkan betapa tidak pekanya
mereka terhadap apa yang dirasakan sedang terjadi pada KPK dan apa yang
mungkin terjadi pada KPK seandainya para pegawainya terkena sanksi.
Respons yang ditunjukkan oleh JK dan Yuddy jelas tidak
membuat situasi sulit yang dihadapi KPK berubah membaik karenanya. Malah,
respons tersebut adalah tambahan tekanan terhadap mereka yang selama ini
menjadi pelaksana sesungguhnya pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh
KPK. Yuddy adalah menteri yang mendayagunakan aparatur negara. JK, selain
wakil presiden, ia adalah ketua umum Palang Merah Indonesia–lembaga yang
aktif merespons kondisi bencana.
Ia pun pernah menjabat sebagai kepala Bakornas
Penanggulangan Bencana. Ia tentunya mafhum bahwa mereka yang mengalami
bencana harus dihindarkan mengalami kerusakan lebih lanjut dari tindakan-
tindakan yang diterima atau ditujukan kepada mereka. Oleh karena itu, kepada
mereka berdua perlu diingatkan: apabila tidak bisa melakukan sesuatu yang
membuat para pegawai KPK berdaya guna di tengah situasi sulit yang mereka
hadapi, jangan pula mereka menimbulkan kerusakan pada KPK.
Dan, jika Jokowi telah menjadi bagian yang mendatangkan
bencana bagi KPK maka jangan sampai mereka–JK dan Yuddy–menimbulkan kerusakan
lebih lanjut pada KPK. Pak Wapres dan Pak Menteri, please do no harm! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar